mari belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, filsafat, teori-teori belajar dan lain sebagainya

Wednesday, November 15, 2017

IBNU MASKAWAIH

IBNU MASKAWAIH
FILSAFAT ILMU KEISLAMAN
Oleh : Lukman Khakim

A.  Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Maskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub bin Maskawaih. Ia lahir di Rayy (sekarang Teheran, ibu kota Republik Islam Iran) pada tahun 330 H/941 M dan wafat pada usia lanjut di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.[1] Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Buwaihi di Baghdad (320-448 H) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah.[2]
Puncak prestasi kekuasaan Bani Buwaihi adalah pada masa ‘Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H, perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat besar, sehingga pada masa ini Ibnu Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Pada masa ini juga Ibnu Maskawaih mendapat kepercayaan besar dari raja untuk diangkat sebagai penjaga (Khazin) perpustakaannya yang besar, sebagai penyimpan rahasia dan utusan ke pihak-pihak yang diperlukan.[3]
Latar belakang pendidikan Ibnu Maskawaih tidak ditemukan data sejarah secara rinci. Namun ditemukan keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filasafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Tayyib.[4]
Ibnu Maskawaih juga digelari sebagai Guru ketiga ( al-Mu’alim al-Tsalits ) setelah al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualim al-Tsani) sedangkan yang dianggap guru pertama (al-Mualim al-Awwal ) adalah Aristoteles.[5]

B.  Karya
Ibnu Miskawaiah selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga adalah penulis yang produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin Zar disebutkan beberapa karya tulisnya sebagai berikut:[6]
1.        Al Fauz al Akbar
2.        Al Fauz al Asghar
3.        Tajarib al Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/979 M)
4.        Uns al Farid (Koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
5.        Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan politik)
6.        Al Mustaufa (tentang syair-syair pilihan)
7.        Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
8.        Al Jami`
9.        Al Siyab
10.    On the simple Drugs (tentang kedokteran)
11.    On the composition of the Bajats (tentang seni memasak)
12.    Kitab al Ashribah (tentang minuman)
13.    Tahzib al Akhlaq (tentang akhlak)
14.    Risalat fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs
15.    Ajwibat wa As`ilat fi al Nafs wa al `Aql
16.    Al Jawab fi al Masa’il al Salas
17.    Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al Shufi fi Haqiqat al Aql
18.    Thaharat al Nafs.

