mari belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, filsafat, teori-teori belajar dan lain sebagainya

Monday, October 30, 2017

Fiqh Nusantara

Pendahuluan
Agama (al-dien) adalah ide murni, atau system ide dan kepercayaan yang bersifat ilahiyah, berkenaan dengan ketaatan pada Tuhan, dan disampaikan kepada nabi-nabi. Dalam Islam, ide murni itu berbentuk wahyu yang termuat dalam al-Quran dan al-Sunnah. Ide ini tidak bisa diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi) yang seluruhnya merupakan produk manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat. Konsep ini tidak bisa dipisahkan dan realitas tertentu dan sejarah masyarakat. Karena itu, Islamologi inilah gagasan ide Ilahiah yang dapat diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Dengan kata lain, kita harus membedakan antara Agama dan pemikiran Agama. Salah satu pemikiran Agama adalah Fiqh dan atau Ushul Fiqh.[1]
                Munculnya banyak respons, baik positif maupun negative, dari para ulama maupun intelektual muslim Indonesia. Terutama masalah agama ketika berhadapan dengan adat istiadat yang tidak pernah sama dan seragam , atau spesifik lagi menyangkut relasi antara hokum Islam (Fiqh) dengan perubahan sosial yang senantiasa berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya.
            Terkait hal ini, pada dasarnya dalam pemikiran hokum Islam terdapat dua sudut pandang yang berbeda, bahkan juga bertentangan. Kedua teori tersebut adalah Teori Keabadian-atau biasa disebut dengan Normativitas Hukum Islam yang berasumsi bahwa hokum Islam , sebagai wahyu yang ditetapkan oleh Tuhan, ia tidak mungkin berubah atau di ubah, sebagai konsekuensinya, ia juga tidak beradaptasi dengan perubahan zaman. Teori yang kedua yaitu Teori Adaptabilitas Hukum Islam, yang berasumsi bahwa hokum diciptakan demi kepentingan manusia , maka hokum tersebut mengikuti perkembangan zaman dan perubahan tempat, demi kemashalahatan ummat manusia.[2]
            Di sini kami membahas Fiqh yang terdapat di Indonesia karena Negara ini mempunyai penduduk muslim terbesar di dunia, bahkan mengalahkan Negara-negara yang dianggap sebagai “Islam sesungguhnya”.
Rumusan Masalah
-          Bagaimana Fenomena Fiqh yang berada di Indonesia atau Nusantara?
Pembahasan
A.    Sejarah Fiqh di Indonesia
Pemikiran fiqh di Indonesia dimulai bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia yang dimulai pada abad ke-17 M. awal berkembangnya fiqh di Indonesia berada dalam koridor keseimbangan tasawuf-fiqh, dan wacana Syafi’iyah, hal tersebut dikarenakan perwujudan dari gerakan pemikiran tasawuf yang terlebih dahulu ada, dan akibat langsung dari keberadaan mahdzab Syafi’I yang dianut oleh penyebar Islam pertama di Nusantara abad ke 12 dan ke 13 M. Dua karakteristik epistemology inilah yang menjadi langgam menonjol bagi gerakan Islam Indonesia ketika itu.
Tokoh-tokoh yang membawa perubahan fiqh di Indonesia pada awalm perkembangannya yaitu, Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani, Nurrudin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Sinkili. Memasuki abad ke 18 M, tokoh yang menjadi pedoman Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M). Dengan karya fiqh yang cukup terkenal , yaitu Sabil al-Muhtadin li at-Taffaquh fi Amr ad-Din. Dan tokoh yang cukup popular pada akhir abad ke 18 M yaitu, Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh, dengan meninggalkan karya yaitu, Kasyf al-Kiram fi Bayan an-Nihayat fi Takbirat al-Ihram, Faraid al-Qur’an dan Takhshish al-Fallah fi Bayan Ahkam ath-Thalaq qa an-Nikah. Pemikiran pada abad ke 17 & ke 18 M, bisa dipastikan bersifat sufistik, dikarenakan Susana dakwah pada waktu itu yang melihat keadaan masyarakat.
