Pengertian dan Kaedah-Kaedah Asbabun-nuzul
PENDAHULUAN
Al-Qur’an Al-Karim merupakan kitab pamungkas, diturunkan kepada
Nabi terakhir dengan membawa agama yang bersifat umum dan berlaku abadi sebagai
penutup seluruh agama yang ada. Kitab suci juga menjadi undang-undang dari sang
pencipta untuk memperbaiki makhluk, aturan-aturan samawi sebagai hidayah bagi
bumi ini, yang penurunnya melettakan semua syari’at, menitipkan setiap gerakan
dan menggantungkan segala jenis kebahagiaan.
Al-Qur’an merupakan kitab sumber agama tertinggi yaitu Islam, di
mana di dalamnya terkandung akidah, ibadah, hikmah, hukum, etika, akhlak,
kisah, nasehat, ilmu dan pengetahuan.
Al-qur’an juga merupakan pilar bahasa tertinggi yaitu Bahasa Arab
sebagai gantungan kenabian dan elestariannya, juga sandaran ilmu-ilmu dengan
sekian sekian ragam jumlahnya sehingga mampu mengungguli semua bahasa di dunia,
baik dalam pola maupun materinya.
Alqur’an dari awal sampai akhir merupakan kekuatan yang mampu
mengubah wajah dunia, Menggeser batas-batas wilayah kehambaan, mengubah laju
sejarah dan menyelamatkan humanitas yang sedang terpeleset, sehingga membuat
format makhluk baru.[1]
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabab dan menurut
suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan
tanpa melalui sebab-musabab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak ada bukti
yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula
penerapannya dalam kehidupan. Dan kita tidak akan mengetahui fakta sejarah jika
tidak mengetahui sebab-musabab yang mendorong terjadinya peristiwa.[2]
Namun Al-Qur’an sendiri jauh lebih tinggi daripada sejarah. Kalau kita berhenti
pada faktor sejarah turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, kita tidak akan dapat
menyelami segala yang ada di dalamnya. Akhirnya kita akan mnyadari betapa
bohong sejarah dan para ahli sejarah dalam pembicaraannya mengenai sejarah!
Bagaimanapun juga, di dalam sejarah pasti terdapat kekosongan yang harus diisi
dan terdapat celah-celah yang harus ditutup! Adalah berbeda dengan asbabun-nuzul
(sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an).[3]
Jadi apakah aneh kalau para ulama yang benar-benar menguasai isi dan makna
al-Qur’an lalu mengharamkan orang yang tidak mengetahui ababun-nuzul tapi
berani menafsirkan Kitabullah? Apakah al-Wahidi berlebihan jika ia mengatakan:
“Tidak mungkin orang mengetahui tafsir ayat al-Qur’an tanpa memahami kisahnya dan
eterangan mengenai turunnya.[4]
Menurut logika yang sehat, seorang hanya berbicara tentang
pengetahuannya yang cermat mengenai ayat-ayat yang didengarnya sendiri. Tapi
juga tidak mustahil jika ia sendiri tidak mengetahui beberapa sebab turunnya
ayat-ayat itu. Sama halnya dengan para ulama qira’at (Al-Qur’an) yang juga
tidak banyak mengetahui sebab-sebab turunya ayat-ayat al-Qur’an. Zaman terus
bergerak dan mungkin banyak sebab-sebab turunya ayat-ayat al-Qur’an yang tidak
mereka ketahui. Itu disebbkan karena semakin jauhnya mereka dari sumber yang
palig jernih. Karena itulah para ulama salaf (generasi sahabat Nabi)
sangat keras dan ketat menghadapi berbagai riwayat yang berkaitan dengan asbabun-nuzul.
Keketatan mereka itu dititik beratkan pada seleksi pribadi sipembawa berita
(para rawi), sumber-sumber riwayat (isnad) dan rumus kalimatnya (materi).
Mengenai pribadi para rawi, hanya orang yang paling tinggi tingkat
kesalehan dan kezuhudannya yang dimintai fatwanya tentang asbabun nuzul.
