METODE
KRITIK MATAN HADITS
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Studi al-Qur’an dan Hadits
Dosen
Pengampu: Dr. Hamdani Mu’in, M. Ag.
Oleh:
Ibnu
Anshori (1600118050)
Rohimah (1600118057)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
I.
PENDAHULUAN
Hadits selalu
menjadi bahan rujukan kedua setelah al-Qur’an dan menempati posisi yang sangat
penting dalam kajian keislaman. Mengingat penulisan hadits dilakukan ratusan
tahun setelah Nabi Muhammad wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap
keabsahan sebuah hadits. Adanya hadits-hadits palsu (maudhu’), mendorong
diadakannya kodifikasi atau tadwin hadits sebagai uapaya penyelamatan
dari pemusnahan dan pemalsuan.
Mengingat
hadits menjadi rujukan sentral dalam kajian keislaman, tentu hal yang paling
tepat ialah memilih dan memilah hadits yang benar-benar aman untuk ‘dikonsumsi’
oleh umat Islam, terlebih hadits yang membahas masalah ibadah atau praktik
ajaran Islam secara umum. Karena harus diakui bahwa banyak hadits yang dianggap
shahih dan siap dikonsumsi, namun belum tentu shahih dan siap saji. Semua ini
dilatari oleh kenyataan bahwa validitas sebuah hadits sangat tergantung pada
integritas seorang perawi yang sangat personal. Itulah mengapa verifikasi menjadi
sangat penting dilakukan terhadap teks hadits.
Mengingat hal
itu, tentu butuh alat yang tepat untuk membaca sebuah teks hadits, yakni salah
satunya dengan cara metode kritik matan. Dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai metode kritik matan hadits beserta cakupannya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa pengertian dan sejarah kritik matan hadits?
B.
Bagaiamana kaidah matan hadits?
C.
Apa faktor yang mendorong kritik matan hadits?
D.
Bagaiama metode kritik matan hadits?
E.
Bagaiamna
langkah-langkah dalam melakukan kritik matan hadits)
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Sejarah Kritik Matan Hadits
Kata kritik (kritik matan) diambil dari bahasa Arab dari
kata naqd yang berarti memilih, membedakan, meneliti atau
kritik. Sedangkan kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti ma
irtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut istilah adalah:
ما ينتهي أليه السند من الكلام
“Suatu kalimat tempat berakhirya sanad”
الفاظ الحديث التي تتقوم بها معا نيه
“Lafadz-lafadz hadits yang di dalamnya mengandung makna-makna
tertentu”.
Ada juga redaksi yang lebih simpel lagi, yang menyebutkan bahwa
matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad). Dari semua pengertian di
atas, menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah materi atau lafadz
hadits itu sendiri.
Dalam definisi lain, matan ialah materi berita, yakni lafadz (teks)
haditsnya, berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang
disandarkan pada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in, yang letaknya dalam suatu
hadits pada penghujung sanad. Jadi,
kritik matan hadits dapat dipahami sebagai upaya pemilihan atau
penelitian secara seksama terhadap berbagai teks yang terdapat dalam hadits.
Adapun tata letak matan dalam struktur utuh penyajian hadits jatuh
setelah ujung sanad ialah menunjuk fungsi sanad sebagai pengantar data mengenai
proses sejarah transfer informasi hadits dari nara sumbernya. Dengan kata lain,
fungsi sanad, merupakan media pertanggungjawaban ilmiah bagi asal-usul fakta
kesejarahan teks hadits.
Ibnu Al-Atsir al-Jazari sebagaimana yang dikutip oleh Hasyim Abbas,
menegaskan bahwa, setiap matan hadits tersusun atas elemen lafal (teks) dan
elemen makna (konsep). Dengan demikian, komposisi ungkapan matan hadits pada
hakikatnya merupakan cerminan konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk
teks. Teks matan disebut juga nashsh al-hadits atau nashsh al-riwayah.
Namun, perlu diingat bahwa kesahihan suatu hadits tidak hanya berpegang teguh pada
riwayat semata, tetapi juga pada matan hadits. Untuk mengetahui shahih
tidaknya suatu matan hadits, maka tidak cukup hanya mengkomparasikan
satu matan hadits dengan hadits lainnya, tetapi juga perlu mengkomparsikan dengan
al-Qur’an. Bila tampak pada matan hadits ada pertentangan, maka status
hadits tersebut bisa dianggap dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
Dalam kajian hadits, kritik matan termasuk kajian yang tidak
terlalu populer dilakukan oleh para ahli hadits dibanding kritik sanad hadits.
