mari belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, filsafat, teori-teori belajar dan lain sebagainya

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, October 17, 2019

Sunday, January 28, 2018

Peran Mahasiswa Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045



Peran Mahasiswa Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045

Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya Indonesia menghadapi masalah dimana mencari pekerjaan sangatlah susah, bahkan mahasiswa yang memiliki keunggulan dalam suatu bidang ilmu sudah mulai merasakan sulitnya dalam mencari pekerjaan. Laporan International Labor Organization (ILO) mencatat sejumlah pengangguran terbuka pada tahun 2009 berjumlah 9,6 juta jiwa (7,6%) dan 10% diantaranya adalah sarjana. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga mendukung International Labor Organization dengan menunjukkan bahwa sebagian pengangguran adalah lulusan Diploma,Akademi,Sarjana. Kondisi tersebut akan semakin parah dengan situasi persaingan global, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan menghadapkan lulusan perguruan tinggi Indonesia dengan lulusan perguruan tinggi luar negeri.
Seperti dikutip pada data BPS tahun 2013 ekonomi di Indonesia mengalami penurunan dalam berbagai sektor, mulai dari sektor pertanian mengalami penurunan sekitar 0,07%, pada sektor pertambangan dan penggalian turun sekitar 0,56%, dan sektor kontruksi turun sekitar 0,27%. Penurunan ini akan semakin menjadi lebih buruk jika tidak adanya kesadaran pada generasi muda akan perlunya ekonomi dalam menjadikan Negara Indonesia menuju peradaban emas.
 Mahasiswa sendiri merupakan generasi intelektual muda yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang digadang-gadang sebagai “agent of change” (agen perubahan), noblesse oblige, atau generasi penerus bangsa. Peran mahasiswa sendiri sudah tidak dapat diragukan lagi dalam mengawal perkembangan bangsa, mulai dari politik, teknologi, ekonomi, pendidikan, bahkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa peristiwa besar yang terjadi di lingkup regional bahkan global terjadi karena campur tangan dari para mahasiswa yang menginginkan Negara Indonesia menjadi Negara maju.
Oleh karena itu, para mahasiswa seharusnya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dalam bidang keilmuwannya dan pengarahan supaya tidak hanya menjadi pencari kerja (Job seeker) namun juga dapat menjadi seorang pencipta lapangan pekerjaan (Job creator). Terlebih lagi para intelektual muda tersebutlah yang menjadi harapan bangsa dalam membawa indonesia menuju peradaban emas pada tahun 2045.

Pembahasan
Gerakan mahasiswa di Indonesia sendiri memeiliki sejarah yang cukup panjang, sejak masa kolonial tahun 1908 dan tahun 1928 sebagai generator kebangkitan nasional, masa penjajahan belanda dan jepang, mahasiswa juga berjuang sebagai pejuang kemerdekaan bangsa. Salah satu bukti mahasiswa menjadi agen perubahan di Indonesia yaitu dalam menggulingkan rezim orde lama pada tahun 1966 dan dijadikatan secara subyektif oleh Negara sebagai gerakan perubahan oleh mahasiswa. Keberhasilan dalam menumbangkan orde lama dan memberi legitimasi terhadap berdirinya orde baru menjadikan mahasiswa sebagai kelompok penekan yang efektif. Sejak saat itu mahasiswa tampil sebagai dirinya sendiri, bukan membawa embel-embel politik tertentu.
            Namun mahasiswa ketika berada di zaman orde baru juga merespon tentang kepemimpinan yang dibawa oleh Soeharto yang disebut dengan otoriterisme-birokratik.  Tidakan tersebut memicu kembali maraknya aksi-aksi mahasiswa, dengan puncaknya yang terjadi pada tanggal 20 Mei 1998 sehingga mengakibatkan lengsernya sang otokrat setelah menjabat lebih dari 32 tahun sebagai Presiden.
            Pada beberapa tahun akhir ini bangsa Indonesia dikejutkan dengan beberapa informasi tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
Share:

Wednesday, January 17, 2018

METODE KRITIK MATAN HADITS

METODE KRITIK MATAN HADITS

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Studi al-Qur’an dan Hadits
Dosen Pengampu: Dr. Hamdani Mu’in, M. Ag.