Begitupun dengan kitab-kitab tentang asbabun-nuzul yang ditulis
orang zaman dahulu, tidak luput dari kritik-kritik yang keras, kendati para
penulisnya menyandang predikat sebagai orang-orang yang shaleh, berilmu dan
jujur.[5]
A.
Pengertian Asbabun Nuzul
Kata Asbabun-Nuzul terdiri atas kata asbab dan an-nuzul.
Asbab adalah kata jamak (plural) dari kata mufrad (tunggal), sabab yang
secara etimologis berarti sebab, alasan, illat (dasar logis), perantaraan,
wasilah, pendorong, tali kehidupan, persahabatan, hubungan kekeluargaan,
kerabat, asal, sumber, dan jalan.
Yang dimaksud Nuzul di sini ialah penurunan AL-Qur’an dari Allah
Swt. Kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantaraan malaikat jibril. Karena itu,
istilah lengkap asalnya ialah Asbabu Nuzulil-Qur’an yang berarti sebab-sebab
turunnya Al-Qur’an.[1]
Turunnya Al-Qur’an terbagi atas dua macam, yaitu:[2]
1). Bagian pertama turun sebagai pendahuluan.
2). Bagian Kedua turun mengiringi suatu peristiwa atau pertanyaan.
Para ulama telah menyusun
bagian kedua, mereka menghimpun dalam hal bagian kedua ini beberapa buku
tertentu. Mereka menjelaskan ayat-ayat yang turun dengan sabab, dan mereka
menerangkan alasan ayat turun, dan berijtihad dalam hal ini dengan bersemangat
sekali.
Jadi Sabab Nuzul
ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan satu atau beberapa ayat
Al-Qur’an diturunkan (dalam rangka) mencover, menjawab atau menjelaskan
hukumnya di saat sesuatu itu terjadi.
Dari pengertian
sabab nuzul di atas, disamping memperhatiakn pengertian harfiah dari
kata-kata sabab nuzul itu sendiri, dapat diformulasikan bahwa sabab nuzul ialah
sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat
Al-Qur’an diturunkan. Yang dimaksud dengan sesuatu itu sendiri adakalanya
berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga berwujud alasan logis
(illat) dan hal-hal lain yang relevan serta mendorong turunnya satu atau
beberapa ayat Al-Qur’an.
Atas dasar ini,
maka tida selamanya sabab nuzul harus diartikan dengan segala sesuatu yang
terjadi lebih dahulu dan baru kemudian turun ayat Al-Qur’an. Sebab, bisa saja
peristiwanya itu sendiri masih jauh akan terjadi, tetapi ayat Al-Qur’annya
telah diturunkan lebih dahulu.[3]
B.
Kaidah-Kaidah Asbabun-Nuzul.
Dalam memahami kaidah disini dibagi
menjadi dua yaitu :
1. Kaidah
اْلعِبْرَةُ
بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Yang berarti : “ungkapan itu
didasarkan pada keumuman teksnya, bukan didasarkan atas kekhususan
penyebabnya”.
Pengertiannya adalah jawaban lebih
umum dari pertanyaan atau sebab –nya. Dan sebab lebih khusus dari pada lafadz
jawabnya. Ini secara lgis mungkin terjadi, dan kenyataannya juga benar-benar
terjadi. Karena bentuk seperti ini tidak mengandung kekurangan, justru keumuman
lafadz dengan kekhususan sebabnya akan menyampaikan kepada tujuan secara lebih
sempurna dan efektif.
Hanya saja, ulama berbeda pendapat
tentang hukumnya, apakah yang dianggap keumuman lafadznya atau kekhususan
sebabnya? Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya mencakup semua unsur dari
lafadz tersebut, baik unsur-unsur sebab maupun unsur-unsur selain sebab.
Sebagai contoh, peristiwa tuduhan zina oleh Hilal ibn Umayyah kepada istrinya,
yang berkenaan dengan peristiwa itu, turun firman Allah SWT :
Penetapan makna suatu ayat
didasarkan pada bentuk hukumnya lafazh (bunyi lafazh), bukan sebabnya yang
khusus).
Contoh
kaidah pertama : Firman Allah, Surat An-Nur ayat 6:
Dan orang-yang menuduh isterinya
(berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. [Q.S.
