Biografi dan Pemikiran Muhammad Arkoun
Latar Belakang Masalah
Pada saat ini,
sebagian besar pemikiran Islam internasional yang masuk ke Indonesia di
kembangkan oleh Mohammed Arkoun. Dia termasuk sekelompok pemikir Islam
kontemporer yang pemikirannya masuk pada diskusi pemikiran Islam di Indonesia.
Arkoun mempunyai perhatian yang serius terhadap perkembangan pemikiran Islam
yang menurutnya pada saat ini beku, tertutup dan menjadi dogmatis dan menjadi
mudah untuk menjadi Islam fundamental.
Menurut Arkoun
semua problematika umat Islam ini di sebabkan oleh matinya tradisi filsafat
yang menyebabkan penerapan tradisi Islam berjalan tanpa adanya investigasi yang
kritis. Dia melihat satu kebutuhan yang mendesak atas metode kritik untuk
membaca pemikiran Arab atau Muslim. Arkoun mencoba mengkaji
permasalahan-permasalahan tersebut secara konstektual sesuai dengan situasi
kontemporer saat ini. Arkoun mengacu pada ilmu-ilmu sosial, bahasa, dan
filsafat yang berkembang saat ini, khususnya di Barat (Perancis). Sebagai
contoh dia menggunakan metode histori
karena menurutnya metode ini sangat cocok jika digunakan untuk membedah
pemikiran Islam.[1]
Secara historis
sendiri tak dapat dipungkiri, bahwa Islam merupakan agama besar yang mempunyai
tradisi pemikiran yang besar pula, baik dalam bidang teologi, filsafat, fiqh,
tasawuf maupun lainnya. Salah satu pemikir Islam yang mempunyai concern
terhadap pemikiran Islam yaitu Muhammad Arkoun, seorang pemikir Islam
kontemporer. Muhammad Arkoun menempati posisi khusus dari sederet pemikir Islam
kontemporer. Dengan latar belakang akademik perancis, Arkoun memiliki
kecenderungan berfikir yang terbilang rumit. Pemikiran-pemikiran Arkoun
memiliki perpaduan seprti Dekontruksi-gramatologi dari Derrida, Psikologi dari
Lacan, Semiologi dari Roland Barthes, Epistemologi dari Foucault, Pos Struktualisme
ala Fernand d Sausure, Antropologi Levi Strauss, politik
Volaire,Existensialisme dari Nietzhe dan Sartre, Rasionalisme Descartes dan
tentu ilmu-ilmu Arkeologi social sejarah Mahdzab Annale.
Membangun spirit
masyarakat Islam kontemporer demikianlah kira-kira rumusan singkat dari
cita-cita Arkoun. Untuk pembaharuannya itu Arkoun langsung menyentuh jantung
pemikiran Islam yaitu Al-Qur’an. Proyeknya ini dikenal sebagai “Kritik Nalar
Islam atau Kritik Epistemologi” sebagai upaya dalam membongkar kemapanan dalam
Epistemologi ilmu-ilmu keislaman.
Dengan melihat
latar belakang dan cita-cita Arkoun di atas bisa dipastikan betapa rumit dan
kompleknya pemikiran seorang kelahiran Al-Jazair ini.[2] Dengan
membuka pikiran yang luas inilah Arkoun dapat melihat Islam dari sudut pandang
manapun tanpa harus terikat doctrinal dari manapun.
Biografi Muhammad Arkoun
Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di
Taourirt-Mimoun, Kabilla, suatu daerah pegunungan berpenduduk berber disebelah
timur Aljir, Aljazair. Ia berasal dari keluarga berber yang sederhana, yakni
pedagang rempah-rempah.
