mari belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, filsafat, teori-teori belajar dan lain sebagainya

Monday, June 5, 2017

Pemahaman dan Kaedah Ilmu Munasabah

 Pemahaman dan Kaedah Ilmu Munasabah

 A.    PENDAHULUAN
Al-Qur’an Al-Karim merupakan kitab pamungkas, diturunkan kepada Nabi terakhir dengan membawa agama yang bersifat umum dan berlaku abadi sebagai penutup seluruh agama yang ada. Kitab suci juga menjadi undang-undang dari sang pencipta untuk memperbaiki makhluk, aturan-aturan samawi sebagai hidayah bagi bumi ini, yang penurunnya melettakan semua syari’at, menitipkan setiap gerakan dan menggantungkan segala jenis kebahagiaan.
Al-Qur’an merupakan kitab sumber agama tertinggi yaitu Islam, di mana di dalamnya terkandung akidah, ibadah, hikmah, hukum, etika, akhlak, kisah, nasehat, ilmu dan pengetahuan.
Al-qur’an juga merupakan pilar bahasa tertinggi yaitu Bahasa Arab sebagai gantungan kenabian dan elestariannya, juga sandaran ilmu-ilmu dengan sekian sekian ragam jumlahnya sehingga mampu mengungguli semua bahasa di dunia, baik dalam pola maupun materinya.
Alqur’an dari awal sampai akhir merupakan kekuatan yang mampu mengubah wajah dunia, Menggeser batas-batas wilayah kehambaan, mengubah laju sejarah dan menyelamatkan humanitas yang sedang terpeleset, sehingga membuat format makhluk baru.[1]
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabab dan menurut suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula penerapannya dalam kehidupan. Dan kita tidak akan mengetahui fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-musabab yang mendorong terjadinya peristiwa.[2] Namun Al-Qur’an sendiri jauh lebih tinggi daripada sejarah. Kalau kita berhenti pada faktor sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, kita tidak akan dapat menyelami segala yang ada di dalamnya. Akhirnya kita akan mnyadari betapa bohong sejarah dan para ahli sejarah dalam pembicaraannya mengenai sejarah! Bagaimanapun juga, di dalam sejarah pasti terdapat kekosongan yang harus diisi dan terdapat celah-celah yang harus ditutup! Adalah berbeda dengan asbabun-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an).[3] Jadi apakah aneh kalau para ulama yang benar-benar menguasai isi dan makna al-Qur’an lalu mengharamkan orang yang tidak mengetahui ababun-nuzul tapi berani menafsirkan Kitabullah? Apakah al-Wahidi berlebihan jika ia mengatakan: “Tidak mungkin orang mengetahui tafsir ayat al-Qur’an tanpa memahami kisahnya dan eterangan mengenai turunnya.[4]
Menurut logika yang sehat, seorang hanya berbicara tentang pengetahuannya yang cermat mengenai ayat-ayat yang didengarnya sendiri. Tapi juga tidak mustahil jika ia sendiri tidak mengetahui beberapa sebab turunnya ayat-ayat itu. Sama halnya dengan para ulama qira’at (Al-Qur’an) yang juga tidak banyak mengetahui sebab-sebab turunya ayat-ayat al-Qur’an. Zaman terus bergerak dan mungkin banyak sebab-sebab turunya ayat-ayat al-Qur’an yang tidak mereka ketahui. Itu disebbkan karena semakin jauhnya mereka dari sumber yang palig jernih. Karena itulah para ulama salaf (generasi sahabat Nabi) sangat keras dan ketat menghadapi berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbabun-nuzul. Keketatan mereka itu dititik beratkan pada seleksi pribadi sipembawa berita (para rawi), sumber-sumber riwayat (isnad) dan rumus kalimatnya (materi). Mengenai pribadi para rawi, hanya orang yang paling tinggi tingkat kesalehan dan kezuhudannya yang dimintai fatwanya tentang asbabun nuzul.
Begitupun dengan kitab-kitab tentang asbabun-nuzul yang ditulis orang zaman dahulu, tidak luput dari kritik-kritik yang keras, kendati para penulisnya menyandang predikat sebagai orang-orang yang shaleh, berilmu dan jujur.[5]

