BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam
merupakan agama sempurna dan lengkap (kaffah), bukanlah semata-mata
agama yang hanya menyangkut persoalan hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan
mencakup pengaturan semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan bersosial dan
bernegara (politik).[1]
Ciri
khas yang menonjol dalam interaksi terletak pada pandangan bahwa Islam adalah
keyakinan akan kemahakuasaan Allah SWT (penyerahan diri). Islam merupakan ajaran
yang menyeluruh, mengatur segala aspek kehidupan secara terpadu. Islam
mempunyai hubungan yang terpadu dengan politik, sosial, ekonomi, hukum,
pendidikan, keluarga dalam masyarakat.
Islam
adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara dan
politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat, baik dalam maupun
luar negri. Pelaksana praktisnya adalah daulah (negara), sedangkan umat
melqkaukan muhasabah (kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah
(khalifah).[2]
Dalam
tradisi pemikiran Islam klasik dan pertengahan, hubungan agama dan negara
merupakan sesuatu yang saling melengkapi, sehingga keduanya tidak dapat
dipisahkan. Agama membutuhkan negara, demikian juga sebaliknya. Al-Mawardi
mengatakan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam didirikan untuk melanjutkan
tugas-tugas kenabian dalam memlihara agama dan mengelola kebutuhan duniawi
masyarakat.
Para
teoretisi politik Islam selalu mengaitkan kepentingan terhadap negara dengan
kenyataan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya sendirian.[3]
Sebagaimana ungkapan Aristoteles bahwa, manusia merupakan ‘Zone Politicon’
makhluk sosial yang membutuhkan orang lain (lingkup sosial kemasyarakatan dan
bernegara).
Dalam upaya mewujudkan tatanan politik negara
yang lebih tertib, aman, damai, harmonis, dan sejahtera, yaitu keadaan
masyarakat yang terbebas dari permusuhan antara satu bangsa dengan bangsa lain,
tidak terlepas dari peran seorang pemimpin sebuah negara. Karena itu, pemimpin
dituntut mampu mengerti politik, dan tau cara menjalankannya.[4]
Kata ‘politik’ yang sekarang ini tetap hangat
di telinga karena hampir segenap masyarakat familiar dengan kata tersebut,
namun tidak semuanya mengerti apa itu politik. Oleh karena itu, makalah ini
hadir sebagai pijakan nalar dan sumbangsih pengetahuan, yang berisikan tentang
pengertian politik, dan teori-teori politik menurut pemikir muslim, karena
dalam hal ini kaitannya dengan studi kesialaman.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian politik?
2. Bagaimana
teori-teori politik oleh pemikir Muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Politik
Politik secara etimologi dalam bahasa
Arab disebut Siyasah, yang selanjutnya kata ini kemudian
diterjemahkan menjadi siasat. atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Politics.
Politik berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan sehari-hari kita
seakan-akan mengartikan sebagi suatu cara yang dipakai untuk
mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit
memberikan definisi untuk ilmu politik.[5]
Adapun asal usul kata ‘politik’, berasal dari
bahasa Yunani ‘politikos’ atau dalam bahasa latin ‘politica’. Pemakaian kata
itu pertama kali pada abad ke 5 S.M. (sebelum Masehi), yang asal katanya
‘polis’, berarti negara atau kota.
Filosof-filosof Yunani mulailah mempergunakan
perkataan itu di dalam karangan-karangan yang mereka tinggalkan. Misalnya Plato
(427-347 S.M.) meninggalkan naskah ‘Politica’. Naskah-naskah inilah yang
dianggap oleh para sarjana Barat sebagai buku pertama yang merintis jalan ilmu
pengetahuan politik.
Secara terminologi, banyak tokoh yang
memberikan definisi tentang politik dan siyasah, kendati sukar memberikan
batasan ilmu politik dengan ilmu kemasyarakatan lainnya, antara lain:[6]
Ø Bangsa Yunani purbakala beranggapan bahwa
politik ialah kecakapan bernegara (politike techne).
Ø Colten Stuart memandang politik ialah
kepandaian memegang pemerintahan negara (de kunst om de staat te besturen).
Ø J. Kramer menegaskan, bahwa politik ialah pengetahuan
yang menyelidiki tentang kewajiban dan tujuan memerintah, serta mencari jalan
yang sebaik-baiknya untuk memenuhi dan mencapai tujuan itu.