Arkoun sejak kecil sudah menguasai tia Bahasa, yaitu Bahasa
Kabilia, salah satu Bahasa berber; Bahasa Arab yang dibawa Bersama expansi
Islam dan Pra-Romawi; dan Bahasa Perancis. Dari ketiga Bahasa tersebut mewakili
cara berfikir dan memahami yang berbeda; dan ini mempengaruhi Arkoun sejak
kecil. [3]
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di desanya, Arkoun
menlajutkan pendidikan menengahnya di kota pelabuhan Oran. Pada tahun 1950-1954
ia belajar Bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir. Kemudian Arkoun
mendaftar sebagai mahasiswa dan memperoleh gelar doctor dari Universitas
Sorbonne.[4]
Arkoun sendiri
lebih suka tinggal di barat daripada tanah kelahirannya sendiri, karena suasana
perbincangan ilmiah dan cendekia yang umumnya lebih terbuka daripada di dunia
Islam. Keterbukaan dalam berfikir inilah yang membuat Arkoun melahirkan
pemikiran-pemikiran yang kritis dan radikal tentang Islam.
Sebagai seorang
ilmuwan Arkoun sangat produktif. Ia telah banyak melahirkan karya-karya besar
dan tersebar luas di beberapa jurnal ilmiah terkemuka, seperti Magreb-Mahreq(Paris),
Islamio-Cristiana(Vatikan), Arabica(Leiden), dan lain sebagainya.
Dan beberapa buku karya Arkoun yang penting adalah: Traite d’ethique:
Tarduction avec introduction et notes du tahdhib al-akhlaq de Miskawayh (Tulisan
tentang etika: terjemahan perancis dengan pengantar dan catatan-catatan dari Tahdhib
al-Akhlaq Miskawayh).
Pemikiran Muhammad Arkoun
Muhammad Arkoun
mempunyai suatu pemikiran yang besar sekaligus menjadi mega proyek yang
disebutnya sendiri sebagai, naqd al-‘aql Al-Islami (krtiki nalar
Islami). Kritik nalar Islami pada hakikatnya tidak lain adalah kritik
epistemology terhadap pemikiran Islam.[5] Kita
harus mengetahui makna dari Epistemologi sendiri sebelum masuk terlalu dalam.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme (pengetahuan)
dan logos (teori). Dengan demikian epistemology adalah suatu kajian atau
teori filsafat mengenai (esensi) pengetahuan. [6]
Jika kita
berbicara tentang kritik epistemologis, mau tidak mau kita harus membicarakan
Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf Jermanyang disebut sebagai filsuf
kritis pertama. Pemikiran Kant yaitu mengarahkan diri pada rasio kita sendiri
yang menjadi alat untuk menyelidiki persoalan-persoalan metafisis. Kant
menyelidiki kemampuan dan batas-batas dari rasio, untuk menunjukkan sampai
sejauh mana klaim-klaim dari rasio itu dianggap benar. Dan masih banyak para
filsuf yang menggunakan kritik epistemologis yaitu, Wittgenstein, Thomas S.
Kuhn, Karl Raimund Popper, dan Al-Ghozali.
Meskipun Kritik
Nalar Islami Arkoun pada hakikatnya adalah kritik epistemologis terhadap
pemikiran Islam, namun ada yang membedakan dari model kritik epistemologis yang
lain. Sering kali kajian epistemologis terbatas pada tataran konsepsi
asal-usul, hakikat dan validitas pengetahuan konseptual-filosofis, sementara
Arkoun sendiri menambahkan metode historis dalam kerangka kritik
epistemologisnya terhadap Islam. Itulah sebabnya, Arkoun menyatakan dirinya
sebagai “sejarawan” sebelum menjadi “filsuf”.
Metode historis
Arkoun dinilai sangatlah perlu dalam mengkaji Islam sendiri, karena menyangkut bangunan pemikiran Islam yang
sudah menyejarah, membudaya dan bersifat dogmatis. Yang dianggapnya bagaikan
lapisan-lapisan tanah di bumi. Oleh sebab itu, diperlukan pembongkaran dalam
pemikiran Islam. Metode historis ini bukan hanya sekedar sejarah deskriptif,
yang hanya mendeskripsikan suatu peristiwa tertentu. Namun yang dimaksudkan
adalah metode historis sebagaimana digunakan oleh para sejarawan kontemporer.[7]
Ia
menekankan pentingnya metode historisisme tidak lain untuk membangun suatu
penyejarahan baru yang tidak sesuai dengan model sejarah dominan saat ini yang
bersifat dogmatis dan ortodoks. Karenanya ia mulai membangun dengan
memanfaatkan segala perangkat metodologi Barat sebagai upaya menerjemahkan
Islam secara fundamental. Baik dalam sejarah pemikiran Islam maupun dalam
pembacaan ulang al-Qur’an.[8]
Arkoun
menginginkan ada upaya purifikasi serta pembersihan secara besar-besaran dengan
mendekonstruksi nalar dogmatis masa lampau yang menghegemonik hingga kini.