Oleh:
Ibnu Anshori   (1600118050)
Rohimah          (1600118057)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017






I.         PENDAHULUAN
Hadits selalu menjadi bahan rujukan kedua setelah al-Qur’an dan menempati posisi yang sangat penting dalam kajian keislaman. Mengingat penulisan hadits dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah hadits. Adanya hadits-hadits palsu (maudhu’), mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadits sebagai uapaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
Mengingat hadits menjadi rujukan sentral dalam kajian keislaman, tentu hal yang paling tepat ialah memilih dan memilah hadits yang benar-benar aman untuk ‘dikonsumsi’ oleh umat Islam, terlebih hadits yang membahas masalah ibadah atau praktik ajaran Islam secara umum. Karena harus diakui bahwa banyak hadits yang dianggap shahih dan siap dikonsumsi, namun belum tentu shahih dan siap saji. Semua ini dilatari oleh kenyataan bahwa validitas sebuah hadits sangat tergantung pada integritas seorang perawi yang sangat personal. Itulah mengapa verifikasi menjadi sangat penting dilakukan terhadap teks hadits.
Mengingat hal itu, tentu butuh alat yang tepat untuk membaca sebuah teks hadits, yakni salah satunya dengan cara metode kritik matan. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai metode kritik matan hadits beserta cakupannya.
II.      RUMUSAN MASALAH
A.  Apa pengertian dan sejarah kritik matan hadits?
B.  Bagaiamana kaidah matan hadits?
C.  Apa faktor yang mendorong kritik matan hadits?
D.  Bagaiama metode kritik matan hadits?
E.   Bagaiamna langkah-langkah dalam melakukan kritik matan hadits)
III.   PEMBAHASAN
A.      Pengertian dan Sejarah Kritik Matan Hadits
Kata kritik (kritik matan) diambil dari bahasa Arab dari kata naqd yang berarti memilih, membedakan, meneliti atau kritik. Sedangkan kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti ma irtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut istilah  adalah:                   
 ما ينتهي أليه السند من الكلام
“Suatu kalimat tempat berakhirya sanad”
                        الفاظ الحديث التي تتقوم بها معا نيه                                            
“Lafadz-lafadz hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu”.
Ada juga redaksi yang lebih simpel lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad). Dari semua pengertian di atas, menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah materi atau lafadz hadits itu sendiri.[1]
Dalam definisi lain, matan ialah materi berita, yakni lafadz (teks) haditsnya, berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang disandarkan pada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in, yang letaknya dalam suatu hadits pada penghujung sanad.[2] Jadi, kritik matan hadits dapat dipahami sebagai upaya pemilihan atau penelitian secara seksama terhadap berbagai teks yang terdapat dalam hadits.
Adapun tata letak matan dalam struktur utuh penyajian hadits jatuh setelah ujung sanad ialah menunjuk fungsi sanad sebagai pengantar data mengenai proses sejarah transfer informasi hadits dari nara sumbernya. Dengan kata lain, fungsi sanad, merupakan media pertanggungjawaban ilmiah bagi asal-usul fakta kesejarahan teks hadits.
Ibnu Al-Atsir al-Jazari sebagaimana yang dikutip oleh Hasyim Abbas, menegaskan bahwa, setiap matan hadits tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep). Dengan demikian, komposisi ungkapan matan hadits pada hakikatnya merupakan cerminan konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk teks. Teks matan disebut juga nashsh al-hadits atau nashsh al-riwayah.[3]
Namun, perlu diingat bahwa kesahihan suatu  hadits tidak hanya berpegang teguh pada riwayat semata, tetapi juga pada matan hadits. Untuk mengetahui shahih tidaknya suatu matan hadits, maka tidak cukup hanya mengkomparasikan satu matan hadits dengan hadits lainnya, tetapi juga perlu mengkomparsikan dengan al-Qur’an. Bila tampak pada matan hadits ada pertentangan, maka status hadits tersebut bisa dianggap dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.[4]
Dalam kajian hadits, kritik matan termasuk kajian yang tidak terlalu populer dilakukan oleh para ahli hadits dibanding kritik sanad hadits. Hal ini disebabkan tradisi penyampaian hadits secara lisan mulai dari generasi sahabat sampai generasi tabi’ tabi’in. Tepatnya pada tahun ke-8 hijriah pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan setiap gubernur untuk mencari para ahli agar dapat menuliskan setiap hadits yang dihapal untuk dicatat dan dibukukan secara resmi. Mengingat, setiap susunan kata dan kandungan hadits dalam sebuah kalimat, tidak bisa dinyatakan sebagai hadits, apabila tidak ditemukan rangkaian rawi yang sampai kepada Nabi Saw.
Adapun sejarah kritik matan sebagai berikut:[5]
1.    Kritik Matan Masa Nabi Saw
Pada masa awal, tradisi kritik hadits muncul sejak masa Nabi Saw. Kala itu, Umar bin Khattab ketika menerima berita dari seseorang bahwa Nabi Saw telah menceraikan istri-istrinya, seketika itu Umar langsung mengecek berita tersebut kepada Nabi Saw. Rasulullah Saw pun menjawab “tidak”. Umar akhirnya mengetahui bahwa Rasul hanya bersumpah untuk tidak menggauli istri-istrinya selama sebulan. Pada masa ini sangat mudah mencari keaslian sabda Nabi Saw, sebab para sahabat dapat bertemu langsung dengan Nabi.