Hal ini disebabkan tradisi penyampaian hadits secara lisan mulai dari generasi
sahabat sampai generasi tabi’ tabi’in. Tepatnya pada tahun ke-8
hijriah pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan setiap gubernur
untuk mencari para ahli agar dapat menuliskan setiap hadits yang dihapal untuk
dicatat dan dibukukan secara resmi. Mengingat, setiap susunan kata dan
kandungan hadits dalam sebuah kalimat, tidak bisa dinyatakan sebagai hadits,
apabila tidak ditemukan rangkaian rawi yang sampai kepada Nabi Saw.
Adapun sejarah kritik matan sebagai berikut:
1.
Kritik Matan Masa Nabi Saw
Pada masa awal, tradisi kritik hadits muncul sejak masa Nabi Saw. Kala
itu, Umar bin Khattab ketika menerima berita dari seseorang bahwa Nabi Saw
telah menceraikan istri-istrinya, seketika itu Umar langsung mengecek berita
tersebut kepada Nabi Saw. Rasulullah Saw pun menjawab “tidak”. Umar akhirnya
mengetahui bahwa Rasul hanya bersumpah untuk tidak menggauli istri-istrinya
selama sebulan. Pada masa ini sangat mudah mencari keaslian sabda Nabi
Saw, sebab para sahabat dapat bertemu langsung dengan Nabi.
2.
Kritik Matan Masa Sahabat
Kritik terhadap sabda Nabi Saw dilakukan dengan cara mencari kabar
kepada sahabat yang pernah terlibat langsung dari Nabi Saw, sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Aisyah ketika mengkritik sabda Nabi Saw dari Abu Hurairah
tentang mayat yang kena azab kubur disebabkan oleh ratapan keluarganya. Ketika
itu, Aisyah membantah dan menyatakan bahwa riwayat tersebut keliru, seraya
menyampaikan dan menjelaskan matan yang sesungguhnya, yaitu “suatu
ketika Nabi Saw melewati kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat
sedang meratap di atas kuburan tersebut. Selanjutnya Aisyah mengutip surah
Al-An’am (6) ayat 264 artinya:”.... seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain....” beberapa sahabat juga melakukan hal yang sama, seperti
Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Absullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin
Abbas dan Abdullah bin Umar.
Upaya kritik matan terhadap sabda Nabi Saw pada masa
sahabat adalah dengan cara meneliti kandungan sabda Nabi Saw dengan cara
menyesuaikannya dengan apa yang pernah didengar sendiri oleh sahabat, kemudian
membandingkannya dengan al-Qur’an.
3.
Kritik Matan Masa Tabi’ Tabi’in
Pada masa ini, terdapat tiga alasan utama para ahli hadits dalam
melakukan dan menjaga otentitas (keaslian) hadits, di antaranya: Pertama,
pengumpulan hadits yang dilakukan oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul
al-‘Aziz. Kedua, lahirnya ilmu kritik hadits dalam arti sesungguhnya.
Kelanjutan dari proses “kematangan” kritik sanad. Ketiga, lahirnya
semangat kuat untuk melakukan pelacakan hadits sebagaimana yang telah dilakukan
oleh para generasi sebelumnya.
4.
Kritik Matan Masa Itba’ Tabi’in
Masa itba’ tabi’in atau generasi tabi’in ketiga
pasca sahabat yang dinilai sebagai periode penyempurnaan. Pada masa ini,
ilmu hadits sudah mengalami perkembangan yang luar biasa. Ilmu hadits sudah
ditekuni oleh banyak para ahli hadits seluruh pelosok dunia. Konsekuensi logis,
kritik hadits tak lagi terbatas pada kalangan ulama “Arab”, melainkan di
seluruh wilayah Islam.
Akhir abad ke-2 H, sudah dimulai penelitian kritik hadits secara
teori dan praktek. Seperti imam Syafi’i dikenal sebagai ulama yang pertama kali
mewariskan teori ilmu hadits sebagaimana terdapat dalam karyanya
berjudul ar-Risalah (kitab ushul fikih) dan al-umm (kitab fikih).
B.
Kaidah Matan Hadits
Upaya telaah ulama dalam menentukan kaidah matan hadits,
al-Hakim mengemukakan lima bahasan:
1.
