mari belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, filsafat, teori-teori belajar dan lain sebagainya

Sunday, June 4, 2017

Pengertian dan Kaedah-Kaedah Asbabun-nuzul

Pengertian dan Kaedah-Kaedah Asbabun-nuzul    

    PENDAHULUAN
Al-Qur’an Al-Karim merupakan kitab pamungkas, diturunkan kepada Nabi terakhir dengan membawa agama yang bersifat umum dan berlaku abadi sebagai penutup seluruh agama yang ada. Kitab suci juga menjadi undang-undang dari sang pencipta untuk memperbaiki makhluk, aturan-aturan samawi sebagai hidayah bagi bumi ini, yang penurunnya melettakan semua syari’at, menitipkan setiap gerakan dan menggantungkan segala jenis kebahagiaan.
Al-Qur’an merupakan kitab sumber agama tertinggi yaitu Islam, di mana di dalamnya terkandung akidah, ibadah, hikmah, hukum, etika, akhlak, kisah, nasehat, ilmu dan pengetahuan.
Al-qur’an juga merupakan pilar bahasa tertinggi yaitu Bahasa Arab sebagai gantungan kenabian dan elestariannya, juga sandaran ilmu-ilmu dengan sekian sekian ragam jumlahnya sehingga mampu mengungguli semua bahasa di dunia, baik dalam pola maupun materinya.
Alqur’an dari awal sampai akhir merupakan kekuatan yang mampu mengubah wajah dunia, Menggeser batas-batas wilayah kehambaan, mengubah laju sejarah dan menyelamatkan humanitas yang sedang terpeleset, sehingga membuat format makhluk baru.[1]
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabab dan menurut suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula penerapannya dalam kehidupan. Dan kita tidak akan mengetahui fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-musabab yang mendorong terjadinya peristiwa.[2] Namun Al-Qur’an sendiri jauh lebih tinggi daripada sejarah. Kalau kita berhenti pada faktor sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, kita tidak akan dapat menyelami segala yang ada di dalamnya. Akhirnya kita akan mnyadari betapa bohong sejarah dan para ahli sejarah dalam pembicaraannya mengenai sejarah! Bagaimanapun juga, di dalam sejarah pasti terdapat kekosongan yang harus diisi dan terdapat celah-celah yang harus ditutup! Adalah berbeda dengan asbabun-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an).[3] Jadi apakah aneh kalau para ulama yang benar-benar menguasai isi dan makna al-Qur’an lalu mengharamkan orang yang tidak mengetahui ababun-nuzul tapi berani menafsirkan Kitabullah? Apakah al-Wahidi berlebihan jika ia mengatakan: “Tidak mungkin orang mengetahui tafsir ayat al-Qur’an tanpa memahami kisahnya dan eterangan mengenai turunnya.[4]
Menurut logika yang sehat, seorang hanya berbicara tentang pengetahuannya yang cermat mengenai ayat-ayat yang didengarnya sendiri. Tapi juga tidak mustahil jika ia sendiri tidak mengetahui beberapa sebab turunnya ayat-ayat itu. Sama halnya dengan para ulama qira’at (Al-Qur’an) yang juga tidak banyak mengetahui sebab-sebab turunya ayat-ayat al-Qur’an. Zaman terus bergerak dan mungkin banyak sebab-sebab turunya ayat-ayat al-Qur’an yang tidak mereka ketahui. Itu disebbkan karena semakin jauhnya mereka dari sumber yang palig jernih. Karena itulah para ulama salaf (generasi sahabat Nabi) sangat keras dan ketat menghadapi berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbabun-nuzul. Keketatan mereka itu dititik beratkan pada seleksi pribadi sipembawa berita (para rawi), sumber-sumber riwayat (isnad) dan rumus kalimatnya (materi). Mengenai pribadi para rawi, hanya orang yang paling tinggi tingkat kesalehan dan kezuhudannya yang dimintai fatwanya tentang asbabun nuzul.
Begitupun dengan kitab-kitab tentang asbabun-nuzul yang ditulis orang zaman dahulu, tidak luput dari kritik-kritik yang keras, kendati para penulisnya menyandang predikat sebagai orang-orang yang shaleh, berilmu dan jujur.[5]