2.      Kritik Matan Masa Sahabat
Kritik terhadap sabda Nabi Saw dilakukan dengan cara mencari kabar kepada sahabat yang pernah terlibat langsung dari Nabi Saw, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Aisyah ketika mengkritik sabda Nabi Saw dari Abu Hurairah tentang mayat yang kena azab kubur disebabkan oleh ratapan keluarganya. Ketika itu, Aisyah membantah dan menyatakan bahwa riwayat tersebut keliru, seraya menyampaikan dan menjelaskan matan yang sesungguhnya, yaitu “suatu ketika Nabi Saw melewati kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atas kuburan tersebut. Selanjutnya Aisyah mengutip surah Al-An’am (6) ayat 264 artinya:”.... seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain....” beberapa sahabat juga melakukan hal yang sama, seperti Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Absullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Upaya kritik matan terhadap sabda Nabi Saw pada masa sahabat adalah dengan cara meneliti kandungan sabda Nabi Saw dengan cara menyesuaikannya dengan apa yang pernah didengar sendiri oleh sahabat, kemudian membandingkannya dengan al-Qur’an.
3.      Kritik Matan Masa Tabi’ Tabi’in
Pada masa ini, terdapat tiga alasan utama para ahli hadits dalam melakukan dan menjaga otentitas (keaslian) hadits, di antaranya: Pertama, pengumpulan hadits yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul al-‘Aziz. Kedua, lahirnya ilmu kritik hadits dalam arti sesungguhnya. Kelanjutan dari proses “kematangan” kritik sanad. Ketiga, lahirnya semangat kuat untuk melakukan pelacakan hadits sebagaimana yang telah dilakukan oleh para generasi sebelumnya.
4.        Kritik Matan Masa Itba’ Tabi’in
Masa itba’ tabi’in atau generasi tabi’in ketiga pasca sahabat yang dinilai sebagai periode penyempurnaan. Pada masa ini, ilmu hadits sudah mengalami perkembangan yang luar biasa. Ilmu hadits sudah ditekuni oleh banyak para ahli hadits seluruh pelosok dunia. Konsekuensi logis, kritik hadits tak lagi terbatas pada kalangan ulama “Arab”, melainkan di seluruh wilayah Islam.
Akhir abad ke-2 H, sudah dimulai penelitian kritik hadits secara teori dan praktek. Seperti imam Syafi’i dikenal sebagai ulama yang pertama kali mewariskan teori ilmu hadits sebagaimana terdapat dalam karyanya berjudul ar-Risalah (kitab ushul fikih) dan al-umm (kitab fikih).
B.       Kaidah Matan Hadits
Upaya telaah ulama dalam menentukan kaidah matan hadits, al-Hakim mengemukakan lima bahasan:
1.    Hadits Nasikh-Mansukh
Telaah hadits mansukh merupakan telaah kesahihan matan, karena dengan meneliti ini akan diketahui hadits yang maqbul-ma’mul (diterima dan bisa diamalkan) dan hadits yang maqbul-ghayr ma’mul (diterima dan tidak bisa diamalkan). Untuk mengetahui perlu tidaknya suatu hadits, diperlukan pengetahuan yang luas asbab wurud al-Hadits (sejarah atau latar belakang adanya hadits tersebut). Tentu untuk mengetahuinya sangat sulit karena tidak semua hadits mempunyai latar belakang yang ada kaitannya dengan adanya hadits yang bertentangan satu sama lain. Umpamanya hadits yang menerangkan ziarah ke kubur.
Pertama, hadits yang melarang ziarah kubur:
لعن رسول الله ﷺ زائرات القبور
Rasulullah SAW melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kubur.