    Pengertian dan Kaidah-kaidah Ilmu Munasabah.
A.    Pengertian Ilmu Munasabah
Secara harfiah, kata munasabah ( ) berarti penghubungan, pertalian, pertautan, pesesuaian, kecocokan, dan kepantasan. Kata al-Munasabah, adalah sinonim (muradif) dengan kata al-Muqarrabah ( ) dan al-Musyakalah ( ) yang masing-masing berarti berdekatan dan persamaan.[1] Di antara contoh kata al-munasabah dalam konteks pengertian ini ialah munasabah illat hukum (alasan logis) dalam teori al-qiyas (aanalogi), yaitu sifat yang berdekatan atau memiliki persamaan dalam penetapan hukum.[2]
      Adapun yang dimaksud dengan munasabah dalam terminologi ahli-ahli ilmu al-Qur’an sesuai dengan pengertian harfiahnya di atas ialah: segi-segi hbungan atau persesuaian Al-Qur’an antara bagian demi bagian dalam berbagai bentuknya. Yang dimaksud dengan segi hubungan atau persesuaian ialah semua pertalian yang merujuk kepada makna-makna yang mempertalikan satu bagian dengan bagian yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bagian demi bagian ialah semisal antara kata/kalimat dengan kata/kalimat, antar ayat dengan ayat, antara awal surat dengan akhir surat, antara surat yang satu dengan surat yang lain, dan begitulah seterusnya hingga benar-benar tergambar bahwa Al-Qur’an itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh (holistik).[3]
B.     Segi-segi munasabah
Dalam Al-Qur’an seperti ditegaskan sebelum ini, pertaliannya tidak semata-mata terletak pada hubungan antar ayat dan antar surat, akan tetapi juga terdapat bagian demi bagian yang lainnya dari bagian yang terbesaratau terpanjang hingga bagian demi bagian yang terpendek atau terkecil. Sehubungan dengan itu maka para ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an sering membagi-bagikan munasabah ke dalam beberapa model. Di antaranya yang cukup masyhur ialah:
1). Munasabah antara jumlah dalam satu ayat;
2). Munasabah antara permulaan dn akhir ayat ( Munasabah antara mabda’ dengan fashilah);
3). Munasabah antara ayat dalam satu surat;
4). Munasabah antara ayat sejenis dalam berbagai surat;
5). Munasabah antara pembuka dan pnutup suatu surat;
6). Munasabah antar akhir surat yang satu dengan awal surat yang lain;
7). Munasabah antar surat;
8). Munasabah antar nama surat dengan tujuan/sasaran penurunannya;
9). Munasabah antar nama-nama surat.
Sungguhpun munasabah Al-Qur’an itu banyak model atau jenisnya, namun yang paling populer dan umum dikenal masyarakat luas ialah terbatas pada munasabah antar ayat dan munasabah antar surat. Itulah sebabnya mengapa ilmu munasabah ini lazim pula dipendekkan dengan sebutan al-munasabah baynal ayati was-suwari= hubungan antar ayat-ayat dan surat-surat (Al-Qur’an).
Jika hubungan antar huruf memiliki kedudukan sangat penting dalam mengucapkan (melafalkan) Al-Qur’an dan memaknainya, maka demikian pula halnya mengenali hubungan antar kalimat dan jumlah dalam Al-Qur’an juga dapat dipastikan mempunyai arti dan kedudukan yang signifakan.[4]
C.     Fungsi dan Peran Ilmu Munasabah
Urgensi dari keberadaan ilmu munasabah akan semakin terasa kebutuhannya manakala seseorang yang menafsirkan Al-Qur’a menggunakan metode tafsir al-Maudhu’i (tematik) dan atau tafsir muqarran (komparasi). Di antara kegunaan ilmu munasabah seperti di kemukakan Az-Zarkasyi ialah dapat menjadikan bagian demi bagian pembicaraan menjadi tersusun demikian rupa laksana sebuah bangunan kokoh lagi serasi antara bagian demi bagiannya. Selain itu ketika mempelajari ilmu munasabah, dapat membantu memahami ta’wil ayat, juga membantu makna-makna Al-Qur’an dan ‘ijaznya, bisa juga sebagai cara mengetahui kedudukan sebuah ayat yang terkadang sebagai penguat/keterangan/tafsir atau selingan. Ilmu munasabah tergolong ke dalam ilmu-ilmu ijtihadi yang karenanya bersifat penalaran. Sebagai ilmu ijtihadi, ilmu munasabah tentu memiliki peluang yang sangat memadai untuk dikembangkan dalam upaya memperkaya dan memperkuat penafsiran Al-Qur’an.[5] 
