Pendahuluan
Agama (al-dien)
adalah ide murni, atau system ide dan kepercayaan yang bersifat ilahiyah,
berkenaan dengan ketaatan pada Tuhan, dan disampaikan kepada nabi-nabi. Dalam
Islam, ide murni itu berbentuk wahyu yang termuat dalam al-Quran dan al-Sunnah.
Ide ini tidak bisa diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Berbeda dengan
pemikiran agama (Islamologi) yang seluruhnya merupakan produk manusia dan
sangat berkaitan dengan masyarakat. Konsep ini tidak bisa dipisahkan dan
realitas tertentu dan sejarah masyarakat. Karena itu, Islamologi inilah gagasan
ide Ilahiah yang dapat diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Dengan kata lain,
kita harus membedakan antara Agama dan pemikiran Agama. Salah satu pemikiran
Agama adalah Fiqh dan atau Ushul Fiqh.[1]
Munculnya banyak respons, baik positif maupun negative, dari para
ulama maupun intelektual muslim Indonesia. Terutama masalah agama ketika
berhadapan dengan adat istiadat yang tidak pernah sama dan seragam , atau
spesifik lagi menyangkut relasi antara hokum Islam (Fiqh) dengan perubahan
sosial yang senantiasa berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya.
Terkait
hal ini, pada dasarnya dalam pemikiran hokum Islam terdapat dua sudut pandang
yang berbeda, bahkan juga bertentangan. Kedua teori tersebut adalah Teori
Keabadian-atau biasa disebut dengan Normativitas Hukum Islam yang berasumsi
bahwa hokum Islam , sebagai wahyu yang ditetapkan oleh Tuhan, ia tidak mungkin
berubah atau di ubah, sebagai konsekuensinya, ia juga tidak beradaptasi dengan
perubahan zaman. Teori yang kedua yaitu Teori Adaptabilitas Hukum Islam, yang
berasumsi bahwa hokum diciptakan demi kepentingan manusia , maka hokum tersebut
mengikuti perkembangan zaman dan perubahan tempat, demi kemashalahatan ummat
manusia.[2]
Di
sini kami membahas Fiqh yang terdapat di Indonesia karena Negara ini mempunyai
penduduk muslim terbesar di dunia, bahkan mengalahkan Negara-negara yang
dianggap sebagai “Islam sesungguhnya”.
Rumusan Masalah
-
Bagaimana
Fenomena Fiqh yang berada di Indonesia atau Nusantara?
Pembahasan
A.
Sejarah Fiqh di Indonesia
Pemikiran fiqh
di Indonesia dimulai bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia yang dimulai
pada abad ke-17 M. awal berkembangnya fiqh di Indonesia berada dalam koridor
keseimbangan tasawuf-fiqh, dan wacana Syafi’iyah, hal tersebut dikarenakan
perwujudan dari gerakan pemikiran tasawuf yang terlebih dahulu ada, dan akibat
langsung dari keberadaan mahdzab Syafi’I yang dianut oleh penyebar Islam
pertama di Nusantara abad ke 12 dan ke 13 M. Dua karakteristik epistemology
inilah yang menjadi langgam menonjol bagi gerakan Islam Indonesia ketika itu.
Tokoh-tokoh
yang membawa perubahan fiqh di Indonesia pada awalm perkembangannya yaitu, Hamzah
Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani, Nurrudin ar-Raniri dan Abdurrauf as-Sinkili.
Memasuki abad ke 18 M, tokoh yang menjadi pedoman Muhammad Arsyad al-Banjari
(1710-1812 M). Dengan karya fiqh yang cukup terkenal , yaitu Sabil
al-Muhtadin li at-Taffaquh fi Amr ad-Din. Dan tokoh yang cukup popular pada
akhir abad ke 18 M yaitu, Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh, dengan
meninggalkan karya yaitu, Kasyf al-Kiram fi Bayan an-Nihayat fi Takbirat
al-Ihram, Faraid al-Qur’an dan Takhshish al-Fallah fi Bayan Ahkam ath-Thalaq qa
an-Nikah. Pemikiran pada abad ke 17 & ke 18 M, bisa dipastikan bersifat
sufistik, dikarenakan Susana dakwah pada waktu itu yang melihat keadaan
masyarakat.