Kedua, hadits yang membolehkan ziarah kubur:
إنّي كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها
Aku pernah melarang kalian menziarahi kubur, (sekarang) berziarahlah.
Hadits pertama di-mansukh dengan hadits yang kedua. Menurut Ibnu Shalah, cara-cara untuk mengetahui hadits nasikh dan mansukh ialah melalui penjelasan Rasul, penjelasan sahabat, melalui sejarah periwayatan dan melalui ijma’ bahwa hadits-hadits itu adalah nasikh sedangkan yang lainnya adala mansukh.
2.    Ta’arudl al-Hadits
Hadits yang ta’arudl ialah hadits yang bertentangan, dan sulit ditentukan nasikh-mansukh-nya atau rajikh-marjuh-nya. Contohnya hadits yang berkaitan dengan pelaksanaan haji Rasulullah. Menurut ‘Aisyah, haji Rasulullah itu ifrad, menurut hadits yang diterima dari ‘Imran bin al-Husayn adalah qiran; menurut hadits yang diterima dari ‘Abdullah bin ‘Umar termasuk dalam tamattu’, padahal haji Rasulullah hanya satu kali. Sulit mencari kesepakatan ulama madzhab dalam hal ini. Abu Bakr Muhammad bin Ishaq mengambil haji tamattu’, al-Syafi’i mengambil haji ifrad, dan Abu Hanifah memilih haji qiran.
Jika demikian halnya, maka yang dimaksud dengan ta’arudl al-Hadits di sini adalah mukhtalaf al-Hadits dalam istilah lain. Penyelesaian hadits seperti ini ialah dengan cara rajih-marjuh, men-jama’-kan atau fawaqquf. Namun tampak bahwa ta’arudl ini merupakan ijtihad para mujtahid juga yang sebenarnya termasuk hadits yang diperselisihkan. Atas dasar itu, tepat bahwa kesahihan hadits adalah hasl ijtihad.
3.    Lafal Fiqh dalam Hadits
Lafal fiqh dalam hadits terjadi bila ada sisipan pemahaman rawi yang masuk dalam hadits, yang umumnya tidak disengaja. Contohnya hadits yang diterima dari ‘Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:
سألت رسول الله ﷺ أي العمل أفضل الصّلاة في أوّل وقتها.
Aku bertanya kepada Rasulullah SAW, “Amal manakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shalat pada awal waktunya.”
Menurut al-hakim hadits yang mahfudz yang diterima dari para imam tidak menggunakan sisipan في أوّل  (pada awal waktunya).


4.    Lafal-lafal yang Gharib
Meneliti matan gharib yaitu menelaah kata-kata yang dianggap asing dalam hadits. Telaah ini dilakukan untuk meluruskan pengertian yang tepat dari matan hadits. Contohya adalah hadits yang berkaitan dengan cerita Hudaybiyah. Rasulullah bersabda, أعطيه الحذيا (berikan kepadanya al-Hudzya). Al-Hudzya artinya البشارة بالخير  (kebahagiaan dengan kebaikan).
5.    Hadits Maqlub
Telaah Maqlub sebenarnya termasuk telaah matan. Ketika mengemukakan hadits maqlub, al-Hakim memberikan contoh hadits yang meriwayatkan tentang anggota sujud. Dalam hadits yang pertama disebutkan bahwa Anas melihat “Rasulullah mendahulukan lututnya sebelum tangannya. Demikian pula pada riwayat Wa’il. Sementara itu, keterangan dari Ibnu ‘Umar menyebutkan bahwa Rasulullah mendahulukan tangan sebelum lututnya ketika sujud”. Al-Hakim mengambil hadits Ibnu ‘Umar dengan alasan banyak sahabat dan tabi’in yang meriwayatkannya.[6]
C.      Faktor Pendorong Kritik Matan Hadits
Ada beberapa faktor pembangkit kesadaran untuk melakukan kegiatan penelitian terhadap hadits, khususnya penelitian pada sektor matannya. Berikut dikemukakan beberapa faktor tersebut:[7]
1.    Motivasi Agama
Jaminan keterpeliharaan al-Qur’an (QS. Al-Hijr: 9) perlu diikuti dengan keaslian (otentisitas) dan kebenaran (validitas) hadits atau sunnah selaku sumber penjelasnya. Watak ketergantungan agama Islam pada sumber naqli (wahyu) mengharuskan adanya upaya sungguh-sungguh untuk mempertahankan dan mempertanggungjawabkan otentisitas hadits (sunnah) secara ilmiah.