Hadits Nasikh-Mansukh
Telaah hadits mansukh merupakan telaah kesahihan matan,
karena dengan meneliti ini akan diketahui hadits yang maqbul-ma’mul
(diterima dan bisa diamalkan) dan hadits yang maqbul-ghayr ma’mul
(diterima dan tidak bisa diamalkan). Untuk mengetahui perlu tidaknya suatu
hadits, diperlukan pengetahuan yang luas asbab wurud al-Hadits (sejarah
atau latar belakang adanya hadits tersebut). Tentu untuk mengetahuinya sangat
sulit karena tidak semua hadits mempunyai latar belakang yang ada kaitannya
dengan adanya hadits yang bertentangan satu sama lain. Umpamanya hadits yang
menerangkan ziarah ke kubur.
Pertama, hadits yang melarang ziarah kubur:
لعن رسول الله ﷺ زائرات القبور
Rasulullah
SAW melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kubur.
Kedua,
hadits yang membolehkan ziarah
kubur:
إنّي كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها
Aku
pernah melarang kalian menziarahi kubur, (sekarang) berziarahlah.
Hadits pertama di-mansukh dengan hadits yang kedua. Menurut
Ibnu Shalah, cara-cara untuk mengetahui hadits nasikh dan mansukh
ialah melalui penjelasan Rasul, penjelasan sahabat, melalui sejarah periwayatan
dan melalui ijma’ bahwa hadits-hadits itu adalah nasikh sedangkan
yang lainnya adala mansukh.
2.
Ta’arudl al-Hadits
Hadits yang ta’arudl ialah hadits yang bertentangan, dan
sulit ditentukan nasikh-mansukh-nya atau rajikh-marjuh-nya.
Contohnya hadits yang berkaitan dengan pelaksanaan haji Rasulullah. Menurut
‘Aisyah, haji Rasulullah itu ifrad, menurut hadits yang diterima dari ‘Imran
bin al-Husayn adalah qiran; menurut hadits yang diterima dari ‘Abdullah
bin ‘Umar termasuk dalam tamattu’, padahal haji Rasulullah hanya satu
kali. Sulit mencari kesepakatan ulama madzhab dalam hal ini. Abu Bakr Muhammad
bin Ishaq mengambil haji tamattu’, al-Syafi’i mengambil haji ifrad,
dan Abu Hanifah memilih haji qiran.
Jika demikian halnya, maka yang dimaksud dengan ta’arudl
al-Hadits di sini adalah mukhtalaf al-Hadits dalam istilah lain.
Penyelesaian hadits seperti ini ialah dengan cara rajih-marjuh, men-jama’-kan
atau fawaqquf. Namun tampak bahwa ta’arudl ini merupakan ijtihad
para mujtahid juga yang sebenarnya termasuk hadits yang diperselisihkan.
Atas dasar itu, tepat bahwa kesahihan hadits adalah hasl ijtihad.
3.
Lafal Fiqh dalam Hadits
Lafal fiqh dalam hadits terjadi bila ada sisipan pemahaman rawi
yang masuk dalam hadits, yang umumnya tidak disengaja. Contohnya hadits yang
diterima dari ‘Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:
سألت رسول الله ﷺ أي العمل أفضل الصّلاة في أوّل وقتها.
Aku
bertanya kepada Rasulullah SAW, “Amal manakah yang paling utama?” Beliau
menjawab, “Shalat pada awal waktunya.”
Menurut
al-hakim hadits yang mahfudz yang diterima dari para imam tidak
menggunakan sisipan في
أوّل (pada awal waktunya).
4.
Lafal-lafal yang Gharib
Meneliti matan gharib yaitu menelaah kata-kata yang dianggap
asing dalam hadits. Telaah ini dilakukan untuk meluruskan pengertian yang tepat
dari matan hadits. Contohya adalah hadits yang berkaitan dengan cerita
Hudaybiyah. Rasulullah bersabda, أعطيه الحذيا (berikan kepadanya al-Hudzya).
Al-Hudzya artinya البشارة
بالخير (kebahagiaan dengan kebaikan).
5.
Hadits Maqlub
Telaah Maqlub sebenarnya termasuk telaah matan.
Ketika mengemukakan hadits maqlub, al-Hakim memberikan contoh hadits
yang meriwayatkan tentang anggota sujud. Dalam hadits yang pertama disebutkan
bahwa Anas melihat “Rasulullah mendahulukan lututnya sebelum tangannya.
Demikian pula pada riwayat Wa’il. Sementara itu, keterangan dari Ibnu ‘Umar
menyebutkan bahwa Rasulullah mendahulukan tangan sebelum lututnya ketika
sujud”. Al-Hakim mengambil hadits Ibnu ‘Umar dengan alasan banyak sahabat dan
tabi’in yang meriwayatkannya.