D.    Pendapat Para Ulama Tentang Ilmu Munasabah.
Ilmu yang membahas perihal hubungan Al-Qur’an antar bagian demi bagian, antar ayat demi ayat, antar surat demi surat lainnya. Tokoh yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang mempelopori keberadaan ilmu munasabah ialah Abu Bakr an-Naysaburi (w. 324 H),seorang alima berkebangsaan Irak. Tokoh lain yang disebut-sebut turut berjasa bagi pengembangan ilmu munasabah ialah al-Imam Fakhrudin ar-Razi (w. 606 H), pengarang kitab Mafatihul Ghaib Fi-Tafsiril Qur’an; AL-Qadhi Abu Bakr Ibn al-A’rabi (468-543 H) yang antara lain menulis kitab Sirajul-Muridin wa Sirajul-Muhtadin.
Menurut al-Imam Badruddin Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, “al-munasabah adalah ilmu yang sangat mulia (‘ilmu syarif), dengan ilmu ini bisa di ukur kemampuan (kecerdasan) seseorang, dan dengan ilmu ini pula bisa diketahui kadar pengetahuan seseorang dalam mengemukakan pendapat/pendiriaanya.”
      Sungguhpun ilmu munasabah itu tergolong ke dalam ilmu yang baik dan keberadaanya dianggap signifikan oleh para ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an, tidak berarti semua ulama setuju untuk menempatkan ilmu ini sebagai syarat mutlak dalam menfasirkan ayat-ayat al-Qur’an. Izzuddin bin Abdus-Salam (577-660 H), misalnya, memang mengakui keberadaan al-munasabah sebagai ilmu yang bagus (ilmu hasan), tetapi pada saat yang bersamaan ia juga mengingatkan agar penggunaanya dibatasi dalam hal yang objek (pembicaraanya) benar-benar memiliki keterkaitan sejak awal hingga akhir. Tetapi, jika rangkainnya itu menunjukkann sebab-sebab yang berlainan dan tidak konsisten apa yang menjadi obyek pembicaraanya sejak awal hingga akhir. Tetapi, jika rangkaian pembicaraan itu menunjukkan pada sebab-sebab yang berlainan dan tidak konsisten apa yang menjadi objek pembicaraanya sejak awal hingga akhir, maka ilmu munasabah tidaklah perlu dipaksakan penggunaannya. Orang yang melakukan demikian, kata Izzuddin, maka berarti dia telah memaksakan hal-hal yang diluar kemampuannya.
Sebagian ulama lain tetap berkeyakinan bahwa hubungan Al-Qur’an antara bagian demi bagian dan ayat demi ayat serta surat demi surta dan lain-lain pasti dapat ditelusuri. Az-Zarkasyi misalnya, menyatakan bahwa al-munasabah tergolong ke dalam hal yang bersifat rasional, dan aan terjangkau oleh akal manakala diserahi tugas (minat) untuk itu. Berbagai hubungan antara pembuka-pembuka surat dan penutup-penutupnya, demikian pula dengan perujukannya kepada makna apa pun yang menghubungkan antara keduannya; apakah itu berdasarkan pendekatan ‘am dan khash, aqli maupun hissi dan bahkan khayyali serta hubungan-hubungan yang lainnya.[6]
E.     Contoh Munasabah Dalam Al-Qur’an.
1.      Munasabah Antar Surat
Keserasian hubungan atau munasabah antar surat ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surat dengan surat lainnya. Bentuk munasabah yang tercermin pada masing-masing surat, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara umum maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang dapat ditarik pada tiga surat beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah (1), Q. S  al-Baqarah (2), dan Q. S al-Imran (3).
Satu surah berfungsi menjelaskansurat sebelumnya, misalnya di dalam surat al-Fatihah / 1 : 6 disebutkan :
إهدنا الصراط المستقيم (6)
Artinya : “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q. S al-Fatihah / 1 : 6)