2.    Motivasi Kesejarahan
Keberadaan hadits (sunnah) sebagai khazanah amat berharga bagi Islam dan umat pemeluknya merupakan sumber ajaran yang ketahanan berlakunya hingga akhir kiamat. Kedudukan tersebut amat erat hubungannya dengan kerasulan maupun nubuwwah Muhammad SAW yang menjadi pamungkas sejarah kerasulan (QS. Al-Ahzab: 40).
Oleh karenanya perjalanan sejarah hadits (sunnah) harus terus dibentengi dari kemungkinan pemalsuan dan penyimpangan. Fakta terjadinya pemalsuan terhadap hadits pada masa lalu, harus memacu kepedulian umat Islam untuk melakukan penyeleksian guna menyelamatkan khazanah hadits (sunnah) yang memang benar adanya.
3.    Keterbatasan Hadits Mutawatir
Proses kejadian hadits yang ternisbahkan kepada Nabi SAW saja menyita waktu hampir 23 tahun, berlangsung di lokasi yang berpindah-pindah dan pihak yang bertindak sebagai saksi primer bisa terbatas. Sosialisasi hadits menempuh media musyafahah (dari mulut ke mulut) ditekan pula oleh kebijakan pengetatan riwayat di bawah kontrol pada Khulafa’ al-Rasyidin. Oleh karenanya, tebaran hadits mutawatir sangat minim dan tercipta citra dzanni pada bagian terbesar hadits karena sifat ahad-nya. Citra dzanni tersebut amat berkepentingan pada usaha untuk mendongkrak kepercayaan orang agar tidak canggung mengamalkan hadits ahad.
4.    Bias Penyaduran Ungkapan Hadits
Dispensasi yang dimaklumkan sejak masa Nabi SAW kepada para sahabat untuk meriwayatkan kembali hadits, asal mempertahankan inti konsep (riwayah bi al-ma’na) telah mengkondisikan keragaman teks matan hadits. Gejala pemadatan ungkapan (ikhtishar), penambahan kata penjelas kalimat, pemilihan kata yang sinonim,  penempatan kata pembanding akibat keraguan perawi, sampai pembuangan sabab al-wurud, menjadi terbakukan dalam koleksi hadits yang kini diterbitkan.
Kondisi keragaman tak terelakkan karena proses pembukuan (tadwin) muncul atas inisiatif perorangan dalam kurun waktu hampir 3 (tiga)  abad, akses penyaduran ungkapan hadits tentu harus diimbangi dengan penelitian teks guna memperoleh narasi verbal yang terkecil data kelainanya.
5.    Teknik Pengeditan Hadits
Ulama kolektor hadits (muharrij) menempuh strategi yang tidak sama saat membukukan hadits. Akibatnya ungkapan hadits nabawi berbaur menyatu dengan fatwa sahabat atau tabi’in, seperti halnya informasi isra’iliyyat mengambil bentuk tafsir naqli dan bersanad. Ulasan penjelas matan yang mewarnai prosedur pengajaran hadits oleh perawi, sisipan penyimpulan makna hadits, hingga penambahan yang perlu oleh perawi, dalam teknik pengeditan bisa terbawa masuk dalam kerangka ungkapan matan hadits. Elemen non hadits tentntunya perlu diwaspadai melaui penelitian, sebab bisa terjadi, pemrakarsa penyatuan elemen non hadits itu datang dari orang yang tidak tsiqah.
6.    Kesahihan Sanad tidak Berkorelasi dengan Keshahihan Matan
Hipotesa bahwa “keshahihan sanad belum tentu diikuti oleh keshahihan matan. Fakta penelitian ulang terhadap hadits–hadits yang telah terkorelasi dan masyarakat terlanjur menaruh percaya keshahihannya, terbukti di kemudian hari banyak yang turun derajatnya menjadi dhaif bahkan sampai maudlu’.    Para perawi yang mendukung rangkaian sanad___sahabat sekalipun atau para mukharrij___adalah manusia yang melekat dengan kelemahan dan keterbatasan kemampuan, artinya bisa salah dalam menilai sanad maupun matan hadits, sehingga langkah yang diperlukan ialah uji kebenaran matan hadits sebagai postulat yang sangat signifikan.
7.    Sebaran Tema dan Perpaduan Konsep
Refrensi untuk mendukung sebuha tema keagamaan belum tentu memadai bila hanya berasal dari hadits tunggal. Dengan media al-Qur’an pun perlu bermodal banyak ayat yang membahas tema sama dengan pole metode maudhu’i ditarik benang merah yang menghubungkan sub-sub tema. Kedudukan sunnah sebagai sumber atau dalil perumus hukum syara’ harus mampu bersenyawa dengan  dalail syara’ yang lain. Memperbandingkan data keunggulan (tarjih) memakai kriteria tertentu. Langkah metodologis itu perlu ditempuh karena sebuah tema bisa tersebar konsepnya pada banyak hadits dan lazim diwarnai oleh gejala perbedaan.
8.    Upaya Penerapan Konsep Doktrinal Hadits
Ungkapan matan hadits sejelas apapun masih menawarkan konsep yang abstrak. Ikhtiar konkretisasinya sampai pada tataran yang operasional praktis memerlukan tahapan pemahaman mulai dari: pemaknaan lughawi  (leksikal), pemaknaan gramatikal yang lebih memberi peran pada struktur kalimat matan hadits, makna sintaksis dan makna kontekstual. Seperti konsep ajaran nikah mut’ah yang tercatat shahih. Bila ingin diterapkan di Indonesia sangat membutuhkan kajian intensif. Sebab bisa saja rumusan akhir dari konsep sejeumlah matan hadits di atas akan menuai reaksi negatif, karena opini yag selama ini telah terbentuk di lingkungan umat Islam di Indonesia telah tersekat paham mazhab yang berbeda-beda.
Demikian faktor yang mendorong pentingnya penelitian matan hadits, dan masih terbuka peluang bagi faktor-faktor lain.
D.      Metode Kritik Matan Hadits
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadits yang diterima (maqbul, yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak janggal (syadz) dan tidak memiliki cacat (illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau dikembangkan untuk kritik matan adalah metode perbandingan dengan menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut, terutama perbandingannya, telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan dengan al-Qur’an, sebagai sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang lain mahfuzh, juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits yang bersangkutan dicoba untuk ditakwil atau ditakhsish, sesuai sifat dan tingkat pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi jika tetap tidak bisa, maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang lebih kuat.
