mari belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, filsafat, teori-teori belajar dan lain sebagainya

Friday, November 17, 2017

Pendekatan Politis dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama sempurna dan lengkap (kaffah), bukanlah semata-mata agama yang hanya menyangkut persoalan hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mencakup pengaturan semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan bersosial dan bernegara (politik).[1]
Ciri khas yang menonjol dalam interaksi terletak pada pandangan bahwa Islam adalah keyakinan akan kemahakuasaan Allah SWT (penyerahan diri). Islam merupakan ajaran yang menyeluruh, mengatur segala aspek kehidupan secara terpadu. Islam mempunyai hubungan yang terpadu dengan politik, sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, keluarga dalam masyarakat.
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat, baik dalam maupun luar negri. Pelaksana praktisnya adalah daulah (negara), sedangkan umat melqkaukan muhasabah (kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah (khalifah).[2]
Dalam tradisi pemikiran Islam klasik dan pertengahan, hubungan agama dan negara merupakan sesuatu yang saling melengkapi, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Agama membutuhkan negara, demikian juga sebaliknya. Al-Mawardi mengatakan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam didirikan untuk melanjutkan tugas-tugas kenabian dalam memlihara agama dan mengelola kebutuhan duniawi masyarakat.
Para teoretisi politik Islam selalu mengaitkan kepentingan terhadap negara dengan kenyataan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendirian.[3] Sebagaimana ungkapan Aristoteles bahwa, manusia merupakan ‘Zone Politicon’ makhluk sosial yang membutuhkan orang lain (lingkup sosial kemasyarakatan dan bernegara).
Dalam upaya mewujudkan tatanan politik negara yang lebih tertib, aman, damai, harmonis, dan sejahtera, yaitu keadaan masyarakat yang terbebas dari permusuhan antara satu bangsa dengan bangsa lain, tidak terlepas dari peran seorang pemimpin sebuah negara. Karena itu, pemimpin dituntut mampu mengerti politik, dan tau cara menjalankannya.[4]
Kata ‘politik’ yang sekarang ini tetap hangat di telinga karena hampir segenap masyarakat familiar dengan kata tersebut, namun tidak semuanya mengerti apa itu politik. Oleh karena itu, makalah ini hadir sebagai pijakan nalar dan sumbangsih pengetahuan, yang berisikan tentang pengertian politik, dan teori-teori politik menurut pemikir muslim, karena dalam hal ini kaitannya dengan studi kesialaman.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian politik?
2. Bagaimana teori-teori politik oleh pemikir Muslim?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Politik
Politik secara etimologi dalam bahasa Arab  disebut Siyasah, yang selanjutnya kata ini kemudian diterjemahkan menjadi siasat. atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Politics. Politik berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan  mengartikan sebagi suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi untuk ilmu politik.[5]
Adapun asal usul kata ‘politik’, berasal dari bahasa Yunani ‘politikos’ atau dalam bahasa latin ‘politica’. Pemakaian kata itu pertama kali pada abad ke 5 S.M. (sebelum Masehi), yang asal katanya ‘polis’, berarti negara atau kota.
Filosof-filosof Yunani mulailah mempergunakan perkataan itu di dalam karangan-karangan yang mereka tinggalkan. Misalnya Plato (427-347 S.M.) meninggalkan naskah ‘Politica’. Naskah-naskah inilah yang dianggap oleh para sarjana Barat sebagai buku pertama yang merintis jalan ilmu pengetahuan politik.
Secara terminologi, banyak tokoh yang memberikan definisi tentang politik dan siyasah, kendati sukar memberikan batasan ilmu politik dengan ilmu kemasyarakatan lainnya, antara lain:[6]
Ø Bangsa Yunani purbakala beranggapan bahwa politik ialah kecakapan bernegara (politike techne).
Ø Colten Stuart memandang politik ialah kepandaian memegang pemerintahan negara (de kunst om de staat te besturen).
Ø J. Kramer menegaskan, bahwa politik ialah pengetahuan yang menyelidiki tentang kewajiban dan tujuan memerintah, serta mencari jalan yang sebaik-baiknya untuk memenuhi dan mencapai tujuan itu.
Ø Muhammad Rusjdi mendefinisikan siyasah ialah ilmu pengetahuan tentang jabatan-jabatan dalam negara dan tentang pimpinan atas masyarakat yang meliputi urusannya.
Ø Syeikh Moh. Bakhiet, siyasah adalah peraturan-peraturan yang dibuat untuk memelihara kepentingan-kepentingan umum dan menetapkan dasar-dasar keamanan.