Pada awal abad ke 19 M, munculah banyak pemikir, salah satunya yaitu Ahmad Rifa’I Kalisalak (1786-1876 M), sekaligus pencetus gerakan Rifai’yah. Tokoh selanjutnya yaitu Nawawi al-Bantani, seorang pemikir besar yang lahir di banten, 1230 H/ 1813 M dan meninggal pada 1316 H/ 1898 M. Dengan salah satu karyanya yaitu, ‘Uqud al-Lujain. Dan tokoh-tokoh lain yang punya andil besar dalam perkembangan fiqh di nusantara yaitu, Abdul Hamid Hakim, Mahfud Abdullah at_Tarmissi, Hasyim Asy’ari, Abdurrahman As-Saagaf, dan Mahmud Yunus.[3]
B.     Pemikiran Fiqh Nusantara
1.               Fiqh Nusantara ala Hasbi as-SHiddiqy
Dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran hokum Islam yang telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan, beberapa cara dan upaya untuk mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan (adat) ke dalam rumusan hokum Islam ternyata telah dilakukan oleh banyak kalangan. Para pemikir hokum Islam di Indonesia fase awal telah berusaha menyatukan secara baik hokum Islam dengan aspek lokalitas dalam ijtihad hokum di Indonesia. Walaupun tidak sampai muncul seorang mujtahid mustaqil, tentunya dengan independensi metode penemuan hokum sendiri, kita dapat melihat beberapa hasil karya yang cukup kreatif, cerdas dan inovatif.
Namun seiring berjalannya waktu terjadi kemandegan dalam berijtihad dalam pemikiran fiqh nusantara, karena doctrinal para ulama yang diwariskan nyaris turun temurun tidak dapat di rubah. Situasi dan kondisi seperti di atas ternyata memiliki pengaruh yang cukup dominan dalam munculnya gagasan Fiqh Indonesia, terutama oleh Ulama Hasby as-Shiddiqy.[4]
Dari titik berangkat kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran Fiqh Indonesia hadir, ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh hasbi. Menurutnya, hokum Islam harus mampu menjawab berbagai macam persoalan, terutama masalah muammalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Demi tujuan ini, Hasbi menyarankan agar para pendukung Fiqh Indonesia mendirikan lembaga Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. [5] nalar berfikir yang digunakan oleh Hasbi as-Shiddiqy dengan gagasan Fiqh Indonesia adalah salah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hokum Islam sebenarnya memberikan ruang gerak terhadap pemikir-pemikir Islam untuk berijtihad. Puncak pemikiran tentang Fiqh Indonesia sendiri terjadi pada tahun 1961, pada tahun tersebut Hasbi mengamati perkembangan fiqh di Indonesia belum mampu melahirkan fiqh yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya salah satu penghambatnya yaitu adanya ikatan yang kuat (fanatic) terhadap madzhab  yang dianut ummat Islam. Maka dari itu Hasbi memulai gerakannya ini pada kalangan akademisi atau perguruan tinggi Islam, untuk mengenalkan Islam secara kohesif..[6]
Indonesia, merupakan salah satu negara yang situasi dan kondisinya sesuai dengan pemikiran salah satu imam yang empat, yaitu Imam Syafi’i, yang secara mayoritas menganut pendapatnya, karena berawal dari kehadiran Islam di Asia Tenggara berkat interaksi mereka dengan pendatang ---sebagai pedagang maupun sebagai pendakwah--- dari Yaman dan Hijaz.[7] Di samping itu, di satu sisi masyarakatnya lebih cenderung berfikir rasionalis dan disisi yang lain bertindak tradisionalis, sehingga hukum yang ada di indonesia senantiasa mengambil pendapat-pendapat Imam Syafi’i atau Syafiiyah dari pada konsep-konsep imam yang lain.
