Kata Kunci: Pendidikan Agama Islam, Multikultural,
Inklusif, Toleran Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis
Multikultural di Sekolah
Pelajaran teologi di sekolah cenderung diajarkan
sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa
dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah
yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di
era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan reorientasi
filosofis-paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan
peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis,
dialogis-persuasif, kontekstual, substantif dan aktif sosial.
Pendahuluan
Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari
fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak
di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji
eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda
perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua,
maupun Poso, dan terakhir kasus kekerasan pada jamaah aliran Syiah di Sampang
Madura seperti api dalam sekam, sewaktuwaktu bisa meledak, walaupun
berkali-kali bisa diredam. Peristiwa tersebut, bukan saja telah banyak
merenggut korban jiwa, tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah
(baik masjid maupun gereja bahkan sebuah pondok pesantren).
Bila kita amati, nilai etis universal dari agama
seharusnya dapat menjadi pendorong bagi ummat manusia untuk selalu menegakkan
perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh ummat di bumi ini.
Namun, realitanya agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan
dan kehancuran ummat manusia. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif
agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang akan
datang. Misalnya, dengan mengintensifkan forum-forum dialog antar ummat
beragama dan aliran kepercayaan, membangun pemahaman keagamaan yang lebih
pluralis dan inklusif, dan memberikan pendidikan tentang pluralisme dan
toleransi beragama melalui sekolah (lembaga pendidikan).
Pada sisi yang lain, pendidikan agama yang diberikan
di sekolah-sekolah pada umumnya juga tidak menghidupkan pendidikan
multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan. Akibatnya konflik sosial
sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam
pendidikan agama di sekolah-sekolah pada daerah yang rawan konflik. Hal ini membuat
konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga
konflik sosial kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian
dari panggilan agamanya.
Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama
baik di sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak eksklusif, yaitu agama
diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya
agamanya sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain
salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun
minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk
mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus
mengembangkan teologi inklusif dan pluralis.1 Berkaitan dengan hal ini, maka
penting bagi institusi pendidikan dalam masyarakat yang multikultur untuk mengajarkan
perdamaian dan resolusi konflik seperti yang ada dalam pendidikan
multikultural. Dan terlebih lagi bagi Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu
mata pelajaran yang dituntut mampu membawa kata perdamaian dalam setiap jiwa
peserta didik.
Memahami
Pendidikan Multikultural
Akar pendidikan multikultural, berasal dari
perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall
(18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting
latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan
agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang
peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.2
Selanjutnya isu tentang multikultural ini menjadi pembicaraan dalam ranah pendidikan
formal pada tahun 1990.
Secara
etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran,
pelatihan, proses dan cara mendidik. Multikultural diartikan sebagai keragaman
kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan
secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai
konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama).6 Pengertian
seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena
pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat.
Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya
menyebar luas ke kawasan di luar Amerika Serikat (AS) khususnya di
negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya
seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman
kebudayaan dalam perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat
tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.
Hal ini
sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara
gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan
menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan
berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial
sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan
multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan
keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap
kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa
tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya,
strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Bank, salah seorang pioner dari
pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan multikultural
menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan bahwa substansi pendidikan
multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan
inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama.
Mengenai
fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program
pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan sematamata kepada kelompok
rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah
menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan
pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas
terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan
orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat
mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan
mau mengerti, atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang
dari kelompok minoritas.
Melihat dan
memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa
pemahaman, antara lain; pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah
proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau
sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal
batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi
sesama manusia.
Kedua,
pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi,
potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan
budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur
kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan
terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi
politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan
heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika
berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya
dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman
pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan
sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk
mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian,
upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan napas dan nilai pendidikan
multikultural.
Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung
tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan
seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab
dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah
melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi
dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan
kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan
manusia” oleh sebuah kelompok.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat
masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap
“indiference” dan “Non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan
struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup
subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan
mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies” untuk kemudian
menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk
mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan
disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan
multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan
egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia
senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap
sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak
bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya
terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan.13
Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural
diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi
(pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global.
Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat
ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak
dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif
sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan
secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana
mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
Urgensi
Pendidikan Multikultural di Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan di
Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama dan pendidikan nasional.
Pendidikan yang ada sekarang ini cenderung menggunakan metode kajian yang
bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan pendidikan
nasional. Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat
normatif, establish, dan jauh dari realitas kehidupan.
Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada
akal atau inteligensi. Oleh karena itu, sangat sulit menemukan sebuah konsep
pendidikan yang benarbenar komprehensif dan integral.
