mari belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, filsafat, teori-teori belajar dan lain sebagainya

Thursday, October 5, 2017

PENDEKATAN FENOMENOLOGIS

PENDEKATAN FENOMENOLOGIS

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Pendekatan Ilmu-ilmu Keislaman
Dosen Pengampu: Dr. H. Sudja’i, M. Ag.








Oleh:
Abdurrochman            (1600118045)
Muhammad Ro’is       (1600118054)
Rohimah                      (1600118057)


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
A.    Pendahuluan
Dalam kaitan dengan studi agama, makna istilah fenomenologi tidak pernah terbakukan secara tegas. Oleh karena itu kita mesti memulai dengan kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologis terhadap agama. Bila dibandingkan dengan disiplin-disiplin dan pendekatan lain yang memberi pemahaman tentang subjek (agama) kepada kita, pendekatan fenomenologi berperan dengan cara yang khas. Agama sebagai subjek studi perlu diidentifikasi sebagai suatu entitas tersendiri.
Capaian fenomologi adalah penting bagi teoritisasi tentang hakikat agama secara umum, tetapi sedikit banyak memiliki konsekuensi metodologis. Banyak fenomenolog yang memilih pluralisme metodologi. Dengan mengkombinasikan pendekataan apapun dalam studi sejarah, bahasa, dan ilmu-ilmu sosial agar dapat menyinari fenomena keagamaan dalam penelitian. Kontribusi terpenting fenomenologi dalam tulisan-tulisan terbaru memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi ketika peneliti (sarjana, orang beragama) menghadapi objek (fenomena keagamaan, teks).  Fenomenologi memandang  proses agama dalam istilah rangsangan dan respon (pemikiran dan perbuatan suci atau numenal) dan memisahkan untuk menganalisis respon atau “pengalaman” keagamaan sebagai bidang penelitian.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan fenomenologi ?
2.      Bagaimana fenomenologi menurut para tokoh ?
3.      Bagaimana pendekatan fenomenologi dalam studi agama?

C.    Pembahasan
1.      Pengertian Fenomenologi
Kata fenomenologi dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki artian ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sbg ilmu yg mendahului ilmu fisafat atau bagian dari filsafat.[2] Fenomenologi berasal dari kata “phainein” yang berarti memperlihatkan dan “pheinemenon” yang berarti sesuatu yang muncul atau terlihat, sehingga dapat diartikan “back to the things themselves” atau kembali kepada benda itu sendiri. Menurut Hadiwijoyo, kata fenomena berarti “penampakan” seperti pilek, demam dan meriang yang menunjukkan fenomena gejala penyakit.[3]

2.      Fenomenologi Menurut Para Tokoh
a.    G.W.F. Hegel
Dalam bukunya “The Phenomenology of The Spirit” yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[4]
Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Filsafat Hegel dapat menjadi dasar dibangunnya pendekatan fenomenologis. Dalam karyanya yang berpengaruh The phenomenology of spirit (1806), Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (Erschinugnen). Tujuan Hegel adalah menunjukkan bagaiman karya ini membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, bagaimanapun juga didasarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Penekanan terhadap hubungan antar esensi dan manifestasi ini, menjadi suatu dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keragamannya pada dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda.[5]

b.    Edmund Husserl
Edmund Husserl, seorang filsuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan filosofis pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya “Logische Unterschungen,” “Ideen zu einer reinen Phanomenologie,” “Formale und transzendentale Logik” dan “Erfahrung und Urteil” ia mengatakan rumusan tersebut berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa “science alone is the ultimate court of appeal” (sains adalah satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan yang lain. Husserl membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pengalaman hidup “life experiences” dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat bantu mengeksplorasi realitas.
Menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari sana Ia kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.” Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan terdapat “pengurangan sebuah keberadaan,” yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan. Berangkat dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut adalah epochè dan eiditic vision.
1.   Epochè vision. Kata epochè berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda semua penilaian” atau “pengurungan” (bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian.
2.   Eidetic vision berarti “yang terlihat” atau pengandaian terhadap epochè yang merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.[6]
Dua istilah yang diambil dari Yunani ini mengungkapkan skop metode dan ketegangan yang ada di dalamnya. Epoche terdiri dari pengendalian atau kecurigaan dalam mengambil keputusan. Pandangan eiditik terkait dengan kemampuan melihat apa yang ada sesungguhnya. Eiditik mngandaikan epoche, ia memberi kemampuan melihat esensi fenomena secara objektif, bahkan juga membahas persoalan subjektivitas persepsi dan refleksi. Eiditik mengandaikan adanya kemampuan mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang juga dapat dipertahankan sebagai pengetahuan objektif.[7]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa feneomenologi berusaha menangkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (views itself),[8]atau menurut penjelasan Elliston, “phenomenology then means… to let what shows itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and from itself.[9]  (fenomenology dapat berarti… membiarkan apa yang menunjukkan dirinya sendiri dilihat melalui dan dalam batas-batas dirinya sendiri, sebagaimana ia menunjukkan dirinya melalui dan dari dirinya sendiri). Untuk ini Husserl menggunakan istilah “intensionalitas”, yakni realitas yang menampakkan diri dalam kesadaran individu atau kesadaran intensional dalam menangkap fenomena apa adanya.