Ø Abdur Rahman Kawakibi, siyasah ialah menyelesaikan soal-soal masyarakat dengan segala kebijakan.
Ø Abul Baqai, siyasah adalahmemberikan perbaikan kepada rakyat dengan jalan memimpin mereka kepada jalan kemenangan dan keberuntungan di dunia dan akhirat.
Ø Moh. Kurdi Ali, siyasah ilmu memerintah. Dia harus dipegang oleh para ahli yang betul-betul menguasai dasar-dasar pengetahuan dan peraturan-peraturan dalam negara.
Ø Ramlan Surbakti, politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang engikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal di suatu wilayah tertentu.[7]
Pandangan Umum Politik dalam Islam
Menyinggung tentang politik dalam Islam, tentu merujuk pada suatu partikularistik kajian politik dalam kerangka nilai-nilai Islam normatif. Dalam konteks ideal, dalam upaya mewujudkan karakter moral tertinggi dalam bernegara (kebijakan umum untuk kebijakan bersama). Dalam hal ini, Alferd Stefan misalnya, menekankan bahwa kebijakan umum dengan keharusan moral tertinggi yang dibebankan kepada negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat membuka kesempatan bagi negara untuk merumuskan, dan atas inisiatif sendiri, memaksa perubahan besar pada sebuah masyarakat yang lebih baik. Dalam kerangka itu, politik dalam konteks tersebuh membutuhkan nilai-nilai normatif. Oleh karena itu, dinamakan politik Islam karena merujuk pada politik dengan memaknai nilai-nilai normatif Islam.
Definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara, kelompok, ataupun individu. Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan pada hukum Islam. Berbeda dengan pandangan Barat, politik diartikan sebagai pengaturan kekuasaan, bahkan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekecauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini senada dengan pendapat Loewenstein, “Politic is nicht anderes als der kamps um die macht” (politik merupakan perjungan kekuasaan).[8]
B. Teori-Teori Politik Pemikir Muslim
Sejarah Islam yang sudah berjalan sepanjang 15 abad, menurut para ahli, dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu periode klasik (hingga tahun 1250 M),  periode pertengahan (1250-1800 M), periode modern (1800-sekarang). Perkembangan pemikiran politik Islam juga dapat dibagi berdasarkan periodisasi sejarah tersebut.
Ciri umum pemikiran politik pada abad klasik yang ditandai oleh pandangan mereka yang bersifat khalifah sentries.  Kepala negara atau khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut untuk mematuhi kepala negara, bahkan di kalangan sebagian pemikir Sunni terkadang sangat berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar legitimasi keistimewaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Beberapa tokoh pemikir Islam pada masa klasik dan pertengahan yaitu Al-Farabi, Al-Mawardi, Al-Ghozali dan Ibnu Taimiyah.

1.                            Al-Farabi
Nama Lengkapnya yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, Beliau lahir di Utrar[9] pada 257 H/870 M. dan meninggal di Damaskus pada 339 H/950M dalam usia 80 Th. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius.
Al-Farabi adalah seorang filsuf yang paling banyak membicarakan masalah kemasyarakatan, walaupun ia bukan orang yang berkecimpung langsung dalam urusan kemasyarakatan. Ia menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk social yang mempunyai kecenderungan alami dalam bermasyarakat. Karena tujuan hidup dalam bermasyarakat adalah untuk menghasilkan kebahagiaan hidup, bukan sekedar materiil tetapi juga kebahagiaan spiritual. Pendapat Al-Farabi ini memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang Islam disamping pengaruh aristoteles maupun plato yang mengaitkan politik dengan moral, akhlak maupun budi pekerti. Masalah kemasyarakatan banyak dibicarakan dalam karya-karyanya antara lain : al-Siyasah al-Madani dan Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah.
Pemikiran politiknya banyak dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi waktu itu. Kekuasaan dinasti Abbasiyah diguncang oleh berbagai gejolak pertentangan  dan pemberontakan. Ia lahir pada masa khalifah Mu’tamid dan meninggal pada masa khalifah Mu’ti. Ketika itu banyak pemberontakan terhadap Daulah Abbasiyah dengan berbagai macam motif pemberontakan.
