mari belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, filsafat, teori-teori belajar dan lain sebagainya

Sunday, June 4, 2017

biografi dan pemikiran Muhammad Arkoun

Biografi dan Pemikiran Muhammad Arkoun


Latar Belakang Masalah
            Pada saat ini, sebagian besar pemikiran Islam internasional yang masuk ke Indonesia di kembangkan oleh Mohammed Arkoun. Dia termasuk sekelompok pemikir Islam kontemporer yang pemikirannya masuk pada diskusi pemikiran Islam di Indonesia. Arkoun mempunyai perhatian yang serius terhadap perkembangan pemikiran Islam yang menurutnya pada saat ini beku, tertutup dan menjadi dogmatis dan menjadi mudah untuk menjadi Islam fundamental.
            Menurut Arkoun semua problematika umat Islam ini di sebabkan oleh matinya tradisi filsafat yang menyebabkan penerapan tradisi Islam berjalan tanpa adanya investigasi yang kritis. Dia melihat satu kebutuhan yang mendesak atas metode kritik untuk membaca pemikiran Arab atau Muslim. Arkoun mencoba mengkaji permasalahan-permasalahan tersebut secara konstektual sesuai dengan situasi kontemporer saat ini. Arkoun mengacu pada ilmu-ilmu sosial, bahasa, dan filsafat yang berkembang saat ini, khususnya di Barat (Perancis). Sebagai contoh dia  menggunakan metode histori karena menurutnya metode ini sangat cocok jika digunakan untuk membedah pemikiran Islam.[1]
            Secara historis sendiri tak dapat dipungkiri, bahwa Islam merupakan agama besar yang mempunyai tradisi pemikiran yang besar pula, baik dalam bidang teologi, filsafat, fiqh, tasawuf maupun lainnya. Salah satu pemikir Islam yang mempunyai concern terhadap pemikiran Islam yaitu Muhammad Arkoun, seorang pemikir Islam kontemporer. Muhammad Arkoun menempati posisi khusus dari sederet pemikir Islam kontemporer. Dengan latar belakang akademik perancis, Arkoun memiliki kecenderungan berfikir yang terbilang rumit. Pemikiran-pemikiran Arkoun memiliki perpaduan seprti Dekontruksi-gramatologi dari Derrida, Psikologi dari Lacan, Semiologi dari Roland Barthes, Epistemologi dari Foucault, Pos Struktualisme ala Fernand d Sausure, Antropologi Levi Strauss, politik Volaire,Existensialisme dari Nietzhe dan Sartre, Rasionalisme Descartes dan tentu ilmu-ilmu Arkeologi social sejarah Mahdzab Annale.
            Membangun spirit masyarakat Islam kontemporer demikianlah kira-kira rumusan singkat dari cita-cita Arkoun. Untuk pembaharuannya itu Arkoun langsung menyentuh jantung pemikiran Islam yaitu Al-Qur’an. Proyeknya ini dikenal sebagai “Kritik Nalar Islam atau Kritik Epistemologi” sebagai upaya dalam membongkar kemapanan dalam Epistemologi ilmu-ilmu keislaman.
            Dengan melihat latar belakang dan cita-cita Arkoun di atas bisa dipastikan betapa rumit dan kompleknya pemikiran seorang kelahiran Al-Jazair ini.[2] Dengan membuka pikiran yang luas inilah Arkoun dapat melihat Islam dari sudut pandang manapun tanpa harus terikat doctrinal dari manapun.