Langkahnya tidak main-main. Untuk merealisasikan ia menggagas Islam Aplikatif (Islamologie
Appliquee) guna membangun proyek Kritik nalar Islam (Critique de
la Raison Islamique) terhadap turast Islam sebagai obyek kajian
terbesarnya. Dalam persepsinya turats tidak hanya khazanah masa lalu hasil dari
produksi para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an dan Hadits dalam berbagai
disiplin ilmu. Melainkan juga al- Qur’an sendiri. Arkoun membagi turats menjadi
dua kategori. Pertama, teks primer, yaitu al-Qur’an. Kedua, teks sekunder,
yaitu seluruh teks yang mengabdi pada al-Qur’an. Tak heran jika garapannya yang
paling ditekankan adalah pembacaan ulang al-Qur’an sebab ia merupakan piranti
dalam yang paling mendasar atas segalanya; dari sanalah mulai lahir turats
Islam secara umum, sehingga, untuk menggarap ulang, harus dari sana pula
memulainya agar kran akal Islam yang tertutup bisa terbuka kembali. Salah
satunya adalah kampanye membuka workshop studi-studi al -Qur’an.[9]
Demikianlah,
Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang
menekankan pada penafsiran nash-nash yang benar, sedangkan penafsiran orang
lain salah) dan dogmatisme abad skolastik (yang ditandai dengan mencampur
adukkan wahyu dengan non wahyu atau masukknya non-wahyu kedalam wahyu). Maka,
bagi Arkoun, syarat utama mencapai keterbukaan atau pencerahan di dalam dunia
modern ini bagi Islam yaitu mendekontruksi episteme ortodoksi dan dogmatism
abad pertengahan.[10]
Dari situ Arkoun
terus berusaha untuk memperbaharui Islam dengan krtik epistemologisnya, agar
keilmuan Islam tidak terjadi kejumudan di dalamnya, dan dapat dikembangkang
oleh generasi-generasi berikutnya tanpa ada ketakutan dalam membedah
makna-makna Islam di masa mendatang.
Penutup
Arkoun merupakan
seorang tokoh pemikir yang menggunakan kritik epistemologisnya dalam membedah
pemikiran Islam dengan menggunakan metode historisnya. Disini Arkoun tanpa ada
keraguan mengkritik pemikiran Islam yang selalu dogmatis dan orthodoksi tanpa
ada kebebasan berpendapat di dalamnya. Arkoun mencoba membelahnya sehingga
membuat pemikir-pemikir muslim dapat berfikir kritis mencari makna hakikat
Islam yang sesungguhnya, tidak hanya mengikuti ajaran masa lalu namun juga
mengerti makna dari ajaran Islam itu sendiri.
Daftar Pustaka
Sholihan, Muhammad
Arkoun dan Kritik Nalar Islam; Mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan,
Semarang: Walisongo Press, 2009
Zainal Abidin, Pengantar
Filsafat Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
[2]
Sholihan, Muhammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam; Mengkritik Ortodoksi
Membangun Islam Masa Depan, Semarang: Walisongo Press, 2009, hlm. 1-3.
[4]
Sholihan, op.cit., hlm. 9
[5]
Sholihan, op.cit., hlm. 11-12
[6]
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011, hlm. 34-35.
[7]
Sholihan, op.cit., hlm. 20-22
[8]
Sholihan, op.cit., hlm. 27-29
0 komentar:
Post a Comment