C.
Faktor Pendorong Kritik Matan Hadits
Ada beberapa faktor pembangkit kesadaran untuk melakukan kegiatan
penelitian terhadap hadits, khususnya penelitian pada sektor matannya. Berikut
dikemukakan beberapa faktor tersebut:
1.
Motivasi Agama
Jaminan keterpeliharaan al-Qur’an (QS. Al-Hijr: 9) perlu diikuti
dengan keaslian (otentisitas) dan kebenaran (validitas) hadits atau sunnah
selaku sumber penjelasnya. Watak ketergantungan agama Islam pada sumber naqli
(wahyu) mengharuskan adanya upaya sungguh-sungguh untuk mempertahankan dan
mempertanggungjawabkan otentisitas hadits (sunnah) secara ilmiah.
2.
Motivasi Kesejarahan
Keberadaan hadits (sunnah) sebagai khazanah amat berharga bagi
Islam dan umat pemeluknya merupakan sumber ajaran yang ketahanan berlakunya
hingga akhir kiamat. Kedudukan tersebut amat erat hubungannya dengan kerasulan
maupun nubuwwah Muhammad SAW yang menjadi pamungkas sejarah kerasulan
(QS. Al-Ahzab: 40).
Oleh karenanya perjalanan sejarah hadits (sunnah) harus terus
dibentengi dari kemungkinan pemalsuan dan penyimpangan. Fakta terjadinya pemalsuan
terhadap hadits pada masa lalu, harus memacu kepedulian umat Islam untuk
melakukan penyeleksian guna menyelamatkan khazanah hadits (sunnah) yang memang
benar adanya.
3.
Keterbatasan Hadits Mutawatir
Proses kejadian hadits yang ternisbahkan kepada Nabi SAW saja
menyita waktu hampir 23 tahun, berlangsung di lokasi yang berpindah-pindah dan
pihak yang bertindak sebagai saksi primer bisa terbatas. Sosialisasi hadits
menempuh media musyafahah (dari mulut ke mulut) ditekan pula oleh
kebijakan pengetatan riwayat di bawah kontrol pada Khulafa’ al-Rasyidin.
Oleh karenanya, tebaran hadits mutawatir sangat minim dan tercipta citra dzanni
pada bagian terbesar hadits karena sifat ahad-nya. Citra dzanni tersebut amat
berkepentingan pada usaha untuk mendongkrak kepercayaan orang agar tidak canggung
mengamalkan hadits ahad.
4.
Bias Penyaduran Ungkapan Hadits
Dispensasi yang dimaklumkan sejak masa Nabi SAW kepada para sahabat
untuk meriwayatkan kembali hadits, asal mempertahankan inti konsep (riwayah
bi al-ma’na) telah mengkondisikan keragaman teks matan hadits. Gejala
pemadatan ungkapan (ikhtishar), penambahan kata penjelas kalimat,
pemilihan kata yang sinonim, penempatan
kata pembanding akibat keraguan perawi, sampai pembuangan sabab al-wurud,
menjadi terbakukan dalam koleksi hadits yang kini diterbitkan.
Kondisi keragaman tak terelakkan karena proses pembukuan (tadwin)
muncul atas inisiatif perorangan dalam kurun waktu hampir 3 (tiga) abad, akses penyaduran ungkapan hadits tentu
harus diimbangi dengan penelitian teks guna memperoleh narasi verbal yang
terkecil data kelainanya.
5.
Teknik Pengeditan Hadits
Ulama kolektor hadits (muharrij) menempuh strategi yang
tidak sama saat membukukan hadits. Akibatnya ungkapan hadits nabawi berbaur
menyatu dengan fatwa sahabat atau tabi’in, seperti halnya informasi isra’iliyyat
mengambil bentuk tafsir naqli dan bersanad. Ulasan penjelas matan yang mewarnai
prosedur pengajaran hadits oleh perawi, sisipan penyimpulan makna hadits,
hingga penambahan yang perlu oleh perawi, dalam teknik pengeditan bisa terbawa
masuk dalam kerangka ungkapan matan hadits. Elemen non hadits tentntunya perlu
diwaspadai melaui penelitian, sebab bisa terjadi, pemrakarsa penyatuan elemen
non hadits itu datang dari orang yang tidak tsiqah.
6.