Menurut Shalahuddin Al-Adlabi sebagaimana dikutip M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, urgensi obyek studi kritik matan tampak dari beberapa segi, di antaranya:[8]
1.      Menghindari sikap sembrono (tasahhul) dan berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadits karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan.
2.      Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
3.      Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan hadits dengan menggunakan sanad hadits yang shahih, tetapi matan-nya tidak shahih.
4.      Menghadapi kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat.
Selanjutnya, masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian terhadap obyek studi kritik matan, yaitu:
1.    Minimnya pembicaraan mengenai kritik matan dan metodenya.
2.    Terpencar-pencarnya pembahasan mengenai kritik matan.
3.    Kekhawatiran terbuangnya sebuah hadits.
Jika menilik kembali sosio-historis perkembangan hadits, maka akan ditemukan banyak problem di seputarnya. Di antaranya, banyak upaya pemalsuan hadits dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah kesengajaan, baik itu untuk menyerang dan menghancurkan Islam, maupun untuk pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau golongan, atau ketidak-sengajaan, seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan lain-lain.
Ulama ahli hadits sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan hadits yang berkualitas shalih ada dua macam, yaitu terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat). Apabila mengacu pada pengertian hadits shahih  yang dikemukakan oleh ulama, sebagaimana  telah disebutkan terdahulu, maka dapat dinyatakan bahwa kaidah mayor bagi kesahihan matan hadits adalah 1). terhindar dari syuzuz dan 2). terhindar dari ‘illat.  Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad  juga terjadi pada matan hadits.
Dari keberagaman tolok ukur yang ada, terdapat unsur-unsur yang oleh Syuhudi Ismail merumuskan dan mengistilahkannya dengan kaidah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz dan ‘illat.[9]
Adapun kaidah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah: Pertama, matan bersangkutan tidak menyendiri. Kedua, matan hadits tidak  bertentangan dengan  hadits yang lebih kuat. Ketiga, matan hadits itu tidak bertentangan  dengan Al-Qur’an. Keempat, matan hadits itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
Adapun kaidah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah: Pertama, matan hadits tidak mengandung idraj (sisipan). Kedua, matan hadits tidak mengandung ziyadah (tambahan). Ketiga, matan hadits tidak mengandung maqlub (pergantian/terbalik lafaz atau kalimat). Keempat, matan tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan). Kelima, tidak terjadi kerancuan lafadz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadits itu.
E.       Langkah-Langkah dalam Melakukan Kritik Matan Hadits
1.    Naqd Sanad sebagai langkah awal kritik matan
Apabila dilakukan studi banding dengan cara menukil (mengutip) teks ayat al-Qur’an, sepanjang menyangkut data-data tawqifi, maka tidak diperlukan dukungan sanad. Perlakuan itu terjadi berkat jaminan sifat ke-mutawatir-an data yang melekat pada mushaf. Sementara ini komponen mushaf yang diakui tawqifi meliputi: bentuk kosa kata (mufradat), komposisi kalimat, tata letak ayat dalam surah masing-masing dan cara tulis huruf hijaiyah al-Qur’an berpedoman pada style (gaya) rasam Usmani. Sekira orang ingin mengoper hal-hal yang yang ijtihadi (istilahi), karena bersifat terminologis, maka dibutuhkan dukungan sanad.
Adapun langkah prosedural penelitian hadits berlaku keharusan mendahulukan kritik sanad, tradisi itu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a.    Latar belakang sejarah periwayatan hadits sejak mula didominasi oleh tradisi penuturan (syafahiyah) setidaknya hingga generasi tabi’in dan amat sedikit data hadits yang tertulis. Tradisi riwayat semacam itu memposisikan silsilah keguruan dalam proses pembelajaran menjadi penentu data kesejarahan hadits, karena kecil kemungkinan menyandarkan kepercayaan pada dokumentasi hadits.
b.    Upaya antisipasi terhadap gejala pemalsuan hadits ternyata efektif bila ditempuh dengan mengidentfikasi kepribadian (biodata) orang-orang yang secara berantai meriwayatkan hadits yang diduga palsu.
c.    Proses penghimpunan hadits secara formal memakan waktu yang lama (sejak abad kedua hijriah hingga tiga abad kemudian) melibatkan banyak orang dengan pola koleksi, cara seleksi dan sistematika yang beragam. Namun tanpa ada kesepakatan sebelumnya, telah terjadi kekompakan di kalangan ulama kolektor hadits dalam mempotensikan sanad sebagai mahkota bagi keberadaan matan, terbukti hampir seluruh  kitab koleksi hadits menempatkan rangkaian sanad sebagai pengantar riwayat, minimal nama perawi terutama  pada pola penyajian hadits mu’allaq.
d.   Akibat pemanfaatan dispensasi penyaduran (riwayah bi al-ma’na) yang tidak merata dan diketahui sebagian perawi lebih berdisiplin meriwayatkan secara harfiah (riwayah bi al-lafzdi), maka uji kualitas komposisi teks matan lebih ditentukan oleh tingkat  kredibilitas perawi dengan sifat kecenderungannya dalam meriwayatkan.
e.    Hasil uji hipotesisi tentang gejala syadz pada matan hadts ternyata berbanding lurus dengan keberadaan rawi hadits (sanad) yang syadz. Syu’bah bin al-Hajjaj, seperti dikutip pernyatannya leh Hasyim Abbas, menegaskan:
“Tidak datang padamu hadits (dengan kondisi matan) yang syadz, kecuali riwayat hadits itu melalui orang yang syadz pula”.