Pada awal abad
ke 19 M, munculah banyak pemikir, salah satunya yaitu Ahmad Rifa’I Kalisalak
(1786-1876 M), sekaligus pencetus gerakan Rifai’yah. Tokoh selanjutnya yaitu
Nawawi al-Bantani, seorang pemikir besar yang lahir di banten, 1230 H/ 1813 M
dan meninggal pada 1316 H/ 1898 M. Dengan salah satu karyanya yaitu, ‘Uqud
al-Lujain. Dan tokoh-tokoh lain yang punya andil besar dalam perkembangan
fiqh di nusantara yaitu, Abdul Hamid Hakim, Mahfud Abdullah at_Tarmissi, Hasyim
Asy’ari, Abdurrahman As-Saagaf, dan Mahmud Yunus.[3]
B.
Pemikiran Fiqh Nusantara
1.
Fiqh Nusantara ala Hasbi as-SHiddiqy
Dilihat dari
sejarah perkembangan pemikiran hokum Islam yang telah dimulai jauh sebelum
kemerdekaan, beberapa cara dan upaya untuk mempertimbangkan suatu unsur
struktur kebudayaan (adat) ke dalam rumusan hokum Islam ternyata telah
dilakukan oleh banyak kalangan. Para pemikir hokum Islam di Indonesia fase awal
telah berusaha menyatukan secara baik hokum Islam dengan aspek lokalitas dalam
ijtihad hokum di Indonesia. Walaupun tidak sampai muncul seorang mujtahid mustaqil,
tentunya dengan independensi metode penemuan hokum sendiri, kita dapat
melihat beberapa hasil karya yang cukup kreatif, cerdas dan inovatif.
Namun seiring
berjalannya waktu terjadi kemandegan dalam berijtihad dalam pemikiran fiqh
nusantara, karena doctrinal para ulama yang diwariskan nyaris turun temurun
tidak dapat di rubah. Situasi dan kondisi seperti di atas ternyata memiliki
pengaruh yang cukup dominan dalam munculnya gagasan Fiqh Indonesia, terutama
oleh Ulama Hasby as-Shiddiqy.[4]
Dari titik
berangkat kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran Fiqh Indonesia
hadir, ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh hasbi. Menurutnya, hokum
Islam harus mampu menjawab berbagai macam persoalan, terutama masalah
muammalah, yang belum ada ketetapan hukumnya. Demi tujuan ini, Hasbi
menyarankan agar para pendukung Fiqh Indonesia mendirikan lembaga Ahl
al-Hall wa al-‘Aqd. [5]
nalar berfikir yang digunakan oleh Hasbi as-Shiddiqy dengan gagasan Fiqh
Indonesia adalah salah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hokum Islam
sebenarnya memberikan ruang gerak terhadap pemikir-pemikir Islam untuk
berijtihad. Puncak pemikiran tentang Fiqh Indonesia sendiri terjadi pada tahun
1961, pada tahun tersebut Hasbi mengamati perkembangan fiqh di Indonesia belum
mampu melahirkan fiqh yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya salah satu
penghambatnya yaitu adanya ikatan yang kuat (fanatic) terhadap madzhab yang dianut ummat Islam. Maka dari itu Hasbi
memulai gerakannya ini pada kalangan akademisi atau perguruan tinggi Islam,
untuk mengenalkan Islam secara kohesif..[6]
Indonesia,
merupakan salah satu negara yang situasi dan kondisinya sesuai dengan pemikiran
salah satu imam yang empat, yaitu Imam Syafi’i, yang secara mayoritas menganut
pendapatnya, karena berawal dari kehadiran Islam di Asia Tenggara berkat
interaksi mereka dengan pendatang ---sebagai pedagang maupun sebagai pendakwah---
dari Yaman dan Hijaz.[7]
Di samping itu, di satu sisi masyarakatnya lebih cenderung berfikir rasionalis
dan disisi yang lain bertindak tradisionalis, sehingga hukum yang ada di
indonesia senantiasa mengambil pendapat-pendapat Imam Syafi’i atau Syafiiyah
dari pada konsep-konsep imam yang lain.