Pemikiran Al-Farabi tak lepas dari filsuf Plato yang berpendapat dalam kemasyarakatan, namun Al-Farabi disini menggunakan Agama Islam dalam memahami lebih jauh tentang kemasyarakatan. Al-Farabi menyatakan, sebagaimana dinyatakan oleh Plato, bahwa suatu negeri itu mempunyai suatu ikatan yang erat satu sama lain. Seperti halnya tubuh, jika ada satu bagian tubuh yang merasakan sakit, maka bagian tubuh lain juga ikut merasakannya. Dan kepala memiliki peranan penting dalam badan, karena kepala yang membawa badan tersebut bergerak. Disini al-Farabi sependapat dengan Plato dalam masalah negara ideal, bahwa negara ideal dapat tercipta berdasar keadilan. Keadilan tersebut dapat tercapai apabila setiap warga negara mengerjakan pekerjaan sendiri. Disini warga negara terbagi menjadi tiga golongan. Golongan atas, menengah dan bawah. Golongan atas yaitu orang-orang sebagai aparatur negara, golongan menengah yaitu golongan yang mengatur perekonomian negara atau pengusaha-pengusaha, dan golongan terakhir yaitu bawah, yang terdiri dari petani, pekerja, guru dan lain sebagainya.
Ia kemudian membuat kulifikasi ideal untuk seorang pemimpin seperti : 1) kecerdasan, 2) ingatan yang baik, 3) pikiran yang tajam, 4) cinta pada pengetahuan, 5) sikap zuhud kepada harta dan semua hiasan dunia, 6) cinta pada kejujuran, 7) murah hati, 8) cinta keadilan, 9) ketegaran dan keberanian, 10) sehat jasmani, dan, 11) fasih berbicara.
2.                       Al-Mawardi
Al Mawardi lahir di Basrah ( Sekarang Irak) pada 972 M, bernama lengkap Abu al hasan Ali bin Habib al Mawardi. Masa Pembelajaran yang sangat penting ia dapatkan ketika belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Salmari yakni seorang ahli hukum mazhab Syafi’I yang terkenal. Setelah itu ia pun melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfraini, maka tidak heran bila al Mawardi bisa menjadi seorang ahli tafsir, hadist dan fiqih, filsafat, etika dan sastra, serta politik. Inilah yang melatar belakangi al Mawardi untuk menggabungkan semuanya tersebut dalam pemikiran politik islam. Ia pun wafat pada 1058 M dalam usia 83 tahun tetapi karya-karyanya akan selalu diingat dan dikenang salah satunya yang paling terkenal adalah Adab al-Duniya wa al-Din (Tatakrama Duniawi dan Agamawi).
Pemikiran Politik Islam yang diungkapkan oleh al Mawardi merupakan penggabungan dari ilmu-ilmu yang ia dapat sebelumnya serta digabungkan dengan ajaran dalam agama islam. Kontribusi atau yang paling penting dari pemikiran al-Mawardi yang berbeda dengan pemikiran barat pada umumnya yaitu beliau meletakan islam sebagai fondasi utama dalam membangun masyarakat artinya disini dalam komposisi politiknya al-Mawardi memberikan porsi yang sangat besar sebagai dasar dalam membangun masyarakat yang lebih baik lagi. al-Mawardi meletakan islam sebagai fondasi utamanya tidak lain karena di dalam islam terdapat semua jawaban dari semua masalah yang ada. Salah satu bukunya yang paling terkenal, termasuk di Indonesia adalah Adab al-Duniya wa al-Din (Tata Krama Kehidupan Duniawi dan Agamawi).
Selain itu, karya-karyanya dalam bidang politik adalah Al-Ahkamu As-Sulthaniyah (Peraturan-peraturan Kerjaan/pemerintahan), Siyasatu Al-Wazarati wa Siyasatu Al-Maliki (Ketentuan-ketentuan Kewaziran, Politik Raja), Tashilu An-Nadzari wa Ta’jilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasati Al-Maliki, Siyasatu Al-Maliki, Nashihatu Al-Muluk.
Menurut Al-Mawardi, Imamah dilembagakan untuk menggantikan kenabiam (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Al-Mawardi berpendapat bahwa pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsure yaitu, ahl al-ikhtiyar atau orang yang berwenang untuk memilih kepala negara dan ahl-Imamah atau orang yang berhak menduduki jabatan kepala negara.  Dan menurut al-Mawardi sebagai kepala negara harus memiliki 10 kriteria, yaitu :  
a.       Melindungi/menjaga keutuhan agama.
b.      Menerapkan hukum pada para pihak yang berperkara (masalah perdata).
c.       Melindungi wilayah negara dan tempat suci.
d.      Menegakkan supremasi hukum (hudud) (masalah pidana).
e.       Melindungi daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh.
f.       Memerangi para penentang Islam, setelah mereka didakwahi & masuk Islam atau dalam perlindungan kaum muslimin (ahlu dzimmah).
g.      Mengambil fai’ (harta yang diperoleh kaum muslimin tanpa peperangan) dan sedekah sesuai dengan kewajiban syariat.
h.      Menentukan gaji, dan apa saja yang diperlukan dalam kas negara tanpa berlebihan.
i.        Mengangkat orang-orang terlatih dalam tugas-tugas kenegaraan (mis: orang jujur yang mengurusi keuangan, dsb).
j.        Terjun langsung untuk menangani berbagai persoalan dan menginspeksi keadaan
3.              Al-Ghozali
Al-Ghozali, yang nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali, lahir di Ghazaleh, sebuah negeri dekat Thus, Khurasan, 1059 M/450 H dan meninggal di kota yang sama pada 1111 M/ 501 H.