Kesahihan Sanad tidak Berkorelasi dengan
Keshahihan Matan
Hipotesa bahwa “keshahihan sanad belum tentu diikuti oleh
keshahihan matan. Fakta penelitian ulang terhadap hadits–hadits yang telah
terkorelasi dan masyarakat terlanjur menaruh percaya keshahihannya, terbukti di
kemudian hari banyak yang turun derajatnya menjadi dhaif bahkan sampai
maudlu’. Para perawi yang mendukung
rangkaian sanad___sahabat sekalipun atau para mukharrij___adalah
manusia yang melekat dengan kelemahan dan keterbatasan kemampuan, artinya bisa
salah dalam menilai sanad maupun matan hadits, sehingga langkah yang diperlukan
ialah uji kebenaran matan hadits sebagai postulat yang sangat signifikan.
7.
Sebaran Tema dan Perpaduan Konsep
Refrensi untuk mendukung sebuha tema keagamaan belum tentu memadai
bila hanya berasal dari hadits tunggal. Dengan media al-Qur’an pun perlu
bermodal banyak ayat yang membahas tema sama dengan pole metode maudhu’i
ditarik benang merah yang menghubungkan sub-sub tema. Kedudukan sunnah sebagai
sumber atau dalil perumus hukum syara’ harus mampu bersenyawa dengan dalail syara’ yang lain. Memperbandingkan
data keunggulan (tarjih) memakai kriteria tertentu. Langkah metodologis
itu perlu ditempuh karena sebuah tema bisa tersebar konsepnya pada banyak
hadits dan lazim diwarnai oleh gejala perbedaan.
8.
Upaya Penerapan Konsep Doktrinal
Hadits
Ungkapan matan hadits sejelas apapun masih menawarkan konsep yang
abstrak. Ikhtiar konkretisasinya sampai pada tataran yang operasional
praktis memerlukan tahapan pemahaman mulai dari: pemaknaan lughawi (leksikal), pemaknaan gramatikal yang lebih
memberi peran pada struktur kalimat matan hadits, makna sintaksis dan makna
kontekstual. Seperti konsep ajaran nikah mut’ah yang tercatat shahih. Bila
ingin diterapkan di Indonesia sangat membutuhkan kajian intensif. Sebab bisa saja
rumusan akhir dari konsep sejeumlah matan hadits di atas akan menuai reaksi
negatif, karena opini yag selama ini telah terbentuk di lingkungan umat Islam
di Indonesia telah tersekat paham mazhab yang berbeda-beda.
Demikian faktor yang mendorong pentingnya penelitian matan hadits,
dan masih terbuka peluang bagi faktor-faktor lain.
D.
Metode Kritik Matan Hadits
Metodologi kritik matan bersandar
pada kriteria hadits yang diterima (maqbul, yakni yang shahih dan
hasan), atau matan tidak janggal (syadz) dan tidak
memiliki cacat (illat). Untuk itu metodologi yang digunakan atau
dikembangkan untuk kritik matan adalah metode
perbandingan dengan menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut, terutama
perbandingannya, telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan
otentitas hadits, mereka melakukan studi perbandingan dengan al-Qur’an, sebagai
sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadits yang lain mahfuzh,
juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadits yang
bersangkutan dicoba untuk ditakwil atau ditakhsish, sesuai
sifat dan tingkat pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain.
Tetapi jika tetap tidak bisa, maka dilakukan tarjih dengan
mengamalkan yang lebih kuat.
Menurut
Shalahuddin Al-Adlabi sebagaimana dikutip M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq,
urgensi obyek studi kritik matan tampak dari beberapa segi, di
antaranya:
1.
Menghindari
sikap sembrono (tasahhul) dan berlebihan (tasyaddud) dalam
meriwayatkan suatu hadits karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi
kritik matan.
2.
Menghadapi
kemungkinan adanya kesalahan pada diri periwayat.
3.
Menghadapi
musuh-musuh Islam yang memalsukan hadits dengan
menggunakan sanad hadits yang shahih, tetapi matan-nya tidak
shahih.
4.
Menghadapi
kemungkinan terjadinya kontradiksi antara beberapa periwayat.
Selanjutnya,
masih menurutnya, ada beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian terhadap
obyek studi kritik matan, yaitu:
1.
Minimnya
pembicaraan mengenai kritik matan dan metodenya.
2.
Terpencar-pencarnya
pembahasan mengenai kritik matan.
3.
Kekhawatiran
terbuangnya sebuah hadits.