Seorang tokoh
ulama indonesia, KH. Hasyim Asy’ari, sebagai pendiri NU dan Ketua Umum PBNU
pertama kali menyadari adanya madzhab fiqh diluar empat madzhab sunni tersebut,
seperti Madzhab Sofwan As-Sauri, Safwan Bin Uyainah, Daud Ibn Ali Az-Zahiri
yang juga boleh diikuti. Hanya saja madzhab-madzhab tersebut tidak punya
pengikut setia sehingga hasil pemikirannya belum terkodifikasi dan akhirnya
transmisi keilmuwaannya terputus. Walaupun demikian, dalam prakteknya
kitab-kitab Asy-Syafi’iyah tetap yang paling mendominasi cara kerja dalam
pengambilan keputusan hukum islam dan bisa dikatakan standar kemuktabaran kitab
fiqh pun masih Syafi’i sentries.
Kenyataan
mengenai terlalu dominannya Madzhab Syafi’i memang ada. Pendapat para Ulama’
Syafi’iyah masih cukup dominan dalam Bahtsul Masa’il NU. Namun demikian,
sebagaimana pendapat alm. KH. Sahal Mahfudz menjelaskan bahwa dominasi Syafi’i
bukan berarti ulama’ NU menolak pendapat ulama’ di luar Syafi’yah. Hal itu
dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai cukup referensi lain di
luar Madzhab Syafi’i semisal kitab Al-Mudawanah (Imam Malik), Kanz Al-Wushul
(Bazdawi Al-Hanafi), Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam (Ibn Hazm), Raudat Al-Nazhir Fi
Jannat AlMunazhir (Ibnu Qudamah Al-Hanbali) dan lain-lain. Karena itu jangan heran
jika keputusan bahtsul masa’il selalu sarat dengan kitab-kitab Syafi’i mulai
dari yang paling kecil semisal Safinat Al-Sholah karya Imam Nawawi Banten
sampai yang paling besar Al-Um Atau AlMajmu’. Sangat sulit dijumpai dalam
kepustakaan mereka kitab-kitab lain di luar Syafi’i kecuali sebagian kecil
ulama’. Ini disamping karena harganya belum terjangkau juga lantaran
kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia. Seandainya mereka mempunyai
referensi lain selain Madzhab Syafi’i tentu mereka akan menerima sepanjang bisa
dinalar dan tidak bertentangan dengan akal kultural setempat. Hal itu terbukti
dengan keputusan bahtsul masa’il NU belakangan ini yang diwarnai dengan pendapat
diluar Madzhab Syafi’i.[8]
Untuk membentuk
fiqh baru ala Indonesia sendiri perlu adanya kesadaran dan kearifan yang tinggi
dari banyak pihak, terutama ketika harus melewati refleksi historisitas atau
melihat kembali awal perkembangan fiqh di Indonesia. Perspektif ini mengajarkan
bahwa hokum baru dapat berjalan dengan baik jika dibantu oleh lingkungan dan
kebudayaan yang berjalan seiringan. Dengan demikian fiqh Indonesia diharapkan
mempunyai cita rasa khas sendiri yang berbeda dengan lainnya.[9]
Salah satu
contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran fiqh
adalah lahirnya pancasila. Pancasila yang digali dari budaya banggsa Indonesia
diterima dan disepakati untuk menjadi dasar Negara Indonesia, meskipun pada
awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu, karena yang mereka idealkan adalah
ajaran fiqh secara eksplisit yang menjadi dasar Negara. Namun, akhirnya mereka
menyadari bahwa sesungguhnya pancasila adalah ajaran fundamental Islami. Sila
pertama ke-Tuhanan yang Maha Esa mencerminkan tauhid dalam akidah keislaman dan
dalam fiqh ibadah, sila ke dua dan ketiga kemanusiaan yang adil dan beradab dan
persatuan Indonesia senada dengan konsep fiqh muamalah, sila ke empat
mencerminkan fiqh siyasah dan terakhir keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia merupakan bagian dari fiqh jinayat. [10]
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sejak awal, bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab
dan merespon tantangan zaman. Oleh karena itu, disini hokum Islam dipahami akan
selalu sesuai untuk segala konteks ruang dan waktu. Dalam mewujudkan itu maka
menjadi tugas ummat Islam untuk mendialogkan dua kutub, yaitu nass yang
bersifat ilahi namun terbatas dari segi jumlah di satu sisi dengan ‘urf
(peradaban, sejarah, atau masyarakat) yang bersifat wad’I (manusiawi) tetapi
selalu berkembang. Hal ini tentu saja dilakukan mengingat Islam adalah untuk
mencapai dan menjamin kebahagiaan ummat manusia dunia maupun akhirat.