Biografi Muhammad Arkoun
Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taourirt-Mimoun, Kabilla, suatu daerah pegunungan berpenduduk berber disebelah timur Aljir, Aljazair. Ia berasal dari keluarga berber yang sederhana, yakni pedagang rempah-rempah.
Arkoun sejak kecil sudah menguasai tia Bahasa, yaitu Bahasa Kabilia, salah satu Bahasa berber; Bahasa Arab yang dibawa Bersama expansi Islam dan Pra-Romawi; dan Bahasa Perancis. Dari ketiga Bahasa tersebut mewakili cara berfikir dan memahami yang berbeda; dan ini mempengaruhi Arkoun sejak kecil. [3]
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di desanya, Arkoun menlajutkan pendidikan menengahnya di kota pelabuhan Oran. Pada tahun 1950-1954 ia belajar Bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir. Kemudian Arkoun mendaftar sebagai mahasiswa dan memperoleh gelar doctor dari Universitas Sorbonne.[4]
            Arkoun sendiri lebih suka tinggal di barat daripada tanah kelahirannya sendiri, karena suasana perbincangan ilmiah dan cendekia yang umumnya lebih terbuka daripada di dunia Islam. Keterbukaan dalam berfikir inilah yang membuat Arkoun melahirkan pemikiran-pemikiran yang kritis dan radikal tentang Islam.
            Sebagai seorang ilmuwan Arkoun sangat produktif. Ia telah banyak melahirkan karya-karya besar dan tersebar luas di beberapa jurnal ilmiah terkemuka, seperti Magreb-Mahreq(Paris), Islamio-Cristiana(Vatikan), Arabica(Leiden), dan lain sebagainya. Dan beberapa buku karya Arkoun yang penting adalah: Traite d’ethique: Tarduction avec introduction et notes du tahdhib al-akhlaq de Miskawayh (Tulisan tentang etika: terjemahan perancis dengan pengantar dan catatan-catatan dari Tahdhib al-Akhlaq Miskawayh).

