PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Pendekatan Ilmu-ilmu Keislaman
Dosen Pengampu: Dr. H. Sudja’i, M. Ag.
Oleh:
Abdurrochman (1600118045)
Muhammad Ro’is (1600118054)
Rohimah (1600118057)
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
A.
Pendahuluan
Dalam kaitan dengan studi agama, makna
istilah fenomenologi tidak pernah terbakukan secara tegas. Oleh karena itu kita
mesti memulai dengan kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang
termuat dalam pendekatan fenomenologis terhadap agama. Bila dibandingkan dengan
disiplin-disiplin dan pendekatan lain yang memberi pemahaman tentang subjek
(agama) kepada kita, pendekatan fenomenologi berperan dengan cara yang khas.
Agama sebagai subjek studi perlu diidentifikasi sebagai suatu entitas tersendiri.
Capaian fenomologi adalah penting
bagi teoritisasi tentang hakikat agama secara umum, tetapi sedikit banyak
memiliki konsekuensi metodologis. Banyak fenomenolog yang memilih pluralisme
metodologi. Dengan mengkombinasikan pendekataan apapun dalam studi sejarah,
bahasa, dan ilmu-ilmu sosial agar dapat menyinari fenomena keagamaan dalam
penelitian. Kontribusi terpenting fenomenologi dalam tulisan-tulisan terbaru
memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi ketika peneliti (sarjana, orang
beragama) menghadapi objek (fenomena keagamaan, teks). Fenomenologi memandang proses agama dalam istilah rangsangan dan
respon (pemikiran dan perbuatan suci atau numenal) dan memisahkan untuk
menganalisis respon atau “pengalaman” keagamaan sebagai bidang penelitian.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan fenomenologi ?
2.
Bagaimana
fenomenologi menurut para tokoh ?
3.
Bagaimana
pendekatan fenomenologi dalam studi agama?
C.
Pembahasan
1. Pengertian Fenomenologi
Kata
fenomenologi dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki artian ilmu tentang
perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sbg ilmu yg mendahului ilmu
fisafat atau bagian dari filsafat.[2] Fenomenologi
berasal dari kata “phainein” yang berarti
memperlihatkan dan “pheinemenon” yang berarti sesuatu
yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan “back to
the things themselves” atau kembali kepada benda itu sendiri.
Menurut Hadiwijoyo, kata fenomena berarti “penampakan” seperti pilek, demam dan
meriang yang menunjukkan fenomena gejala penyakit.[3]
2. Fenomenologi Menurut Para Tokoh
a.
G.W.F. Hegel
Dalam bukunya “The Phenomenology
of The Spirit” yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa
fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran,
sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh
seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut
mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat
“menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen)
dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau
manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu
mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya,
berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit).
Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa
agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[4]
Pendekatan
fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren
bagi studi agama. Filsafat Hegel dapat menjadi dasar dibangunnya pendekatan
fenomenologis. Dalam karyanya yang berpengaruh The phenomenology of spirit (1806),
Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui
penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (Erschinugnen). Tujuan
Hegel adalah menunjukkan bagaiman karya ini membawa pada pemahaman bahwa
seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, bagaimanapun juga didasarkan pada
satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Penekanan
terhadap hubungan antar esensi dan manifestasi ini, menjadi suatu dasar untuk
memahami bagaimana agama dalam keragamannya pada dasarnya mesti dipahami
sebagai suatu entitas yang berbeda.[5]
b.
Edmund Husserl
Edmund Husserl, seorang filsuf
Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan filosofis pendekatan
intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya “Logische
Unterschungen,” “Ideen zu einer reinen Phanomenologie,” “Formale
und transzendentale Logik” dan “Erfahrung und Urteil” ia mengatakan
rumusan tersebut berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa
“science alone is the ultimate court of appeal” (sains adalah
satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah
adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan
pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat tersebut dengan
mengatakan bahwa pengalaman hidup “life experiences” dapat
dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat bantu mengeksplorasi realitas.
Menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian
tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut
menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari sana Ia kemudian memunculkan
istilah “reduksi fenomenologis.” Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada
objek-objek yang non-eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak menganggap
bahwa sesuatu itu ada, melainkan terdapat “pengurangan sebuah keberadaan,”
yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari objek
yang dipikirkan. Berangkat dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua
konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua
konsep tersebut adalah epochè dan eiditic vision.