Salah satu faktor munculnya permasalahan itu adalah
adanya pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan
pandangan terhadap manusia menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam
dalam dataran teoritis, dan lebih tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena
tersebut, menjadi semakin nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan
memiliki sikap fanatisme yang sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa
paradigmanya yang paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga harus
diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila
pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya,
maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual
(teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas),
estetis dan fisik. Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak
menekankan pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi
standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang
utuh.15 Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik
seperti yang akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis,
ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan
pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada
semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan
kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan pertimbangan sebagai
berikut: Pertama, Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak
bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah suka gotong royong,
membantu, menghargai antara suku dan lainnya. Kedua, Pendidikan multikultural
memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang
terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi,
nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan
etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan
antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah
model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan
kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata.
Padahal kedua
ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari ideologi
dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik
berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris. Sementara menurut
pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi
nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun aspeknya dalam
masyarakat.
Ketiga, Pendidikan multikultural menentang
pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa
Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan
pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut
kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner dalam Muhajir
menemukan bahwa kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah
kecerdasan verbal linguistik, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang
terkait dengan spasial ruang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam
bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan
interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang
dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
Keempat, Pendidikan multikultural sebagai resistensi
fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran
perdamaian sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, pendidikan multikultural
sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap
demokratis, humanis, dan pluralis di lingkungan mereka.
Membangun
Keberagamaan Inklusif di Sekolah
Di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan
agama sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan
peserta didik keluar dari eksklusifitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim-non
muslim, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu
diindoktrinasi.
Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat
keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran
berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan
agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini,
pendidikan agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang
bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis,
multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual, substantif dan aktif
sosial.
Paradigma
keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pandapat dan pemahaman
lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang
multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung
nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis adalah mengakui
pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama, artinya seorang yang
beragama harus dapat mengimplementasikan nilainilai kemanusiaan; menghormati
hak asasi orang lain, peduli terhadap orang lain dan berusaha membangun
perdamaian bagi seluruh umat manusia.
Paradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan
dialog dan caracara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan pemahaman
keagamaan dari pada melakukan tindakan-tindakan fisik seperti teror, perang,
dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara
berfikir kritis dalam memahami teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang
substantif berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nialai agama dari
pada hanya melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Sedangkan
paradigma pemahaman keagamaan aktif sosial berarti agama tidak hanya menjadi
alat pemenuhan kebutuhan rohani secara pribadi saja. Akan tetapi yang
terpenting adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia
melalui aksiaksi sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat
manusia.
Dengan
membangun paradigma pemahaman keberagamaan yang lebih humanis, pluralis, dan
kontekstual diharapkan nilai-nilai universal yang ada dalam agama sepeti
kebenaran, keadilan, kemanusiaaan, perdamaian dan kesejahteraan umat manusia
dapat ditegakkan. Lebih khusus lagi, agar kerukunan dan kedamaian antar umat
bergama dapat terbangun.
Peran
Guru dan Sekolah dalam Membangun Keberagamaan Inklusif
Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama, seorang
guru harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya
tidak diskriminatif. Kedua, guru seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi
terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama.
Misalnya, ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan
multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa
tersebut.
Ketiga, guru seharusnya menjelaskan bahwa inti dari
ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat
manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah
sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru mampu memberikan pemahaman
tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama (aliran),
misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran Jamaah Ahmadiyah di Lombok-NTB dan
kekerasan pada jamaah Syiah di Sampang Madura baru-baru ini tidak perlu
terjadi, jika wacana inklusivisme beragama ditanamkan pada semua elemen
masyarakat termasuk peserta didik.
Selain guru, sekolah juga memegang peranan penting
dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain; pertama, untuk membangun rasa
saling pengertian sejak dini antara siswa-siswa yang mempunyai keyakinan
berbeda maka sekolah harus berperan aktif menggalakkan dialog antariman dengan
bimbingan guru-guru dalam sekolah tersebut. Dialog antariman semacam ini
merupakan salah satu upaya yang efektif agar siswa terbiasa melakukan dialog
dengan penganut agama yang berbeda; kedua, hal yang paling penting dalam
penerapan pendidikan multikultural yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang
dipakai, dan diterapkan di sekolah.
Pengembangan
Materi Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural
Dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di
sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan
dengan nuansa multikultural, antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan
ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan
ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika
berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah
tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu 1) Materi yang
berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba
dalam kebaikan (Q.S. Al-Baqarah [2]: 148). 2) Materi yang berhubungan dengan
pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (Q.S.
Al-Mumtahanah [60]: 8-9). 3) Materi yang berhubungan dengan keadilan dan
persamaan (Q.S. An-Nisa [4]: 135).