Lalu dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan :
تلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين( 2)
Artinya : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Q. S al-Baqarah / 2 : 2)

2.      Munasabah Antara Nama Surat dengan Kandungan Isinya
Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi (tergantung pada petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih. Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surat dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan antara nama surat dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai berikut :

a.       Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surat. Nama surat al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b.      Nama diambil dari perumpamaan , peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surat : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c.       Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-Ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan : al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d.      Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surat. Contoh al-Hajj (dengan spesifik tema haji), al-Nisa’ (dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa’ yang berarti kaum wanita adalah irrig keharmonisan rumah tangga.
e.       Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surat, sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya : Thaha, Yasin, Shad, dan Qaf.
3.      Munasabah Antara Satu Kalimat  dengan Kalimat Lainnya dalam Satu Ayat
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan ciri-ciri ta’kid / tasydid (penguat / penegasan) dan tafsir / i’tiradh (interfretasi /penjelasan dan cirri-cirinya).
4.      Munasabah Antara Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surat tersebar sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal Q. S al-Baqarah : 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surat al-Mu’minun dimulai dengan :
قد افلح المؤمنون
Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat
انه لا يفلح الكافرون
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.

5.      Munasabah Antara Penutup Ayat dengan Isi Ayat Itu Sendiri
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tashdir (memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya), al-Tawsyih (mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal (tambahan penjelasan). Sebagai contoh :
فتبارك الله احسن الخالقين mengukuhkan ثم خلقنا النطفة علقة bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya (al-mukminun: 12-14).

6.      Munasabah Antara Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kimani bahwa Q. S al-Mu’minun di awali dengan (respek Tuhan kepada orang-orang mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang kafir). Dalam Q. S al-Qasash, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad SAW yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh Musa AS dan Muhammad SAW, serta jaminan Allah bahwa akan memperoleh kemenangan.

7.      Munasabah Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Waqi’ah / 96 :
فسبح باسم ربك العظيم
Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”.
Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid / 57 : 1 :

سبح الله ما في السموات والأرض وهو الزيز الحكيم

Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

8.      Munasabah Antar Ayat dengan Satu Tema
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q. S al-Nisa’ / 4 : 34 :

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم.

Dan Q. S al-Mujadalah / 58 : 11 :

يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتو العلم درجات والله بما تعملون خبير.

Tegaknya qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa’) erat sekali kaitannya dengan faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q. S an-Nisa’ menunjuk kata kunci “bimaa fadhdhala” dan “al-ilm”. Antara “bimaa fadhdhala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi (tauqifi). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam kitab al-Qur’an.[7]
            Demikianlah uraian singkat hubungan Al-Qur’an dilihat dari segi urut-urutan dan nama-nama suratnya yang menggambarkan persatuan dan kesatuan Al-Qur’an.[8]



[1] Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hal. 1.
[2] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta; Pusataka Firdaus, 2011, H. 165
[3] Ibid., H. 169
[4] Ibid., H. 169
[5] Ibid., H. 175-176[1] Jalaludin As-Sayuthi, Al-Itqan fi-Ulumil Qur’an. J.2, (t.t), hlm. 35.
[2] Muhammad Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qura’an, jil. 1, (t.t), hlm. 35
[3] Muhammad Amin Suma, Op.cit., h. 236-237
[4] Muhammad Amin Suma, Op.cit., h. 238-239.
[5] Muhammad Amin Suma, Op.cit., h. 255-256.
[6] Muhammad Amin Suma, Op.cit., h. 253-254.
[7] Manna’ K halil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Litera AntarNusa. Bogor. 2012., h.
[8] Muhammad Amin Suma, Op.cit., h. 274.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

About us