c.     Kristensen
 Kristensen melihat fenomenologi agama sebagai pelengkap pendekatan historis dan filosofis, namun dalam memahaminya Kristensen meniliki tujuan yang berbeda. Menurutnya, tugas fenomenologi adalah melakukan pengelompokan secara sistematik tentang karakteristik data untuk menggambarkan watak keagamaan manusia. Fenimenologi hendak mengungkapkan elemen-elemen esensial dan tipikal dari agama. Ini adalah tugas deskriptif, bukan interpretatif. Fenomenologi adalah prasyarat niscaya bagi tugas filosofis dalam menentukan esensi agama. Penjelasan tentang penentuan peran fenomenologi merupakan kontribusi utama Kristensen dalam mengukuhkan fenomenologi sebagai suatu disiplin sendiri. Dia juga menegaskan tentang pentingna memahami agama dari sudut pandang orang yang beriman, suatu prinsip yang menjadi aksioma dalam studi-studi fenomenologis selanjutnya.[10]

3.      Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama
Awal abad ke-20, studi agama-agama berkembang dikalangan para spesialis–sejarawan, filolog, antropolog, dan arkeolog– yang karya-karya individual mereka berpusat pada aspek-aspek tertentu dari tradisi tertentu. Mereka yang berupaya mengombinasikan semua hasilnya untuk memusatkan diri pada studi agama bersandar pada metode akumulasi dan perbandingan untuk mengkaji evolusi agama “alamiah” sejak awal.
Peristiwa Perang Dunia I mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk terlibat dalm studi agama-agama. Ada kebutuhan yang dirasa begitu kuat untuk menemukan pendekatan yang membolehkan ekspresi otentik agama-agama “lain” untuk adalah penilaian objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia.
Diilhami oleh gerakan Kontinental dalam filsafat dengan nama yang sama, fenomenologi agama berusaha diterapkan pada berbicara tanpa pengaruh nilai-nilai personal para sarjana. Apa yang dibutuhkan
manifestasi-manifestasi agama dalam semua budaya melalui metode deskripsi murni dimana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran data agama yang diselidiki secara sengaja ditangguhkan (epoche). Objek berusaha menangkap esensi (eidetic vision) yang terletak dibelakang fenomena keagamaan. Studi fenomenologi lebih setuju dengan studi teologi, karena pentingnya penangguhan penilaian peneliti mengasumsikan bahwa manifestasi empirik dari “fenomena” keagamaan menyembunyikan realitas “nomena” terdalam atau realitas suci yang hanya dapat ditangkap esensinya. Fenomenologi abad ke-20 ingin mendudukkan pengalamn keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam, bagaimanapun luar biasanya. Maka agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai aspek yang esensial dari kehidupan manusia.
Keilmuan fenomenologis juga menuntut pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan. Objek studi budaya atau studi manusia. Objek studi budaya atau studi manusia adalah seluruh perbuatan dan tindakan manusia yang secara historis melibatkan bentuk bentuk ekspresi artistik, intelektual, sosial, ekonomi, agama, politik (dan ilmiah). Dari studi manusia sekaligus studi fenomenologi, pemahaman tentu budaya menuntut pengetahuan luas, yang meliputi psikologi, sejarah, ekonomi. [11]
Fenomenologi agama adalah aspek pengamalan keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan obyek yang diteliti. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normative dengan berupaya mendeskripsikan pengalamam-pengalaman agama dengan akurat[12].
A method adopting the procedures of ephoce (suspension of previous judgements) and eidetic intuition (seeing in to the meaning of relegion) to the study of the varied of symbolic expressions of that wich people approprioriately respond to as being unrestricted value from them (sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur ephoche[penundaan penilaianpenilaian sebelumnya] dan institusi eiditis [melihat kedalam makna agama] dengan kajian terhadap berbagai ekspresi simbolik yang direspon orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas bagi mereka)[13]
Menurut Neong Muhajir, secara ontology pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logic, etik, transendental)[14]. Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan manafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran subtansinya[15]

D.    Kesimpulan

Fenomenologi tidak pernah terbakukan secara tegas. Oleh karena itu kita mesti memulai dengan kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologis terhadap agama.
Peristiwa Perang Dunia I mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk terlibat dalm studi agama-agama. Ada kebutuhan yang dirasa begitu kuat untuk menemukan pendekatan yang membolehkan ekspresi otentik agama-agama “lain” untuk adalah penilaian objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia.
Ada gerakan Kontinental dalam filsafat dengan nama yang sama, fenomenologi agama berusaha diterapkan pada manifestasi-manifestasi agama dalam semua budaya melalui metode deskripsi murni dimana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran data agama yang diselidiki secara sengaja ditangguhkan (epoche). Objek berusaha menangkap esensi (eidetic vision) yang terletak dibelakang fenomena keagamaan. Studi fenomenologi lebih setuju.  Fenomenologi agama adalah aspek pengamalan keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan obyek yang diteliti.











[1] Richard C. Martin (ed.), Pendekatan Terhadap Islam dalam Studi Agama, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2010), hlm. 8.
[2] Tim penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2005),hlm.315
[3] Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 140.
[4] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 110.

[5] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Cet. I, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 110.
[6] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis…, hlm. 111.
[7] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, ...hlm. 111.
[8] John Macquarrie, Existentialism (New York: Penguin Books, 1977), hlm. 24.
[9] Federick Elliston, “Phenomenology Reinterpreted: from Husserl to Heideger” dalam Philosophy Today, Vol. xxi, No. 3/4, 1977, hlm. 279.

[10] Peter Connolly, Aneka Pendekatan..., hlm. 114-115.
[11] Richard C. Martin (ed.), Pendekatan ..., hlm. 6-8.
[12] http//www. Wikipedia. Org/phonemonology of relion, dikutip, 31 Maret 2017
[13] James L. Cox, Expressing the Sacred: An introduction to the phenomenology of religion (Harar: Univerrsity of Zimbabwe, 1992), hlm. 24
[14] Neong Muhajir, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake sarasin,1989), hlm. 19
[15] Neong Muhajir, Metodelogi,,,. hlm183-185
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

About us