Kedua, materi fikih, bisa diperluas dengan kajian
fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung
konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman, Nabi, Sahabat
ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi
Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis,
multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak
jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan
multi-agama.
Ketiga, materi akhlak yang memfokuskan kajiannya
pada prilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri,
serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab,
kelanggengan suatu bangsa tergantung pada Akhlak, bila suatu bangsa meremehkan
akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam Al-Qur’an telah diceritakan tentang
kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar pendidikan
agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang
sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif,
tidak monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi
keteladanan.
Keempat, materi SKI, materi yang bersumber pada
fakta dan realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial
yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi
historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan
fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleranasi.
Agar pemahaman pluralisme dan toleransi dapat
tertanam dengan baik pada peserta didik, maka perlu ditambahkan uraian tentang
proses pembangunan masyarakat Madinah dalam materi “Keadaan Masyarakat Madinah
Sesudah Hijrah”, dalam hal ini dapat ditelusuri dari Piagam Madinah. Sebagai
salah satu produk sejarah umat Islam, Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi
Muhammad berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan,
penegakan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan
terhadap kelompok minoritas. Beberapa ahli tentang sejarah Islam menyebut
Piagam Madinah sebagai loncatan sejarah yang luar biasa.
Bila kita cermati, bunyi naskah konstitusi itu
sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern
pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah pertama kalinya dirumuskan ide-ide
yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama,
hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya,
kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan dan lain-lain.
Menurut Nurcholish Madjid, toleransi merupakan
persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi
menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok
yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau
“manfaat” dari pelaksanaan suatu ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu
adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer adalah ajaran yang benar itu
sendiri. Sebagai sesuatu yang primer, toleransi harus dilaksanakan dan
diwujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu –untuk diri
sendiri- pelaksanaan toleransi secara konsekwen itu mungkin tidak menghasilkan
sesuatu yang “enak”.
Materi-materi
yang bersumber pada pesan agama dan fakta yang terjadi di lingkungan sebagai
diuraikan di atas merupakan kisi-kisi minimal dalam rangka memberikan pemahaman
terhadap keragaman umat manusia dan untuk memunculkan sikap positif dalam
berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam proses pendidikan,
materi itu disesuaikan dengan tingkatan dan jenjang pendidikan. Maksudnya,
sumber bacaan dan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkat intelektual
peserta didik di masing-masning tingkat pendidikan. Untuk tingkat pendidikan
lanjutan, materi dipilih dengan menyajikan fakta-fakta historis dan pesan-pesan
al-Qur’an yang lebih konkrit serta memberikan perbandingan dan perenungan atas
realitas yang sedang terjadi di masyarakat saat ini.
Simpulan
Pendidikan multikultural kian mendesak untuk dilaksanakan
di sekolah. dengan pendidikan multikultural, sekolah menjadi lahan untuk
menghapus prasangka, dan sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa
agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis. Ada dua hal yang perlu
dilakukan dalam pembangunan pendidikan multikultural di sekolah, yaitu;
pertama, melakukan dialog dengan menempatkan setiap peradaban dan kebudayaan
yang ada pada posisi sejajar. Kedua, mengembangkan toleransi untuk memberikan
kesempatan masing-masing kebudayaan saling memahami. Toleransi disini tidak
hanya pada tataran konseptual, melainkan juga pada teknik operasionalnya.
Rujukan
Achmad, Nur ed. Pluralitas Agama Kerukunan Dalam
Keragaman. Jakarta: PT. Gramedia, 2001.
La Belle, Thomas J & Christoper R. Ward, Multiculturalism
and Education: Diversity and Its Impact on Schools and Society. United States:
State of University of New York press, 1994.
Maksum, Ali, Pluralisme dan Multikulturalisme
Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media,
2011.
Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Madjid, Nurcholish, Masyarakat Madani dan Investasi
Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan. Republika, 10 Agustus 1999.
Masngud, Pendidikan Multikultural: Pemikiran dan
Upaya Implementasinya. Yogyakarta: Idea Press, 2010.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari
Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi
Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
Muhajir, As`ari, Ilmu Pendidikan Perspektif
Kontekstual. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Nata, Abudin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan
Pendekatan Multidisipliner. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.
Nuryatno, M. Agus, Mazhab Pendidikan Kritis:
Menyikap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book,
2008.
Nursisto, Membumikan Pembelajaran Agama Islam.
Yogyakarta: AdiCita, 2008.
Prasetyo, Eko, Orang Miskin Dilarang Sekolah.
Yogyakarta: Resist Book, 2011.
Sadir, Darwis, “Piagam Madinah”. Al-Qanun: Jurnal
Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, Vol. 5, No. 1, Juni 2003.
0 komentar:
Post a Comment