C.  Pemikiran Filsafat
1.    Epistemologi
Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa manusia memahami hakikat dengan dua cara dan dua pola. Pertama, melalui panca indera, dan dalam hal ini hewan juga sama. Kedua, melalui akal yang khusus, sedangkan hewan tidak memilikinya. Pemahaman akal ini tidak membebaskan manusia dari ketergantungan terhadap pemahaman indrawi, kecuali melalui latihan yang lama.[7]
Proses penahapan mekanisme perolehan pengetahuan melalui indera, dimulai dengan penyerapan panca indera lahiriyah terhadap objek inderawi. Indera mengumpulkan objek inderawi tersebut di dalam indera kolektif selanjut memindahkannya ke daya fantasi, kemudian ke daya ingatan. Semua tingkat pemahaman tersebut ada pada hewan dan manusia. Akan tetapi terdapat daya lain dari jiwa yang khusus dimiliki manusia dan tidak ada pada hewan, yaitu daya pikir, yang di situ berlangsung dinamika kognitif, orientasi menuju akal, dan pemahaman hakikat segala sesuatu yang ada dalam akal.[8]
Seseorang mengetahui daun pisang berwarna hujau merupakan contoh dari pengetahuan inderawi. Sedangkan seseorang mengetahui cara mengobati penyakit merupakan contoh dari pengetahuan akal.
2.    Ketuhanan
Pemikiran Ibnu Maskawaih tentang Tuhan sama dengan pemikiran Al Kindi dan Al Farabi. Menurut Ibnu Maskawaih, Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, Azali, dan Pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Tuhan tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya.[9] Keesaan Tuhan sangatlah mutlak dan tidak dipengaruhi makhluk-Nya
Menurut De Boer, yang dikutip oleh Sirajuddin Zar, Ibnu Maskawaih menyatakan, “Tuhan adalah zat yang jelas dan zat yang tidak jelas. Dikatakan zat yang jelas bahwa ia adalah Yang Hak (Benar). Yang Benar adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkapnya, disebabkan banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya.” [10] Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan. Tuhan jelas adanya karena tidak mungkin manusia dan alam semesta ada tanpa ada yang menciptakan. Sedangkan manusia sangat sulit untuk mengetahui entitas Tuhan karena keterbatasan pengetahuannya.
3.      Emanasi
Ibnu Maskawaih menganut paham emanasi sebagaimana Al-farabi,  yakni Allah menciptakan alam secara pancaran. Akan tetapi berbeda dengan Al Farabi, menurutnya entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘aql Fa’al’ (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun, bersifat qadim, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al-falak). Pemancaran yang terus-menerus dari Allah dapat memelihara tatanan di dalam alam ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan terhenti kemaujudan dalam alam ini.[11]
Perbedaan emanasi antara Al-Farabi dan Ibnu Maskawaih secara rinci sebagai berikut:
a.    Menurut Ibnu Maskawaih, Allah menjadikan alam ini secara pancaran (emanasi) dari tiada menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi alam dijadiakan Tuhan secara pancaran (emanasi) dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.    Bagi Ibnu maskawaih entitas yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara bagi Al-farabi entitas yang pertama ialah Akal pertama dan Akal Aktif adalah akal kesepuluh.
Selain itu, Ibnu Maskawaih juga mengemukakan teori evolusi.[12] Menurutnya alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia merupakan suatu rentetan yang saling menyambung. Antara setiap alam tersebut terdapat jarak waktu yang sangat panjang. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuh-tumbuhan terjadi melalui merjan. Dari alam tumbuh-tumbuhan ke hewan melalui pohon kurma dan dari alam hewan ke manusia melalui kera.
4.    Kenabian
Seperti halnya Al-Farabi, Ibnu Maskawaih juga Menginterpretasikan kenabian secara Ilmiah. Usahanya ini dapat memperkecil perbedaan antara nabi dan pilosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara akal dan wahyu. Menurutnya, nabi memperoleh hakikat hakikat kebenaran  seperti juga  diperoleh oleh para filosof. Perbedaannya hanya terletak pada tehnik memperolehnya.
Nabi adalah seorang Muslim yang memperoleh hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Sedangkan filosof mendapatkan kebenaran tersebut dari bawah ke atas, yaitu dari dari daya indrawi menarik ke daya khayal dan menarik lagi ke daya berpikir yang dapat berhubungan dan menangkap hakikat atau kebenaran dari akal aktif. [13]
Perenungan tentang hakikat segala sesuatu yang wujud sehingga mempertajam pandangan yang akhirnya dapat mengenal soal ketuhanan, tingkat ini didapat oleh filosof. Sedangkan tanpa perenungan akal pikiran tetapi dapat karunia limpahan langsung dari Tuhan berupa kebenaran (wahyu) tanpa melalui latihan akal pikiran, tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang terpilih, yaitu nabi.[14]
Penjelasan tersebut merupakan petunjuk bahwa Ibnu Maskawaih berusaha merekonsiliasikan antara agama dan filsafat.
5.    Jiwa
Kata jiwa berasal dari bahasa arab (النفس) yang secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai diri atau secara lebih sederhana bisa diterjemahkan dengan jiwa.[15] Menurut Ibnu Maskawaih, jiwa adalah substansi rohani yang tidak hancur  dengan sebab kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan  yang tidak dapat terbagi bagi. Ia akan hidup selalu ia tidak dapat diraba dengan panca indra karena ia bukan jism dan bagian dari jisim. Jiwa dapat merasakan keberadaan zatnya dan mengetahui keaktivitasnya.[16] Ia mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat dibagi itu tidak mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan nonmateri yang sederhana.
Ibnu Maskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa dan pengetahuan panca indra. [17] Ia mengatakan bahwa panca indra tidak dapat menangkap selain apa yang dapat diraba atau diindra. Sedangkan jiwa dapat mengangkap apa yang dapat ditangkap pancaindra dan juga yang tidak dapat di tangkap pancaindra.