Jika menilik
kembali sosio-historis perkembangan hadits, maka akan ditemukan banyak problem
di seputarnya. Di antaranya, banyak upaya pemalsuan hadits dan sebagainya. Hal
ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah kesengajaan, baik itu
untuk menyerang dan menghancurkan Islam, maupun untuk pembelaan terhadap
kepentingan kelompok atau golongan, atau ketidak-sengajaan, seperti kekeliruan
pada diri periwayat, dan lain-lain.
Ulama
ahli hadits sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh
suatu matan hadits yang berkualitas shalih ada dua macam, yaitu
terhindar dari syuzuz (kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat).
Apabila mengacu pada pengertian hadits shahih yang dikemukakan oleh
ulama, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, maka dapat dinyatakan
bahwa kaidah mayor bagi kesahihan matan hadits adalah 1). terhindar
dari syuzuz dan 2). terhindar dari ‘illat. Syuzuz dan
‘illat selain terjadi pada sanad juga terjadi
pada matan hadits.
Dari
keberagaman tolok ukur yang ada, terdapat unsur-unsur yang oleh Syuhudi Ismail
merumuskan dan mengistilahkannya dengan kaidah minor bagi matan yang
terhindar dari syuzuz dan ‘illat.
Adapun
kaidah minor bagi matan yang terhindar dari syuzuz
adalah: Pertama, matan bersangkutan tidak menyendiri. Kedua,
matan hadits tidak bertentangan dengan hadits yang
lebih kuat. Ketiga, matan hadits itu tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an. Keempat, matan hadits itu tidak bertentangan dengan akal
sehat, indera dan sejarah.
Adapun
kaidah minor yang tidak mengandung ‘illat adalah: Pertama, matan hadits
tidak mengandung idraj (sisipan). Kedua, matan hadits
tidak mengandung ziyadah (tambahan). Ketiga, matan hadits
tidak mengandung maqlub (pergantian/terbalik lafaz atau
kalimat). Keempat, matan tidak terjadi idhthirab (pertentangan
yang tidak dapat dikompromikan). Kelima, tidak terjadi kerancuan lafadz
dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadits itu.
E.
Langkah-Langkah
dalam Melakukan Kritik Matan Hadits
1.
Naqd Sanad
sebagai langkah awal kritik matan
Apabila dilakukan studi banding dengan cara menukil (mengutip) teks
ayat al-Qur’an, sepanjang menyangkut data-data tawqifi, maka tidak
diperlukan dukungan sanad. Perlakuan itu terjadi berkat jaminan sifat
ke-mutawatir-an data yang melekat pada mushaf. Sementara ini komponen mushaf
yang diakui tawqifi meliputi: bentuk kosa kata (mufradat), komposisi
kalimat, tata letak ayat dalam surah masing-masing dan cara tulis huruf
hijaiyah al-Qur’an berpedoman pada style (gaya) rasam Usmani. Sekira orang
ingin mengoper hal-hal yang yang ijtihadi (istilahi), karena
bersifat terminologis, maka dibutuhkan dukungan sanad.
Adapun langkah prosedural penelitian hadits berlaku keharusan
mendahulukan kritik sanad, tradisi itu didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a.
Latar belakang sejarah periwayatan hadits sejak mula didominasi
oleh tradisi penuturan (syafahiyah) setidaknya hingga generasi tabi’in
dan amat sedikit data hadits yang tertulis. Tradisi riwayat semacam itu
memposisikan silsilah keguruan dalam proses pembelajaran menjadi penentu data
kesejarahan hadits, karena kecil kemungkinan menyandarkan kepercayaan pada
dokumentasi hadits.
b.
Upaya antisipasi terhadap gejala pemalsuan hadits ternyata efektif
bila ditempuh dengan mengidentfikasi kepribadian (biodata) orang-orang yang
secara berantai meriwayatkan hadits yang diduga palsu.
c.
Proses penghimpunan hadits secara formal memakan waktu yang lama
(sejak abad kedua hijriah hingga tiga abad kemudian) melibatkan banyak orang
dengan pola koleksi, cara seleksi dan sistematika yang beragam. Namun tanpa ada
kesepakatan sebelumnya, telah terjadi kekompakan di kalangan ulama kolektor hadits
dalam mempotensikan sanad sebagai mahkota bagi keberadaan matan, terbukti
hampir seluruh kitab koleksi hadits
menempatkan rangkaian sanad sebagai pengantar riwayat, minimal nama perawi
terutama pada pola penyajian hadits mu’allaq.
d.