Seorang tokoh ulama indonesia, KH. Hasyim Asy’ari, sebagai pendiri NU dan Ketua Umum PBNU pertama kali menyadari adanya madzhab fiqh diluar empat madzhab sunni tersebut, seperti Madzhab Sofwan As-Sauri, Safwan Bin Uyainah, Daud Ibn Ali Az-Zahiri yang juga boleh diikuti. Hanya saja madzhab-madzhab tersebut tidak punya pengikut setia sehingga hasil pemikirannya belum terkodifikasi dan akhirnya transmisi keilmuwaannya terputus. Walaupun demikian, dalam prakteknya kitab-kitab Asy-Syafi’iyah tetap yang paling mendominasi cara kerja dalam pengambilan keputusan hukum islam dan bisa dikatakan standar kemuktabaran kitab fiqh pun masih Syafi’i sentries.
Kenyataan mengenai terlalu dominannya Madzhab Syafi’i memang ada. Pendapat para Ulama’ Syafi’iyah masih cukup dominan dalam Bahtsul Masa’il NU. Namun demikian, sebagaimana pendapat alm. KH. Sahal Mahfudz menjelaskan bahwa dominasi Syafi’i bukan berarti ulama’ NU menolak pendapat ulama’ di luar Syafi’yah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai cukup referensi lain di luar Madzhab Syafi’i semisal kitab Al-Mudawanah (Imam Malik), Kanz Al-Wushul (Bazdawi Al-Hanafi), Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam (Ibn Hazm), Raudat Al-Nazhir Fi Jannat AlMunazhir (Ibnu Qudamah Al-Hanbali) dan lain-lain. Karena itu jangan heran jika keputusan bahtsul masa’il selalu sarat dengan kitab-kitab Syafi’i mulai dari yang paling kecil semisal Safinat Al-Sholah karya Imam Nawawi Banten sampai yang paling besar Al-Um Atau AlMajmu’. Sangat sulit dijumpai dalam kepustakaan mereka kitab-kitab lain di luar Syafi’i kecuali sebagian kecil ulama’. Ini disamping karena harganya belum terjangkau juga lantaran kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia. Seandainya mereka mempunyai referensi lain selain Madzhab Syafi’i tentu mereka akan menerima sepanjang bisa dinalar dan tidak bertentangan dengan akal kultural setempat. Hal itu terbukti dengan keputusan bahtsul masa’il NU belakangan ini yang diwarnai dengan pendapat diluar Madzhab Syafi’i.[8]
Untuk membentuk fiqh baru ala Indonesia sendiri perlu adanya kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak, terutama ketika harus melewati refleksi historisitas atau melihat kembali awal perkembangan fiqh di Indonesia. Perspektif ini mengajarkan bahwa hokum baru dapat berjalan dengan baik jika dibantu oleh lingkungan dan kebudayaan yang berjalan seiringan. Dengan demikian fiqh Indonesia diharapkan mempunyai cita rasa khas sendiri yang berbeda dengan lainnya.[9]
Salah satu contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran fiqh adalah lahirnya pancasila. Pancasila yang digali dari budaya banggsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar Negara Indonesia, meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu, karena yang mereka idealkan adalah ajaran fiqh secara eksplisit yang menjadi dasar Negara. Namun, akhirnya mereka menyadari bahwa sesungguhnya pancasila adalah ajaran fundamental Islami. Sila pertama ke-Tuhanan yang Maha Esa mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman dan dalam fiqh ibadah, sila ke dua dan ketiga kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia senada dengan konsep fiqh muamalah, sila ke empat mencerminkan fiqh siyasah dan terakhir keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan bagian dari fiqh jinayat. [10]
Sebagaimana yang telah dijelaskan sejak awal, bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab dan merespon tantangan zaman. Oleh karena itu, disini hokum Islam dipahami akan selalu sesuai untuk segala konteks ruang dan waktu. Dalam mewujudkan itu maka menjadi tugas ummat Islam untuk mendialogkan dua kutub, yaitu nass yang bersifat ilahi namun terbatas dari segi jumlah di satu sisi dengan ‘urf (peradaban, sejarah, atau masyarakat) yang bersifat wad’I (manusiawi) tetapi selalu berkembang. Hal ini tentu saja dilakukan mengingat Islam adalah untuk mencapai dan menjamin kebahagiaan ummat manusia dunia maupun akhirat.