Dengan
demikian, dialektika antara nass wahyu dan realitas masyarakat menjadi kunci
untuk dapat menjadikan Islam selalu survive sepanjang masa dalam menghadapi
arus perkembangan dan perubahan masyarakat. Dengan adanya dialektika
tersebutlah membuktikan bahwa Islam sebagai rahmat li al-‘alamin.[11]
2.
Fiqh Nusantara ala Masdar F. Mas’udi
munculnya pemikiran hokum Islam
Masdar ditandai dengan terbitnya buku Agama Keadilan : Risalah Zakat (pajak)
dalam Islam, pada yahun 1991. Dalam bukunya masdar menawarkan dasar pemikiran
hokum Islam alternatif yang nantinya sebagai solusi dalam menyelesaikan
berbagai persoalan sosial-keagamaan. Dalam pemikiran “Agama Keadilan” ini
dilator belakangi oleh pengamatan Masdar – sebagai aktivis LSM- dengan
kenyataan sosial yang dinilainya timpang. Dalam hal ini dapat dimaknai sebagai
upaya peneggakan kembali bangunan sosial dan kemanusiaan Islam dari timbunan
puing-puing kesejarahannya. Karena menurut Masdar, dalam rentang waktu lebih dari 10 abad ummat Islam telah
mengabaikan amanat sosial (kekhalifahannya).
Wajah
fiqh sendiri, sebagai potret luar dari syariat Islam yang dinilai sebagai
rujukan masyarakat dalam bersikap, masih memiliki kelemahan yang menurut Masdar
dikarenakan adanya keterikatan ummat Islam yang berlebihan terhadap teks (nash).
Menurutnya sikap seperti ini hanya akan membuat prinsip kemaslahatan menjadi
jargon kosong.
Disini
Masdar membawa konsep rekontruksi qath’I-dzanni, dengan pengertian qath’I yaitu
nilai kemashlahatan dan keadilan, yang merupakan jiwa dari hokum itu sendiri,
dan dzanni adalah seluruh ketentuan teks, ketentuan normative yang bisa
digunnakan untuk menerjemahkan yang qath’I dalam kehidupan nyata.
Disini
persoalan yang dibahas oleh Masdar yaitu mengenai reproduksi perempuan, dalam
pandangannya, bias gender yang terjadi dalam penafsiran teks keagamaan telah
merugikan pihak perempuan. Seperti pada Q.S al-Baqarah (2); 223: “ Istri-istrimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tempat
bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki”. Menurut Masdar ayat ini
berbicara tentang kesuburan seorang wanita daripada tentang seks. Namun
beberapa ulama memahami sebagai dictum bahwa wanita itu dalam keadaan apapun
harus memenuhi keinginan seksual suami. Dengan pemahaman seperti ini , suami
bisa berbuat bebas sekehendak hatinya tanpa memperhatikan kepentingan istrinya,
bahwa jika istri menolak ajakan seksual suaminya maka istri akan mendapatkan
dosa, namun tidak sebaliknya.
Untuk
menjustifikasi sikap dan keyakinan nya bahwa laki-laki lebbih unggul daripada
perempuan, para ulama biasanya menggunakan Q.S. an-Nisa’ (4): 34: “kaum
laki-laki itu pemimpin bagi para perempuan”. Seperti halnya ketika pasangan
suami istri berhubungan seks, pada detik-detik kenikmatannya, istri sama sekali
bukanlah objek, melainkan subjek. Tidak adil rasanya kalau hanya satu pihak
yang merasakan kenikmatannya, sedangkan pihak lain hanya mendapatkan getahnya.
Sebaliknya, pekerjaan rumah tangga, bukanlah tanggung jawab istri seorang
seharusnya, melainkan suami juga harus ikut membantu didalamnya. Namun realita
sekarang, pekerjaan rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan istri seorang.