Memang dalam aplikasi kaidah untuk menduga gejala syadz pada matan hadits, harus dilakukan uji ke-dhabitha-an (tsiqah) perawi yang merupakan bagian dari kegiatan kritik sanad. Hasil temuan akan memunculkan status berbeda, bila perawi yang kedapatan menyimpang dalam matan hadits itu sesama orang tsiqah, maka hadits nya itu distatuskan syadz. Tetapi bila perawi tersebut tidak tsiqah, maka hadits yang menyimpang itu dikategorikan mungkar. Prosedur pendugaan gejala penyimpangan (kelainan) adalah dengan memperbandingkan antar teks matan dari perawi yang berbeda. Bila jelas data kelainan pada teks matan, peneliti tentunya mengupayakan i’tibar syahid atau i’tibar muttaba’, manakala upaya i’tibar gagal, otomatis tertutup sudah jalan bagi pencapaian tingkat validitas sanad dan matan hadits dari gejala syadz.
2.    Asas Metodologi Kritik Matan
Memasuki langkah kegiatan penelitian terhadap matan hadits, beberapa hal yang cukup fundamental penting dikemukakan, yaitu:
a.    Objek Forma Penelitian Matan
Aplikasi metodologis penelitian matan hadits bersandar pada kriteria maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) untuk kepentingan melandasi pemikiran keagamaan (hujjah syar’iyah), bukan bersandar pada kriteria benar atau salah menurut penilaian keilmuan rasional/empiris. Adapun objek forma penelitian matan hadits mencakup:
1.    Uji ketetapan nisbah (asosiasi) ungkapan matan
2.    Uji validitas komposisi dan struktur bahasa pengantar matan atau uji teks redaksi, serta
3.    Uji taraf koherensi konsep ajaran yang terkandung dalam formula matan hadits.
b.    Potensi Bahasa Teks Matan
Asas metodologis dalam pengujian bahasa redaksi  matan tekanannya pada mendeteksi rekayasa kebahasaan yang merusak citra informasi hadits dan ancaman penyusutan atau penyesatan inti pernyataan aslinya. Jadi tujuan kritik matan adalah memperoleh data teks yang mempertahankan formula keshahihan makna dan keutuhan kehendak dengan mengeleminir unsur sisipan, tambahan yang mengganggu, serta paling minim kesalahan redaksinya.