Dengan demikian, dialektika antara nass wahyu dan realitas masyarakat menjadi kunci untuk dapat menjadikan Islam selalu survive sepanjang masa dalam menghadapi arus perkembangan dan perubahan masyarakat. Dengan adanya dialektika tersebutlah membuktikan bahwa Islam sebagai rahmat li al-‘alamin.[11]
2.      Fiqh Nusantara ala Masdar F. Mas’udi
munculnya pemikiran hokum Islam Masdar ditandai dengan terbitnya buku Agama Keadilan : Risalah Zakat (pajak) dalam Islam, pada yahun 1991. Dalam bukunya masdar menawarkan dasar pemikiran hokum Islam alternatif yang nantinya sebagai solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial-keagamaan. Dalam pemikiran “Agama Keadilan” ini dilator belakangi oleh pengamatan Masdar – sebagai aktivis LSM- dengan kenyataan sosial yang dinilainya timpang. Dalam hal ini dapat dimaknai sebagai upaya peneggakan kembali bangunan sosial dan kemanusiaan Islam dari timbunan puing-puing kesejarahannya. Karena menurut Masdar, dalam rentang waktu  lebih dari 10 abad ummat Islam telah mengabaikan amanat sosial (kekhalifahannya).
            Wajah fiqh sendiri, sebagai potret luar dari syariat Islam yang dinilai sebagai rujukan masyarakat dalam bersikap, masih memiliki kelemahan yang menurut Masdar dikarenakan adanya keterikatan ummat Islam yang berlebihan terhadap teks (nash). Menurutnya sikap seperti ini hanya akan membuat prinsip kemaslahatan menjadi jargon kosong.
            Disini Masdar membawa konsep rekontruksi qath’I-dzanni, dengan pengertian qath’I yaitu nilai kemashlahatan dan keadilan, yang merupakan jiwa dari hokum itu sendiri, dan dzanni adalah seluruh ketentuan teks, ketentuan normative yang bisa digunnakan untuk menerjemahkan yang qath’I dalam kehidupan nyata.
            Disini persoalan yang dibahas oleh Masdar yaitu mengenai reproduksi perempuan, dalam pandangannya, bias gender yang terjadi dalam penafsiran teks keagamaan telah merugikan pihak perempuan. Seperti pada Q.S al-Baqarah (2); 223: “ Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki”. Menurut Masdar ayat ini berbicara tentang kesuburan seorang wanita daripada tentang seks. Namun beberapa ulama memahami sebagai dictum bahwa wanita itu dalam keadaan apapun harus memenuhi keinginan seksual suami. Dengan pemahaman seperti ini , suami bisa berbuat bebas sekehendak hatinya tanpa memperhatikan kepentingan istrinya, bahwa jika istri menolak ajakan seksual suaminya maka istri akan mendapatkan dosa, namun tidak sebaliknya.
            Untuk menjustifikasi sikap dan keyakinan nya bahwa laki-laki lebbih unggul daripada perempuan, para ulama biasanya menggunakan Q.S. an-Nisa’ (4): 34: “kaum laki-laki itu pemimpin bagi para perempuan”. Seperti halnya ketika pasangan suami istri berhubungan seks, pada detik-detik kenikmatannya, istri sama sekali bukanlah objek, melainkan subjek. Tidak adil rasanya kalau hanya satu pihak yang merasakan kenikmatannya, sedangkan pihak lain hanya mendapatkan getahnya. Sebaliknya, pekerjaan rumah tangga, bukanlah tanggung jawab istri seorang seharusnya, melainkan suami juga harus ikut membantu didalamnya. Namun realita sekarang, pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan istri seorang.