Disini
Masdar melihat bahwasanya seharusnya antara laki-laki dan perempuan seharusnya
memiliki hak-hak yang seimbang dan sebanding dengan kaum laki-laki. Pandangan
ini lahir karena reaksi atas persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat.[12]
Penutupan
Fiqh Indonesia
mengalami masa perubahan yang banyak, dan didominasi oleh beberapa mahdzab
terutama mahdzab Syafi’I, oleh karena itu perlu perubahan atau
pemikiran-pemikiran moderat agar fiqh dapat memenuhi perkembangan atau
perubahan zaman guna menjadi solusi ummat muslim agar Indonesia menjadi Negara
yang baldattun thayyibatun waa Rabbun Ghaffur dengan menggabungkan nass
wahyu dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Serta penting daripada itu
adalah masyarakat yang turut mendukung berkembangnya berfikir yang luas dan
lingkungan yang tidak terlalu fanatic, disitulah hokum fiqh di Indonesia dapat
berkembang dengan luas.
Dalam hal ini
seharusnya kita sebagai generasi bangsa jangan lah puas ketika mendapatkan
suatu ilmu, melainkan harus berfikir komprehensif terhadap realitas-realitas
yang terjadi di masyarakat sekarang. Karena zaman akan terus berkembang, dan
problematika dimasyarakat akan semakin komples adanya.
Daftar Pustaka
Najib, Agus. Moh, Evolusi
Syariah; Ikhtiar Mahmoed Mohamed Taha Bagi Pembentukan Hukum Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: Pesantren Wawesea Press, 2007)
Maksum,
Saifullah, Kharisma Ulama’, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung:
Mizan, 1998)
Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh versus Hermeneutika: Membaca Islam
dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007)
Wasik, Abdul, Peran Imam Madhzab dan Interaksi Sosial dalam
Penerapan Hukum Islam, al-‘Adalah, Volume, 18 Nomor 12 Mei 2015.
as-Shiddiqy,
Hasbi, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966).
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam Di Indonesia (Jakarta:
Interaksi Sosialnya Interaksi Sosialnya Interaksi Sosialnya LP3ES, 1980).
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris
hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: Lkis, 2005).
as-Shiddiqy, Hasbi, Fiqh Islam
Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975).
Rahimin
Affandi Abd Rahim, EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM: UPAYA MENCARI PARADIGMA BARU
FIQH KONTEMPORER, AL-RISALAH Jurnal Ilmu Hukum | Vol. 13, No. 1, Juni 2013.
Gatot Suhirman, Fiqh Mahzab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran
Hasbi as-Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat li-Indonesia). Al-Mawarid, Vol.
XI, No. 1, Feb-Augst 2010.
[1] Rahimin
Affandi Abd Rahim, EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM: UPAYA MENCARI PARADIGMA BARU
FIQH KONTEMPORER, AL-RISALAH Jurnal Ilmu Hukum | Vol. 13, No. 1, Juni 2013.
[2] Gatot
Suhirman, Fiqh Mahzab Indonesia (Konsep dan Aplikasi Pemikiran Hasbi
as-Siddiqi untuk Konteks Islam Rahmat li-Indonesia). Al-Mawarid, Vol. XI,
No. 1, Feb-Augst 2010. Hlm 11
[3]
Mahsun Fuad, Hukum
Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris,
(Yogyakarta: Lkis, 2005), hlm 34-42.
[4] Mahsun Fuad, Ibid.,
hlm 64
[5] T.M Hasbi
as-Shiddiqy, Fiqh Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap, Bulat, dan Tuntas,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 160.
[6] Hasbi
as-Shiddiqy, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang,
1966), hlm 42.
[7] Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam Di Indonesia (Jakarta: Interaksi Sosialnya Interaksi Sosialnya
Interaksi Sosialnya LP3ES, 1980), hlm. 242-243.
[8] Saifullah
Maksum, Kharisma Ulama’, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU (Bandung: Mizan,
1998), hlm. 80.
[9] Yudian
Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan
Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), hlm. 31.
[10] Abdul Wasik, Peran
Imam Madhzab dan Interaksi Sosial dalam Penerapan Hukum Islam, al-‘Adalah,
Volume, 18 Nomor 12 Mei 2015, hlm 116-118.
[11] Agus. Moh.
Najib, Evolusi Syariah; Ikhtiar Mahmoed Mohamed Taha Bagi Pembentukan Hukum
Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pesantren Wawesea Press, 2007), hlm. 41-42.
0 komentar:
Post a Comment