1.      Pengertian dan Kaidah-Kaidah Asbabun-Nuzul
A.    Pengertian Asbabun Nuzul
Kata Asbabun-Nuzul terdiri atas kata asbab dan an-nuzul. Asbab adalah kata jamak (plural) dari kata mufrad (tunggal), sabab yang secara etimologis berarti sebab, alasan, illat (dasar logis), perantaraan, wasilah, pendorong, tali kehidupan, persahabatan, hubungan kekeluargaan, kerabat, asal, sumber, dan jalan.
Yang dimaksud Nuzul di sini ialah penurunan AL-Qur’an dari Allah Swt. Kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantaraan malaikat jibril. Karena itu, istilah lengkap asalnya ialah Asbabu Nuzulil-Qur’an yang berarti sebab-sebab turunnya Al-Qur’an.[1] Turunnya Al-Qur’an terbagi atas dua macam, yaitu:[2]
1). Bagian pertama turun sebagai pendahuluan.
2). Bagian Kedua turun mengiringi suatu peristiwa atau pertanyaan.
     Para ulama telah menyusun bagian kedua, mereka menghimpun dalam hal bagian kedua ini beberapa buku tertentu. Mereka menjelaskan ayat-ayat yang turun dengan sabab, dan mereka menerangkan alasan ayat turun, dan berijtihad dalam hal ini dengan bersemangat sekali.
     Jadi Sabab Nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan satu atau beberapa ayat Al-Qur’an diturunkan (dalam rangka) mencover, menjawab atau menjelaskan hukumnya di saat sesuatu itu terjadi.
Dari pengertian sabab nuzul di atas, disamping memperhatiakn pengertian harfiah dari kata-kata sabab nuzul itu sendiri, dapat diformulasikan bahwa sabab nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat Al-Qur’an diturunkan. Yang dimaksud dengan sesuatu itu sendiri adakalanya berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang relevan serta mendorong turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an.
Atas dasar ini, maka tida selamanya sabab nuzul harus diartikan dengan segala sesuatu yang terjadi lebih dahulu dan baru kemudian turun ayat Al-Qur’an. Sebab, bisa saja peristiwanya itu sendiri masih jauh akan terjadi, tetapi ayat Al-Qur’annya telah diturunkan lebih dahulu.[3]

B.     Kaidah-Kaidah Asbabun-Nuzul.
Dalam memahami kaidah disini dibagi menjadi dua yaitu :
1.    Kaidah اْلعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Yang berarti : “ungkapan itu didasarkan pada keumuman teksnya, bukan didasarkan atas kekhususan penyebabnya”.
Pengertiannya adalah jawaban lebih umum dari pertanyaan atau sebab –nya. Dan sebab lebih khusus dari pada lafadz jawabnya. Ini secara lgis mungkin terjadi, dan kenyataannya juga benar-benar terjadi. Karena bentuk seperti ini tidak mengandung kekurangan, justru keumuman lafadz dengan kekhususan sebabnya akan menyampaikan kepada tujuan secara lebih sempurna dan efektif.
Hanya saja, ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah yang dianggap keumuman lafadznya atau kekhususan sebabnya? Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya mencakup semua unsur dari lafadz tersebut, baik unsur-unsur sebab maupun unsur-unsur selain sebab. Sebagai contoh, peristiwa tuduhan zina oleh Hilal ibn Umayyah kepada istrinya, yang berkenaan dengan peristiwa itu, turun firman Allah SWT :
Penetapan makna suatu ayat didasarkan pada bentuk hukumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang khusus).
Contoh kaidah pertama : Firman Allah, Surat An-Nur ayat 6:
Dan orang-yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. [Q.S. An-Nur: 6].          

Hadis yang lain lagi diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari sahl bin Sa’d, ia berkata: Uwaimir bin Nash datang kepada ‘Ashim bin ‘Uddai, lalu berkata, Tanyakan kepada Rasulullah SAW. Bila seorang mendapatkan isterinya bermesraan dengan lelaki lain, maka dibunuh saja atau bagaimana?”. Setelah ‘Ashim bertanya kepada Rasulullah SAW., lalu bilang kepada Uwaimir, “Demi Allah, aku telah datang dan bertanya kepada Rasulullah dan beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Al-Qur’an telah diturunkan kepadamu dan temanmu’, lalu beliau membaca ayat (yang artinya): “Orang-orang yang menuduh isterinya dengan berzinah, tapi mereka tidak mempunyai saksi-saksi kecuali dirinya sendiri...” ( QS. An-Nur: 6)
Maka cara untuk menyatukan dua riwayat tersebut dapat kita kemukakan bahwa riwayat yang awal menyangkut orang yang dituju langsung oleh turunnya ayat (Hilal), yang kebetulan bersamaan dengan datangnya Uwaimir, maka kemudian ayat turun pada keduannya. Ini sesuai dengan kata Ibnu Hajar: “Tidak mengapa ada banyak sebab”.
2.    Kaidah kedua menyatakan sebaliknya :اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُ اللَّفْظِ
(yang menjadi patokan adalah sebab khusus, bukan keumuman lafal).[4]
Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT berdasarkan sebab khusus yang harus dipahami sesuai dengan lafal keumuman ayat tersebut atau hanya terbatas pada sebab khusus yang melatar belakangi turunnya ayat itu. Dalam masalah tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan mufasir dan ahli ushul fiqh, kaidah yang dipakai adalah kaidah pertama, yaitu memahami ayat sesuai dengan keumuman lafalnya, bukan karena sebab khususnya.
     Sebagian kecil mufasir dan ahli ushul fiqh, khususnya mufasir kontemporer, berpendapat bahwa ayat itu semestinya dipahami sesuai dengan sebab khususnya, bukan berdasarkan lafalnya yang umum. Dalam kaitan dengan ini Ridwan as-Sayyid, tokoh pembaru dari Mesir menjelaskan bahwa dalam suatu peristiwa terdapat unsur-unsur.