An-Nur: 6].
Hadis
yang lain lagi diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari sahl bin Sa’d,
ia berkata: Uwaimir bin Nash datang kepada ‘Ashim bin ‘Uddai, lalu berkata,
Tanyakan kepada Rasulullah SAW. Bila seorang mendapatkan isterinya bermesraan
dengan lelaki lain, maka dibunuh saja atau bagaimana?”. Setelah ‘Ashim bertanya
kepada Rasulullah SAW., lalu bilang kepada Uwaimir, “Demi Allah, aku telah
datang dan bertanya kepada Rasulullah dan beliau menjawab, ‘Sesungguhnya
Al-Qur’an telah diturunkan kepadamu dan temanmu’, lalu beliau membaca ayat
(yang artinya): “Orang-orang yang menuduh isterinya dengan berzinah, tapi
mereka tidak mempunyai saksi-saksi kecuali dirinya sendiri...” ( QS.
An-Nur: 6)
Maka cara untuk menyatukan dua
riwayat tersebut dapat kita kemukakan bahwa riwayat yang awal menyangkut orang
yang dituju langsung oleh turunnya ayat (Hilal), yang kebetulan bersamaan
dengan datangnya Uwaimir, maka kemudian ayat turun pada keduannya. Ini sesuai
dengan kata Ibnu Hajar: “Tidak mengapa ada banyak sebab”.
2. Kaidah
kedua menyatakan sebaliknya :اْلعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا
بِعُ اللَّفْظِ
(yang
menjadi patokan adalah sebab khusus, bukan keumuman lafal).[4]
Kaidah
ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang diturunkan Allah SWT
berdasarkan sebab khusus yang harus dipahami sesuai dengan lafal keumuman ayat
tersebut atau hanya terbatas pada sebab khusus yang melatar belakangi turunnya
ayat itu. Dalam masalah tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan
mufasir dan ahli ushul fiqh, kaidah yang dipakai adalah kaidah pertama,
yaitu memahami ayat sesuai dengan keumuman lafalnya, bukan karena sebab
khususnya.
Sebagian
kecil mufasir dan ahli ushul fiqh, khususnya mufasir kontemporer,
berpendapat bahwa ayat itu semestinya dipahami sesuai dengan sebab khususnya,
bukan berdasarkan lafalnya yang umum. Dalam kaitan dengan ini Ridwan as-Sayyid,
tokoh pembaru dari Mesir menjelaskan bahwa dalam suatu peristiwa terdapat
unsur-unsur.
Contoh penerapan kaidah kedua:
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 115:
Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat,
maka ke mana pun kamu menghadap di situ-lah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
Rahmat-Nya, lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 115).
Jika
dalam memahami ayat 115 ini kita tetapkan kaidah pertama, maka dapat
disimpulkan, bahwa shalat dapat dilakukan dengan menghadap kearah mana saja,
tanpa dibatasi oleh situasi dan kondisi di mana dan dalam keadaan bagaimana
kita shalat.
Kesimpulan demikian ini bertentangan
dengan dalil lain(ayat) yang menyatakan, bahwa dalam melaksanakan shalat harus
menghadap ke arah Masjidil-Haram. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah: “Dan
dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu.
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah:
149)”
Akan tetapi, jika dalam memahami Surat
Al-Baqarah ayat 115 diatas dikaitkan dengan Asbabun nuzulnya, maka kesimpulan
yang dapat diambil adalah, bahwa menghadap ke arah mana saja dalam shalat
adalah sah jika shalatnya dilakukan di atas kendaraan yang sedang berjalan,
atau dalam kondisi tidak mengetahui arah kiblat (Masjidil Haram). Dalam
kasus ayat yang demikian ini pemahamannya harus didasarkan pada sebab turunnya
ayat yang bersifat khusus dan tidak boleh berpatokan pada bunyi lafazh yang
bersifat umum.[5]
C.
Urgensi Asbabul-Nuzul
Mengetahui
“asbabun nuzul” sangat besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat yang mulia.
Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-hati dlaam memahami “asbabun nuzul”
sehingga banyak di antara mereka yang menulis tentang itu. Di antara, yang
terdahulu ialah Ali Al-Madaniyyi (guru Imam Bukhori r.a.).