1. Epochè
vision. Kata epochè
berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda semua penilaian” atau “pengurungan”
(bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran
adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena
pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah
sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian.
2. Eidetic
vision berarti
“yang terlihat” atau pengandaian terhadap epochè yang merujuk pada
pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak
berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.[6]
Dua
istilah yang diambil dari Yunani ini mengungkapkan skop metode dan ketegangan
yang ada di dalamnya. Epoche terdiri dari pengendalian atau kecurigaan
dalam mengambil keputusan. Pandangan eiditik terkait dengan kemampuan melihat
apa yang ada sesungguhnya. Eiditik mngandaikan epoche, ia memberi kemampuan
melihat esensi fenomena secara objektif, bahkan juga membahas persoalan
subjektivitas persepsi dan refleksi. Eiditik mengandaikan adanya kemampuan
mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang juga dapat dipertahankan
sebagai pengetahuan objektif.[7]
Dari
penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa feneomenologi berusaha menangkap
fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya
sendiri (views itself),[8]atau
menurut penjelasan Elliston, “phenomenology then means… to let what shows
itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and
from itself.”[9]
(fenomenology dapat berarti… membiarkan
apa yang menunjukkan dirinya sendiri dilihat melalui dan dalam batas-batas
dirinya sendiri, sebagaimana ia menunjukkan dirinya melalui dan dari dirinya
sendiri). Untuk ini Husserl menggunakan istilah “intensionalitas”, yakni
realitas yang menampakkan diri dalam kesadaran individu atau kesadaran
intensional dalam menangkap fenomena apa adanya.
c.
Kristensen
Kristensen melihat fenomenologi agama
sebagai pelengkap pendekatan
historis dan filosofis, namun dalam memahaminya Kristensen meniliki tujuan yang
berbeda. Menurutnya, tugas fenomenologi adalah melakukan pengelompokan secara
sistematik tentang karakteristik data untuk menggambarkan watak keagamaan
manusia. Fenimenologi hendak mengungkapkan elemen-elemen esensial dan tipikal
dari agama. Ini adalah tugas deskriptif, bukan interpretatif. Fenomenologi
adalah prasyarat niscaya bagi tugas filosofis dalam menentukan esensi agama.
Penjelasan tentang penentuan peran fenomenologi merupakan kontribusi utama
Kristensen dalam mengukuhkan fenomenologi sebagai suatu disiplin sendiri. Dia
juga menegaskan tentang pentingna memahami agama dari sudut pandang orang yang
beriman, suatu prinsip yang menjadi aksioma dalam studi-studi
fenomenologis selanjutnya.[10]
3. Pendekatan Fenomenologi dalam Studi
Agama
Awal
abad ke-20, studi agama-agama berkembang dikalangan para spesialis–sejarawan,
filolog, antropolog, dan arkeolog– yang karya-karya individual mereka berpusat
pada aspek-aspek tertentu dari tradisi tertentu. Mereka yang berupaya
mengombinasikan semua hasilnya untuk memusatkan diri pada studi agama bersandar
pada metode akumulasi dan perbandingan untuk mengkaji evolusi agama “alamiah”
sejak awal.
Peristiwa
Perang Dunia I mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk terlibat dalm studi
agama-agama. Ada kebutuhan yang dirasa begitu kuat untuk menemukan pendekatan
yang membolehkan ekspresi otentik agama-agama “lain” untuk adalah penilaian
objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia.
Diilhami
oleh gerakan Kontinental dalam filsafat dengan nama yang sama, fenomenologi
agama berusaha diterapkan pada berbicara tanpa pengaruh nilai-nilai personal
para sarjana. Apa yang dibutuhkan
manifestasi-manifestasi
agama dalam semua budaya melalui metode deskripsi murni dimana penilaian
peneliti tentang nilai dan kebenaran data agama yang diselidiki secara sengaja
ditangguhkan (epoche). Objek berusaha menangkap esensi (eidetic
vision) yang terletak dibelakang fenomena keagamaan. Studi fenomenologi
lebih setuju dengan studi teologi, karena pentingnya penangguhan penilaian
peneliti mengasumsikan bahwa manifestasi empirik dari “fenomena” keagamaan
menyembunyikan realitas “nomena” terdalam atau realitas suci yang hanya
dapat ditangkap esensinya. Fenomenologi abad ke-20 ingin mendudukkan pengalamn
keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam, bagaimanapun luar
biasanya. Maka agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah
evolusi, tetapi lebih sebagai aspek yang esensial dari kehidupan manusia.