Akibat pemanfaatan dispensasi penyaduran (riwayah bi al-ma’na)
yang tidak merata dan diketahui sebagian perawi lebih berdisiplin meriwayatkan
secara harfiah (riwayah bi al-lafzdi), maka uji kualitas komposisi teks
matan lebih ditentukan oleh tingkat
kredibilitas perawi dengan sifat kecenderungannya dalam meriwayatkan.
e.
Hasil uji hipotesisi tentang gejala syadz pada matan hadts
ternyata berbanding lurus dengan keberadaan rawi hadits (sanad) yang syadz.
Syu’bah bin al-Hajjaj, seperti dikutip pernyatannya leh Hasyim Abbas, menegaskan:
“Tidak datang padamu hadits (dengan kondisi matan) yang syadz, kecuali
riwayat hadits itu melalui orang yang syadz pula”.
Memang dalam
aplikasi kaidah untuk menduga gejala syadz pada matan hadits, harus
dilakukan uji ke-dhabitha-an (tsiqah) perawi yang merupakan bagian dari
kegiatan kritik sanad. Hasil temuan akan memunculkan status berbeda, bila
perawi yang kedapatan menyimpang dalam matan hadits itu sesama orang tsiqah,
maka hadits nya itu distatuskan syadz. Tetapi bila perawi tersebut
tidak tsiqah, maka hadits yang menyimpang itu dikategorikan mungkar.
Prosedur pendugaan gejala penyimpangan (kelainan) adalah dengan
memperbandingkan antar teks matan dari perawi yang berbeda. Bila jelas data
kelainan pada teks matan, peneliti tentunya mengupayakan i’tibar syahid
atau i’tibar muttaba’, manakala upaya i’tibar gagal, otomatis
tertutup sudah jalan bagi pencapaian tingkat validitas sanad dan matan hadits
dari gejala syadz.
2.
Asas Metodologi Kritik Matan
Memasuki langkah kegiatan penelitian terhadap matan hadits,
beberapa hal yang cukup fundamental penting dikemukakan, yaitu:
a.
Objek Forma Penelitian Matan
Aplikasi metodologis penelitian matan hadits bersandar pada
kriteria maqbul (diterima) atau mardud (ditolak) untuk
kepentingan melandasi pemikiran keagamaan (hujjah syar’iyah), bukan
bersandar pada kriteria benar atau salah menurut penilaian keilmuan
rasional/empiris. Adapun objek forma penelitian matan hadits mencakup:
1.
Uji ketetapan nisbah (asosiasi) ungkapan matan
2.
Uji validitas komposisi dan struktur bahasa pengantar matan atau
uji teks redaksi, serta
3.
Uji taraf koherensi konsep ajaran yang terkandung dalam formula
matan hadits.
b.
Potensi Bahasa Teks Matan
Asas metodologis dalam pengujian bahasa redaksi matan tekanannya pada mendeteksi rekayasa
kebahasaan yang merusak citra informasi hadits dan ancaman penyusutan atau
penyesatan inti pernyataan aslinya. Jadi tujuan kritik matan adalah memperoleh
data teks yang mempertahankan formula keshahihan makna dan keutuhan kehendak
dengan mengeleminir unsur sisipan, tambahan yang mengganggu, serta paling minim
kesalahan redaksinya.
Berbeda
dengan Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadits, mengemukakan lima langkah
yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadits
yaitu:
1) Menghimpun hadits-hadits
yang terjalin dalam tema yang sama
Yang
dimaksud dengan hadits yang terjalin dalam tema yang sama adalah: Pertama, hadits-hadits
yang mempunyai sumber sanad dan matan yang
sama, baik riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat
bi al-ma’na. Kedua, hadits-hadits mengandung makna yang
sama, baik sejalan maupun bertolak belakang, Ketiga, hadits-hadits
yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan lainnya. Hadits
yang pantas dibandingkan adalah hadits yang sederajat kualitas sanad dan matannya. Perbedaan
lafad pada matan hadits yang semakna ialah karena dalam
periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na). Menurut muhadditsin,
perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi
asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.
2)
Meneliti matan hadits
dengan pendekatan hadits
Sekiranya
kandungan suatu matan hadits bertentangan dengan matan hadits
lainnya, menurut Muhadditsin perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab,
Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
perkataan yang lain, demikian pula dengan al-Qur’an. Pada dasarnya,
kandungan matan hadits tidak ada yang bertentangan, baik
dengan hadits maupun dengan al-Qur’an.