6.    Akhlak
Ibnu Maskawaih adalah seorang moralis terkenal. Hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya selalu mendapat perhatian utama. Akhlak adalah jamak dari khuluq yang artinya sikap, tindakan, tindak-tanduk dan sikap, inilah yang akan membentuk sikap kita dan inilah yang bisa dikomentari oleh orang lain berbeda dengan khalq atau ciptaan karena tidak bisa dikomentar dalam artian langsung ciptaan Allah swt. semata seperti fisik manusia itu sendiri.
Menurut konsep Ibnu Maskawaih,[18] akhlak adalah : mental atau keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa pikir dan pertimbangan.
Dengan kata lain akhlak adalah keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua: ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan.[19] Dengan demikian, manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. definisi tersebut menjelaskan bahwa Ia menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak atau moralitas manusia berasal dari watak dan tidak mungkin dapat berubah. Perubahan akhlak dan moralitas itu selalu terbuka lebar terutama bila dilakukan melalui pendidikan (tarbiyah).
Menurut Ibnu Maskawaih, jiwa memliki tiga daya : daya berpikir, daya marah, dan daya keinginan. Sifat hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berpikir yang lahir dari ilmu. Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah yang timbul dari safat hilm (mawas diri). Sedangkan murah adalah sifat utama bagi jiwa keinginan yang lahir dari ‘iffah (memelihara kehormatan diri). Dengan demikian ada tiga sifat utama, yaitu hikmah, berani, dan murah. Apabila ketiga sifat ini serasi maka muncullah sifat utama keempat, yakni adil. Adapun lawan dari keempat sifat utama ini adalah bodoh, rakus, penakut, dan dhalim.
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan berbeda menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya. [20]
Ibnu Maskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah SWT. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju derajat malaikat.


KESIMPULAN
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ibnu Maskawaih merupakan filosof  muslim yang berupaya memadukan agama dan filsafat. Yaitu dengan merekonsiliasikan upaya untuk mendapatkan hakikat atau kebenaran. Yakni, melalui jalan berfikir oleh filosof dan melalui jalan wahyu oleh Nabi.
Adapun tentang pengetahuan manusia Ibnu Maskawaih membagi menjadi dua, yaitu pengetahuan dari pancaindra dan pengetahuan dari jiwa atau akal.
Ibnu Maskawaih dijuluki sebagai Mu’allim Tsalits setelah Aristoteles dan Al Kindi.


DAFTAR PUSTAKA

Daudy, Ahmad.  Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
Maskawaih, Ibnu. al-Fawz al-Ashghar. Mesir : Mustofa Fahmi al Kutubi. t.th
Maskawaih, Ibnu. Tahdzib Al Ahklaq wa Tathhir Al A`raq. Kairo: Muassasat Al Khaniji. 1967
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Fajar Interpratama Offset. 2005
Munawwir dan Muhammad Fairuz. Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab. cet. I. Surabaya: Pustaka Progressif. 2007
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta. 2004
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2007



[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007). Hal. 127.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 128.
[3] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hal. 56.
[4] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 5.
[5] Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005). Hal.  327-328.
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal.128-129.
[7] Ibnu Maskawaih, al-Fawz al-Ashghar, (Mesir : Mustofa Fahmi al Kutubi, t.th), hal. 6.
[8] Ibnu Maskawaih, al-Fawz al-Ashghar…, hal. 43,
[9] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 129.
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 130.
[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 131.
[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 131.
[13] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 131-132.
[14] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Hal. 90.
[15] Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007). Hal. 366.
[16] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 133.
[17] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 134.
[18] الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية, Ibn Maskawaih, Tahdzib Al Ahklaq wa Tathhir Al A`raq, (Kairo: Muassasat Al Khaniji, 1967), Hal. 9.
[19] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 135.
[20] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam…, Hal. 136.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

About us