Di
antara kitab termasyhur yang membahas dalam bidang ini adalah kitab Asbabun
Nuzul karya Imam Al-Wahidi. Syaikhul Islam Ibnu Hajar pun juga
mengarangnya. Bahkan ada pula kitab yang besar dan lengkap, Lubabun Nuqul
fii Asbabin Nuzul karya Imam Suyuthi.
Mengingat berapa pentingnya “asbabun nuzul”, maka bisa kita
katakan bahwa sebagian ayat tidak mungkin bisa diketahui makna-makna atau
diambil hukum darinya sebelum mengetahui secara pasti tentang “asbabun
nuzul”nya. Contoh ayat:
Artinya: “kepunyaan
Allah timur dan barat, ke mana kamu menghadapkan muka, di sana kiblat (yang
disukai) Allah. Sesungguhnya Allah luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS.
Al-Baqarah:115)
Kadang
terjadi pemahaman seolah0lah ayat itu memperbolehkan salat menghadap kepada
selain kiblat (Ka’bah), padahal pemahaman seperti itu salah. Karena menghadap
kiblat itu termasuk syarat sahnya salat. Namun dengan mengetahui “sebab
turunnya ayat”, maka pemahaman menjadi jelas. Sesungguhnya ayat itu turun dalam
kaitannya dengan orang yang dalam bepergian. Di mana ia kehilangan kiblat,
tidak tahu arahnya. Lalu setelah berijtihad, ia menjalankan shalat. Maka
kemanapun ia menghadap, ketika itu, salatnya tetap sah. Ia tidak wajib
mengulangi salatnya lagi, manakala telah menemukan kiblat meskipun dalam
shalatnya tadi ia menghadap kearah bukan kiblat. Maka jelas bahwa ayat tersebut
bukan umum , melainkan untuk orang yang tidak mengetahui arah kiblat.
Contoh
lain, betapa pentingnya mengetahui “asbabun nuzul”, untuk memahami suatu ayat,
yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla:
ليس
على الذين امنوا وعملوا الصا لحات جناح فيما طعموا اذا ما اتقوا وامنوا
وعملواالصالحات ثم اتقواوامنواثم اتقواواحسنواوالله يحب المحسنين
Artinya: “tiada
berdosa orang-orang yang beriman dan mengerjakan yang baik-baik, karena mereka
telah meminum arak (dahulunya), jika mereka telah bertakwa dan beriman serta
mengerjakan yang baik-baik, kemudian mereka bertakwa dan beriman, kemudian
bertakwa dan berbuat kebajikan. Allah mengasihi orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS.
Al-Maidah:93)[6]
Kesimpulan
Asbabun
Nuzul merupakan sarana yang sangat penting bagi mufassir untuk mengkaji Al-Qur’an,
bahkan sebuah keharusan bagi mufassir untuk menguasai cabang ilmu tersebut.
Asbabun nuzul itu merupakan sebab-sebab beberapa ayat Qur’an diturunkan untuk
menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa
maupun pertanyaan serta memiliki faedah didalamnya. Asbabun Nuzul tidak hanya
menerangkan ayat yang memiliki kejadian pada saat itu, namun terkadang
merupakan cerita kejadian dimasa mendatang, karena semua itu erupakan rahasia
Allah Swt.
[1] Muhammad Amin
Suma, Ulumul Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, h. 204.
[2] Al Sayyid
Muhammad bin Alawi Al-Maliky Al-Hasany, Kaidah-kaidah Ulumul Qur’an,
Pekalongan: Al-Asri, 2008, h. 10.
[3] Muhammad Amin
Suma, Ibid., h. 205.
[4] Muhammad Amin
Suma, Op.cit., h. 215
[5] Muhammad Amin
Suma, Op.cit., h. 111-113.
[6] Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ihtisar Ulumul Qur’an Praktis,
Jakarta: Pustaka Amani, 2001, h. 21-23.
ini sangat membantu, thanks.
ReplyDeleteTerimakasih, semoga barokah selalu ilmunya🙏🏻
ReplyDelete