Keilmuan
fenomenologis juga menuntut pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami
fenomena keagamaan. Objek studi budaya atau studi manusia. Objek studi budaya
atau studi manusia adalah seluruh perbuatan dan tindakan manusia yang secara
historis melibatkan bentuk bentuk ekspresi artistik, intelektual, sosial,
ekonomi, agama, politik (dan ilmiah). Dari studi manusia sekaligus studi
fenomenologi, pemahaman tentu budaya menuntut pengetahuan luas, yang meliputi
psikologi, sejarah, ekonomi. [11]
Fenomenologi agama adalah aspek
pengamalan keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena
keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan obyek yang
diteliti. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari
pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normative dengan berupaya
mendeskripsikan pengalamam-pengalaman agama dengan akurat[12].
A method adopting the procedures of
ephoce (suspension of previous judgements) and eidetic intuition (seeing in to
the meaning of relegion) to the study of the varied of symbolic expressions of
that wich people approprioriately respond to as being unrestricted value from
them (sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur ephoche[penundaan
penilaianpenilaian sebelumnya] dan institusi eiditis [melihat kedalam makna
agama] dengan kajian terhadap berbagai ekspresi simbolik yang direspon
orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas bagi mereka)[13]
Menurut Neong Muhajir, secara
ontology pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat
kebenaran (sensual, logic, etik, transendental)[14].
Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan
kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan manafsirkan dan
mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran
subtansinya[15]
D.
Kesimpulan
Fenomenologi tidak pernah terbakukan
secara tegas. Oleh karena itu kita mesti memulai dengan kehati-hatian dalam
upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologis
terhadap agama.
Peristiwa Perang Dunia I mampu
mempengaruhi banyak sarjana untuk terlibat dalm studi agama-agama. Ada
kebutuhan yang dirasa begitu kuat untuk menemukan pendekatan yang membolehkan
ekspresi otentik agama-agama “lain” untuk adalah penilaian objektif terhadap
peran agama dalam kehidupan manusia.
Ada gerakan Kontinental dalam
filsafat dengan nama yang sama, fenomenologi agama berusaha diterapkan pada
manifestasi-manifestasi agama dalam semua budaya melalui metode deskripsi murni
dimana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran data agama yang
diselidiki secara sengaja ditangguhkan (epoche). Objek berusaha
menangkap esensi (eidetic vision) yang terletak dibelakang fenomena
keagamaan. Studi fenomenologi lebih setuju.
Fenomenologi
agama adalah aspek pengamalan keagamaan, dengan mendeskripsikan atau
menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau
kepercayaan obyek yang diteliti.
[1] Richard C.
Martin (ed.), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, (Yogyakarta:
SUKA-Press, 2010), hlm. 8.
[2] Tim penyusun
kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2005),hlm.315
[3] Harun
Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 140.
[4] Clive Erricker,
“Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan
Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 110.
[5] Peter
Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Cet. I,
(Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 110.
[7] Peter
Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, ...hlm. 111.
[9] Federick Elliston,
“Phenomenology Reinterpreted: from Husserl to Heideger” dalam Philosophy
Today, Vol. xxi, No. 3/4, 1977, hlm. 279.
[10] Peter
Connolly, Aneka Pendekatan..., hlm. 114-115.
[11] Richard C.
Martin (ed.), Pendekatan ..., hlm. 6-8.
[13] James L. Cox, Expressing
the Sacred: An introduction to the phenomenology of religion (Harar: Univerrsity
of Zimbabwe, 1992), hlm. 24
[14] Neong Muhajir,
Metodelogi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake sarasin,1989), hlm.
19
[15] Neong Muhajir,
Metodelogi,,,. hlm183-185
0 komentar:
Post a Comment