            Disini Masdar melihat bahwasanya seharusnya antara laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki hak-hak yang seimbang dan sebanding dengan kaum laki-laki. Pandangan ini lahir karena reaksi atas persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat.[12]
Penutupan
Fiqh Indonesia mengalami masa perubahan yang banyak, dan didominasi oleh beberapa mahdzab terutama mahdzab Syafi’I, oleh karena itu perlu perubahan atau pemikiran-pemikiran moderat agar fiqh dapat memenuhi perkembangan atau perubahan zaman guna menjadi solusi ummat muslim agar Indonesia menjadi Negara yang baldattun thayyibatun waa Rabbun Ghaffur dengan menggabungkan nass wahyu dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Serta penting daripada itu adalah masyarakat yang turut mendukung berkembangnya berfikir yang luas dan lingkungan yang tidak terlalu fanatic, disitulah hokum fiqh di Indonesia dapat berkembang dengan luas.
Dalam hal ini seharusnya kita sebagai generasi bangsa jangan lah puas ketika mendapatkan suatu ilmu, melainkan harus berfikir komprehensif terhadap realitas-realitas yang terjadi di masyarakat sekarang. Karena zaman akan terus berkembang, dan problematika dimasyarakat akan semakin komples adanya.



Daftar Pustaka
Najib, Agus. Moh, Evolusi Syariah; Ikhtiar Mahmoed Mohamed Taha Bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pesantren Wawesea Press, 2007)
Maksum, Saifullah, Kharisma Ulama’, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1998)
Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007)
Wasik, Abdul, Peran Imam Madhzab dan Interaksi Sosial dalam Penerapan Hukum Islam, al-‘Adalah, Volume, 18 Nomor 12 Mei 2015.
as-Shiddiqy, Hasbi, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966).
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam Di Indonesia (Jakarta: Interaksi Sosialnya Interaksi Sosialnya Interaksi Sosialnya LP3ES, 1980).
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: Lkis, 2005).
as-Shiddiqy, Hasbi, Fiqh Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Rahimin Affandi Abd Rahim, EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM: UPAYA MENCARI PARADIGMA BARU FIQH KONTEMPORER, AL-RISALAH Jurnal Ilmu Hukum | Vol. 13, No. 1, Juni 2013.
Gatot Suhirman, Fiqh Mahzab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as-Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat li-Indonesia). Al-Mawarid, Vol. XI, No. 1, Feb-Augst 2010.





[1] Rahimin Affandi Abd Rahim, EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM: UPAYA MENCARI PARADIGMA BARU FIQH KONTEMPORER, AL-RISALAH Jurnal Ilmu Hukum | Vol. 13, No. 1, Juni 2013.
[2] Gatot Suhirman, Fiqh Mahzab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi as-Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat li-Indonesia). Al-Mawarid, Vol. XI, No. 1, Feb-Augst 2010. Hlm 11
[3] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: Lkis, 2005), hlm 34-42.
[4] Mahsun Fuad, Ibid., hlm 64
[5] T.M Hasbi as-Shiddiqy, Fiqh Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 160.
[6] Hasbi as-Shiddiqy, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), hlm 42.
[7] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia (Jakarta: Interaksi Sosialnya Interaksi Sosialnya Interaksi Sosialnya LP3ES, 1980), hlm. 242-243.

[8] Saifullah Maksum, Kharisma Ulama’, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 80.
[9] Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), hlm. 31.
[10] Abdul Wasik, Peran Imam Madhzab dan Interaksi Sosial dalam Penerapan Hukum Islam, al-‘Adalah, Volume, 18 Nomor 12 Mei 2015, hlm 116-118.
[11] Agus. Moh. Najib, Evolusi Syariah; Ikhtiar Mahmoed Mohamed Taha Bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pesantren Wawesea Press, 2007), hlm. 41-42.
[12] Mahsun Fuad, Ibid., hlm 90-110.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

About us