Pemikiran Muhammad Arkoun
            Muhammad Arkoun mempunyai suatu pemikiran yang besar sekaligus menjadi mega proyek yang disebutnya sendiri sebagai, naqd al-‘aql Al-Islami (krtiki nalar Islami). Kritik nalar Islami pada hakikatnya tidak lain adalah kritik epistemology terhadap pemikiran Islam.[5] Kita harus mengetahui makna dari Epistemologi sendiri sebelum masuk terlalu dalam. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme (pengetahuan) dan logos (teori). Dengan demikian epistemology adalah suatu kajian atau teori filsafat mengenai (esensi) pengetahuan. [6]
            Jika kita berbicara tentang kritik epistemologis, mau tidak mau kita harus membicarakan Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf Jermanyang disebut sebagai filsuf kritis pertama. Pemikiran Kant yaitu mengarahkan diri pada rasio kita sendiri yang menjadi alat untuk menyelidiki persoalan-persoalan metafisis. Kant menyelidiki kemampuan dan batas-batas dari rasio, untuk menunjukkan sampai sejauh mana klaim-klaim dari rasio itu dianggap benar. Dan masih banyak para filsuf yang menggunakan kritik epistemologis yaitu, Wittgenstein, Thomas S. Kuhn, Karl Raimund Popper, dan Al-Ghozali.
            Meskipun Kritik Nalar Islami Arkoun pada hakikatnya adalah kritik epistemologis terhadap pemikiran Islam, namun ada yang membedakan dari model kritik epistemologis yang lain. Sering kali kajian epistemologis terbatas pada tataran konsepsi asal-usul, hakikat dan validitas pengetahuan konseptual-filosofis, sementara Arkoun sendiri menambahkan metode historis dalam kerangka kritik epistemologisnya terhadap Islam. Itulah sebabnya, Arkoun menyatakan dirinya sebagai “sejarawan” sebelum menjadi “filsuf”.
            Metode historis Arkoun dinilai sangatlah perlu dalam mengkaji Islam sendiri, karena  menyangkut bangunan pemikiran Islam yang sudah menyejarah, membudaya dan bersifat dogmatis. Yang dianggapnya bagaikan lapisan-lapisan tanah di bumi. Oleh sebab itu, diperlukan pembongkaran dalam pemikiran Islam. Metode historis ini bukan hanya sekedar sejarah deskriptif, yang hanya mendeskripsikan suatu peristiwa tertentu. Namun yang dimaksudkan adalah metode historis sebagaimana digunakan oleh para sejarawan kontemporer.[7]
Ia menekankan pentingnya metode historisisme tidak lain untuk membangun suatu penyejarahan baru yang tidak sesuai dengan model sejarah dominan saat ini yang bersifat dogmatis dan ortodoks. Karenanya ia mulai membangun dengan memanfaatkan segala perangkat metodologi Barat sebagai upaya menerjemahkan Islam secara fundamental. Baik dalam sejarah pemikiran Islam maupun dalam pembacaan ulang al-Qur’an.[8]
Arkoun menginginkan ada upaya purifikasi serta pembersihan secara besar-besaran dengan mendekonstruksi nalar dogmatis masa lampau yang menghegemonik hingga kini. Langkahnya tidak main-main. Untuk merealisasikan ia menggagas Islam Aplikatif (Islamologie Appliquee) guna membangun proyek Kritik nalar Islam (Critique de la Raison Islamique) terhadap turast Islam sebagai obyek kajian terbesarnya. Dalam persepsinya turats tidak hanya khazanah masa lalu hasil dari produksi para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an dan Hadits dalam berbagai disiplin ilmu. Melainkan juga al- Qur’an sendiri. Arkoun membagi turats menjadi dua kategori. Pertama, teks primer, yaitu al-Qur’an. Kedua, teks sekunder, yaitu seluruh teks yang mengabdi pada al-Qur’an. Tak heran jika garapannya yang paling ditekankan adalah pembacaan ulang al-Qur’an sebab ia merupakan piranti dalam yang paling mendasar atas segalanya; dari sanalah mulai lahir turats Islam secara umum, sehingga, untuk menggarap ulang, harus dari sana pula memulainya agar kran akal Islam yang tertutup bisa terbuka kembali. Salah satunya adalah kampanye membuka workshop studi-studi al -Qur’an.[9]
            Demikianlah, Arkoun melihat  ortodoksisme (paham yang menekankan pada penafsiran nash-nash yang benar, sedangkan penafsiran orang lain salah) dan dogmatisme abad skolastik (yang ditandai dengan mencampur adukkan wahyu dengan non wahyu atau masukknya non-wahyu kedalam wahyu). Maka, bagi Arkoun, syarat utama mencapai keterbukaan atau pencerahan di dalam dunia modern ini bagi Islam yaitu mendekontruksi episteme ortodoksi dan dogmatism abad pertengahan.[10]
            Dari situ Arkoun terus berusaha untuk memperbaharui Islam dengan krtik epistemologisnya, agar keilmuan Islam tidak terjadi kejumudan di dalamnya, dan dapat dikembangkang oleh generasi-generasi berikutnya tanpa ada ketakutan dalam membedah makna-makna Islam di masa mendatang.

Penutup
            Arkoun merupakan seorang tokoh pemikir yang menggunakan kritik epistemologisnya dalam membedah pemikiran Islam dengan menggunakan metode historisnya. Disini Arkoun tanpa ada keraguan mengkritik pemikiran Islam yang selalu dogmatis dan orthodoksi tanpa ada kebebasan berpendapat di dalamnya. Arkoun mencoba membelahnya sehingga membuat pemikir-pemikir muslim dapat berfikir kritis mencari makna hakikat Islam yang sesungguhnya, tidak hanya mengikuti ajaran masa lalu namun juga mengerti makna dari ajaran Islam itu sendiri.














Daftar Pustaka
Sholihan, Muhammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam; Mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, Semarang: Walisongo Press, 2009
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011




[2] Sholihan, Muhammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam; Mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, Semarang: Walisongo Press, 2009, hlm. 1-3.
[4] Sholihan, op.cit., hlm. 9
[5] Sholihan, op.cit., hlm. 11-12
[6] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 34-35.
[7] Sholihan, op.cit., hlm. 20-22
[8] Sholihan, op.cit., hlm. 27-29
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

About us