     Contoh penerapan kaidah kedua: Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115:

 Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situ-lah wajah  Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115).

                 Jika dalam memahami ayat 115 ini kita tetapkan kaidah pertama, maka dapat disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap kearah mana saja, tanpa dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana kita shalat.
Kesimpulan demikian ini bertentangan dengan dalil lain(ayat) yang menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus menghadap ke arah Masjidil-Haram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 149)”
Akan tetapi, jika dalam memahami Surat Al-Baqarah ayat 115 diatas dikaitkan dengan Asbabun nuzulnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap ke arah mana saja dalam shalat adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas kendaraan yang sedang berjalan, atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil Haram). Dalam kasus ayat yang demikian ini pemahamannya harus didasarkan pada sebab turunnya ayat yang bersifat khusus dan tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh yang bersifat umum.[5]

C.     Urgensi Asbabul-Nuzul
Mengetahui “asbabun nuzul” sangat besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat yang mulia. Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-hati dlaam memahami “asbabun nuzul” sehingga banyak di antara mereka yang menulis tentang itu. Di antara, yang terdahulu ialah Ali Al-Madaniyyi (guru Imam Bukhori r.a.).
Di antara kitab termasyhur yang membahas dalam bidang ini adalah kitab Asbabun Nuzul karya Imam Al-Wahidi. Syaikhul Islam Ibnu Hajar pun juga mengarangnya. Bahkan ada pula kitab yang besar dan lengkap, Lubabun Nuqul fii Asbabin Nuzul karya Imam Suyuthi.
      Mengingat berapa pentingnya “asbabun nuzul”, maka bisa kita katakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa diketahui makna-makna atau diambil hukum darinya sebelum mengetahui secara pasti tentang “asbabun nuzul”nya. Contoh ayat:

Artinya: “kepunyaan Allah timur dan barat, ke mana kamu menghadapkan muka, di sana kiblat (yang disukai) Allah. Sesungguhnya Allah luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah:115)

Kadang terjadi pemahaman seolah0lah ayat itu memperbolehkan salat menghadap kepada selain kiblat (Ka’bah), padahal pemahaman seperti itu salah. Karena menghadap kiblat itu termasuk syarat sahnya salat. Namun dengan mengetahui “sebab turunnya ayat”, maka pemahaman menjadi jelas. Sesungguhnya ayat itu turun dalam kaitannya dengan orang yang dalam bepergian. Di mana ia kehilangan kiblat, tidak tahu arahnya. Lalu setelah berijtihad, ia menjalankan shalat. Maka kemanapun ia menghadap, ketika itu, salatnya tetap sah. Ia tidak wajib mengulangi salatnya lagi, manakala telah menemukan kiblat meskipun dalam shalatnya tadi ia menghadap kearah bukan kiblat. Maka jelas bahwa ayat tersebut bukan umum , melainkan untuk orang yang tidak mengetahui arah kiblat.
Contoh lain, betapa pentingnya mengetahui “asbabun nuzul”, untuk memahami suatu ayat, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla:
ليس على الذين امنوا وعملوا الصا لحات جناح فيما طعموا اذا ما اتقوا وامنوا وعملواالصالحات ثم اتقواوامنواثم اتقواواحسنواوالله يحب المحسنين
Artinya: “tiada berdosa orang-orang yang beriman dan mengerjakan yang baik-baik, karena mereka telah meminum arak (dahulunya), jika mereka telah bertakwa dan beriman serta mengerjakan yang baik-baik, kemudian mereka bertakwa dan beriman, kemudian bertakwa dan berbuat kebajikan. Allah mengasihi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Al-Maidah:93)[6]

  Kesimpulan
    Asbabun Nuzul merupakan sarana yang sangat penting bagi mufassir untuk mengkaji Al-Qur’an, bahkan sebuah keharusan bagi mufassir untuk menguasai cabang ilmu tersebut. Asbabun nuzul itu merupakan sebab-sebab beberapa ayat Qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan serta memiliki faedah didalamnya. Asbabun Nuzul tidak hanya menerangkan ayat yang memiliki kejadian pada saat itu, namun terkadang merupakan cerita kejadian dimasa mendatang, karena semua itu erupakan rahasia Allah Swt.


[1] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, h. 204.
[2] Al Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliky Al-Hasany, Kaidah-kaidah Ulumul Qur’an, Pekalongan: Al-Asri, 2008, h. 10.
[3] Muhammad Amin Suma, Ibid., h. 205.
[4] Muhammad Amin Suma, Op.cit., h. 215
[5] Muhammad Amin Suma, Op.cit., h. 111-113.
[6] Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ihtisar Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 2001, h. 21-23.



[1] Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hal. 1.
[2] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta; Pusataka Firdaus, 2011, H. 165
[3] Ibid., H. 169
[4] Ibid., H. 169
[5] Ibid., H. 175-176
Share:

2 comments:

Powered by Blogger.

About us