Berbeda dengan Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadits, mengemukakan lima langkah yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadits yaitu:[10]
1)      Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama
Yang dimaksud dengan hadits yang terjalin dalam tema yang sama adalah: Pertama, hadits-hadits yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama, baik riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat bi al-ma’naKedua, hadits-hadits mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang, Ketiga, hadits-hadits yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya. Hadits yang pantas dibandingkan adalah hadits yang sederajat kualitas sanad dan matannya. Perbedaan lafad pada matan hadits yang semakna ialah karena dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Menurut muhadditsin, perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.
2)      Meneliti matan hadits dengan pendekatan hadits
Sekiranya kandungan suatu matan hadits bertentangan dengan matan hadits lainnya, menurut Muhadditsin perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab, Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perkataan yang lain, demikian pula dengan al-Qur’an. Pada dasarnya, kandungan matan hadits tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadits maupun dengan al-Qur’an.
Hadits yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan ilmu mukhtalifu al-hadits. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar: Pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassal), kedua, mengandung makna umum (am) dan lainnya khusus, ketiga, mengandung makna penghapus (al-nasikh) dan lainnya dihapus (mansukh), keempat, kedua-duanya mungkin dapat diamalkan.
Untuk menyatukan suatu hadits yang bertentangan dengan hadits lainnya, diperlukan pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadits yang bermakna universal dari yang khusus, hadits yang naskh dari yang mansukh.
3)   Meneliti matan hadits dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang ushul maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu hadits yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadits yang tidak sejalan dengan al-Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih.
Cara yang ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadits yang kelihatannya bertentangan dengan teks al-Qur’an adalah dengan menta’wil atau menerapkan ilmu mukhtalif al-hadits. Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadits yang dipertentangkan dengan al-Qur’an dalam buku-buku hadits atau hadits sahih dari segi sanad dan matannya dibatalkan karena bertentangan dengan al-Qur’an.
4)   Meneliti matan hadits dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadits tertuju pada beberapa obyek: Pertama, struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadits yang menjadi obyek penelitian sesuai dengan kaedah bahasa Arab. Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab Modern?. Ketigamatan hadits tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang dipahami oleh pembaca atau peneliti.
5)    Meneliti matan hadits dengan pendekatan sejarah
Salah satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadits adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadits (asbab al-wurud haditsi). Langkah ini mempermudah memahami kandungan haditsFungsi asbab al-wurud hadits ada tiga. Pertama, menjelaskan makna hadits. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadits apakah sebagai rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadits itu disampaikan.
IV.             KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Kritik matan hadits adalah kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis dalam mengkaji dan menelusuri kebenaran suatu hadits, sehingga ditemukan status hadits sahih dan tidak sahih dari segi matannya, juga dimaksudkan sebagai pengecekan kembali kebenaran sumber hadits yang disandarkan kepada Nabi atau tidak dan kegiatan kritk matan memang sudah ada sejak zaman Nabi masih hidup.
2.    Metodologi kritik matan hadits (kaidah mayor dan kaidah minor) adalah:
a.    Kaidah mayor bagi kesahihan matan hadits adalah 1). Terhindar dari syuzuz dan 2). Terhindar dari ‘illat.  Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad  juga terjadi pada matan hadits.
b.    Kaidah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah: Matan hadits bersangkutan tidak menyendiri, matan hadits itu tidak bertentangan dengan  hadits yang lebih kuat, matan hadits itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, dan matan hadits itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
c.    Kaedah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah: Matan hadits tidak mengandung idraj (sisipan), matan hadits tidak mengandung ziyadah (tambahan), matan hadits tidak mengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat), tidak terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan), serta tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadits itu.
3.    Langkah-langkah dalam melakukan kritik matan hadits adalah:
a.    Menghimpun hadits-hadits yang terjalin dalam tema yang sama.
b.    Penelitian matan hadits dengan pendekatan hadits sahih.
c.    Penelitian matan hadits dengan pendekatan al-Qur’an.
d.   Penelitian matan hadits dengan pendekatan bahasa.
e.    Penelitian matan dengan pendekatan sejarah.





DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim. 2004. Kritik  Matan Hadits. Yogyakarta: Teras.

Abdurrahman, Maman. Teori Hadits. 2015.  Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ismail, M. Syuhudi. 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela, Penginkar dan Pemalsunya, Cet.I. Jakarta: Gema Insani Press.

Nur, M. Qodirun dan Ahmad Musyafiq. 2004. Metodologi Kritik Matan Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Soetari, Endang. 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.

Suparta, Munzier. 2002.  Ilmu Hadits. Jakarta: RajaGrafindo Persada.






[1]Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 46-47.
[2]Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hal. 25.
[3]Hasjim Abbas, Kritik  Matan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2004), hal. 13.
[4]Maman Abdurrahman, Teori Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 73-74.
[5]Alkadri Sambas, dalam blog http://alkadri-sambas.blogspot.co.id/2013/10/metodologi-kritik-matan, diakses tanggal 29 Mei 2017.
[6]Maman Abdurrahman, hal. 104-107.
[7]Hasjim Abbas, hal.  17-21.
[8]M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004).
[9]M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Penginkar dan Pemalsunya, Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

[10]Bustamin, A.Salam Metodologi Kritik  Matan,  (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004).
Share:
Powered by Blogger.

About us