Pemikiran Al-Ghazali sependapat dengan Al-Mawardi bahwa mendirikan imamah adalah wajib. Al-Ghazali juga sependapat dengan Al-Mawardi dalam hal bentuk kepemerintahan, kewajiban mendirikan suatu kepemerintahan dan mengangkat imam yang berfungsi sebagai mengurus agama dan kepemerintahan. Bahwasanya mendirikan negara bukanlah berdasar pada rasio semata, melainkan berdasarkan kewajiban negara. Menurut Al-Ghazali, manusia adalah makhluk social yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, maka diperlukan bermasyarakat dan bernegara.  Al-Ghazali juga berpendapat bahwa negara dan agama bagaikan dua sisi mata koin yang keduanya tidak dapat dipisahkan, bahkan berpolitik menempati posisi yang sangat penting bahkan strategis dalam Islam, yang hanya berada setingkat dibawah kenabian.
Menurutnya seorang kepala negara mempunyai tugas suci atau kudus yang berasal dari Tuhan. Selain itu, Al-Ghazali juga berpendapat bahwa penguasa adalah baying-bayang Tuhan di muka bumi. Karena penguasa menurut Al-Ghazali dipilih oleh Tuhan, maka gagasan Al-Ghozali terhadap politik yaitu Teokrasi. Dengan demikian berbeda dengan Al-Mawardi yang mengembangkan gagasan kontrak social dalam teori ahl-imamah dan ahl ikhtiyar dan membuka adanya pemakzulan imam.
Syarat-syarat kepala negara menurut Al-Ghazali yaitu, dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, sehat jasmani dan rohani, kekuasaan yang nyata, memperoleh hidayah, berilmu pengetahuan, serta wara’.
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwasanya AL-Ghazali sangatlah diwarnai oleh sikap kepemihakan terhadap kekuasaan. Al-Ghozali tidak berani berseberangan dengan kekuasaan, karena ia sendiri mendapat patronasi dari penguasa.[10]













BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan:
1.        Politik merupakan alat untuk menggapai suatu kebijaksanaan dalam mengurus sesuatu (konteks kenegaraan). Karena politik menuntut kehebatan pemimpin negara dengan semangat kecintaan yang tulus kepada rakyatnya, diimbangi dengan kepatuhan rakyat kepadanya karena sadar akan kepentingan rakyat itu, dan harus siap senantiasa untuk memikul segala konsekuensi segala tanggungjawabnya.
2.        Dari pemikir-pemikir Islam di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mereka mempunyai kemiripan pemikiran dalam memahami politik Islam, mulai dari membentuk negara yang ideal, memilih kepala negara yang adil dan bijaksana dan sebagainya. Seperti Al-Farabi yang pemikirannya tak lepas dari seorang filsuf Plato tentang negara ideal, Al-Mawardi yang menggunakan Teori Kotrak Sosial dalam memilih kepala Negara, dan Al-Ghozali yang menggunakan Teori Teokrasi dalam politik Islam.
  1. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini terdapat banyak kekurangan. Kritik konstruktif dan saran progresif mutlak kami butuhkan. Kendati demikian, semoga tetap terselip nilai manfaat bagi para pembaca. Aamiin.




[1]Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1997), hal. 14.
[2]Muslim Mufti, Politik Islam Sejarah dan Pemikiran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hal. 15.
[3]Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syari’ah dan HAM, Fundamentalisme,& Antikorupsi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal. 4.
[4]Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, edisi I cet I, (Jakarta :Kencana, 2011) hlm. 448.
[5]Inu Kencana Syafiie,Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2009) cet. I, hlm.57.
[6]Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 46-51.
[7]Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1999), hal. 1.
[8]Muslim Mufti, Politik Islam Sejarah dan Pemikiran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hal. 20-21.
[9]Kota ini dahulu bernama Wasij, dan sekarang Utrar, termasuk wilayah Iran, namun belakangan menjadi bagian dari republic Uzbekiztan, lihat : Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indosnesia Kontemporer, hal. 15.
[10]Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indosnesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010), hal. 1-30.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

About us