Hadits
yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan ilmu mukhtalifu
al-hadits. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar: Pertama, mengandung
makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassal), kedua, mengandung
makna umum (am) dan lainnya khusus, ketiga, mengandung
makna penghapus (al-nasikh) dan lainnya dihapus (mansukh), keempat, kedua-duanya
mungkin dapat diamalkan.
Untuk
menyatukan suatu hadits yang bertentangan dengan hadits lainnya, diperlukan
pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadits yang bermakna universal dari
yang khusus, hadits yang naskh dari yang mansukh.
3) Meneliti matan hadits
dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan
ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an adalah
sebagai sumber pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai
ajaran, baik yang ushul maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi
sebagai penentu hadits yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadits yang
tidak sejalan dengan al-Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih.
Cara
yang ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadits yang
kelihatannya bertentangan dengan teks al-Qur’an adalah dengan menta’wil atau
menerapkan ilmu mukhtalif al-hadits. Oleh karena itu, kita akan
kesulitan menemukan hadits yang dipertentangkan dengan al-Qur’an dalam
buku-buku hadits atau hadits sahih dari segi sanad dan matannya dibatalkan
karena bertentangan dengan al-Qur’an.
4) Meneliti matan hadits
dengan pendekatan bahasa
Pendekatan
bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadits tertuju pada beberapa
obyek: Pertama, struktur bahasa, artinya apakah susunan kata
dalam matan hadits yang menjadi obyek penelitian sesuai dengan
kaedah bahasa Arab. Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan hadits,
apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada masa
Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan dipergunakan
dalam literatur Arab Modern?. Ketiga, matan hadits
tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna
kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, dan apakah makna
kata tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang
dipahami oleh pembaca atau peneliti.
5)
Meneliti matan hadits
dengan pendekatan sejarah
Salah
satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadits
adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadits (asbab
al-wurud haditsi). Langkah ini mempermudah memahami kandungan hadits. Fungsi asbab
al-wurud hadits ada tiga. Pertama, menjelaskan makna hadits. Kedua,
mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadits apakah sebagai
rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga,
mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadits itu disampaikan.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan
di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kritik matan hadits
adalah kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis dalam mengkaji dan
menelusuri kebenaran suatu hadits, sehingga ditemukan status hadits sahih dan
tidak sahih dari segi matannya, juga dimaksudkan sebagai pengecekan
kembali kebenaran sumber hadits yang disandarkan kepada Nabi atau tidak dan
kegiatan kritk matan memang sudah ada sejak zaman Nabi masih hidup.
2. Metodologi
kritik matan hadits (kaidah mayor dan kaidah minor) adalah:
a. Kaidah mayor bagi
kesahihan matan hadits adalah 1). Terhindar dari syuzuz dan
2). Terhindar dari ‘illat. Syuzuz dan ‘illat selain
terjadi pada sanad juga terjadi pada matan hadits.
b. Kaidah minor
bagi matan yang terhindar dari syuzuz adalah: Matan hadits
bersangkutan tidak menyendiri, matan hadits itu tidak bertentangan dengan hadits
yang lebih kuat, matan hadits itu tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an, dan matan hadits itu tidak bertentangan dengan akal sehat, indera
dan sejarah.
c. Kaedah minor yang
tidak mengandung ‘illat adalah: Matan hadits tidak
mengandung idraj (sisipan), matan hadits tidak
mengandung ziyadah (tambahan), matan hadits tidak
mengandung maqlub (pergantian lafaz atau kalimat), tidak
terjadi idhthirab (pertentangan yang tidak dapat
dikompromikan), serta tidak terjadi kerancuan lafaz dan penyimpangan makna yang
jauh dari matan hadits itu.
3. Langkah-langkah dalam
melakukan kritik matan hadits adalah:
a. Menghimpun hadits-hadits
yang terjalin dalam tema yang sama.
b. Penelitian matan hadits
dengan pendekatan hadits sahih.
c. Penelitian matan hadits
dengan pendekatan al-Qur’an.
d. Penelitian matan hadits
dengan pendekatan bahasa.
e. Penelitian matan dengan
pendekatan sejarah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail, M.
Syuhudi. 1995. Hadits Nabi Menurut Pembela, Penginkar dan Pemalsunya, Cet.I.
Jakarta: Gema Insani Press.
Nur, M.
Qodirun dan Ahmad Musyafiq. 2004. Metodologi Kritik Matan Hadits. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Soetari, Endang. 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti
Press.
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu
Hadits. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi
Kritik Matan Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004).
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela,
Penginkar dan Pemalsunya, Cet.I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Bustamin, A.Salam Metodologi Kritik
Matan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004).