Ø Muhammad Rusjdi mendefinisikan siyasah ialah
ilmu pengetahuan tentang jabatan-jabatan dalam negara dan tentang pimpinan atas
masyarakat yang meliputi urusannya.
Ø Syeikh Moh. Bakhiet, siyasah adalah
peraturan-peraturan yang dibuat untuk memelihara kepentingan-kepentingan umum
dan menetapkan dasar-dasar keamanan.
Ø Abdur Rahman Kawakibi, siyasah ialah
menyelesaikan soal-soal masyarakat dengan segala kebijakan.
Ø Abul Baqai, siyasah adalahmemberikan perbaikan
kepada rakyat dengan jalan memimpin mereka kepada jalan kemenangan dan
keberuntungan di dunia dan akhirat.
Ø Moh. Kurdi Ali, siyasah ilmu memerintah. Dia
harus dipegang oleh para ahli yang betul-betul menguasai dasar-dasar
pengetahuan dan peraturan-peraturan dalam negara.
Ø Ramlan Surbakti, politik adalah interaksi
antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang engikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal di
suatu wilayah tertentu.[7]
Pandangan Umum Politik dalam Islam
Menyinggung tentang politik dalam Islam, tentu merujuk pada suatu partikularistik
kajian politik dalam kerangka nilai-nilai Islam normatif. Dalam konteks ideal,
dalam upaya mewujudkan karakter moral tertinggi dalam bernegara (kebijakan umum
untuk kebijakan bersama). Dalam hal ini, Alferd Stefan misalnya, menekankan
bahwa kebijakan umum dengan keharusan moral tertinggi yang dibebankan kepada
negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat membuka kesempatan bagi
negara untuk merumuskan, dan atas inisiatif sendiri, memaksa perubahan besar
pada sebuah masyarakat yang lebih baik. Dalam kerangka itu, politik dalam
konteks tersebuh membutuhkan nilai-nilai normatif. Oleh karena itu, dinamakan
politik Islam karena merujuk pada politik dengan memaknai nilai-nilai normatif
Islam.
Definisi politik dari sudut pandang Islam
adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat berdasarkan hukum-hukum
Islam. Pelakunya bisa negara, kelompok, ataupun individu. Jadi, esensi politik
dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan
pada hukum Islam. Berbeda dengan pandangan Barat, politik diartikan sebagai
pengaturan kekuasaan, bahkan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya
yang terjadi hanyalah kekecauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi
rakyat. Hal ini senada dengan pendapat Loewenstein, “Politic is nicht anderes
als der kamps um die macht” (politik merupakan perjungan kekuasaan).[8]
B. Teori-Teori Politik Pemikir Muslim
Sejarah
Islam yang sudah berjalan sepanjang 15 abad, menurut para ahli, dapat dibagi
menjadi 3 periode, yaitu periode klasik (hingga tahun 1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), periode
modern (1800-sekarang). Perkembangan pemikiran politik Islam juga dapat dibagi
berdasarkan periodisasi sejarah tersebut.
Ciri
umum pemikiran politik pada abad klasik yang ditandai oleh pandangan mereka
yang bersifat khalifah sentries. Kepala
negara atau khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat
luas. Rakyat dituntut untuk mematuhi kepala negara, bahkan di kalangan sebagian
pemikir Sunni terkadang sangat berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar
legitimasi keistimewaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Qur’an dan Hadis
Nabi SAW. Beberapa tokoh pemikir Islam pada masa klasik dan pertengahan yaitu
Al-Farabi, Al-Mawardi, Al-Ghozali dan Ibnu Taimiyah.
1.
Al-Farabi
Nama Lengkapnya yaitu Abu Nasr Muhammad ibn
Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh, Beliau lahir di Utrar[9] pada 257 H/870 M. dan
meninggal di Damaskus pada 339 H/950M dalam usia 80 Th. Di Eropa ia lebih
dikenal dengan nama Alpharabius.
Al-Farabi adalah seorang filsuf yang paling
banyak membicarakan masalah kemasyarakatan, walaupun ia bukan orang yang
berkecimpung langsung dalam urusan kemasyarakatan. Ia menyatakan bahwa manusia
merupakan makhluk social yang mempunyai kecenderungan alami dalam
bermasyarakat. Karena tujuan hidup dalam bermasyarakat adalah untuk
menghasilkan kebahagiaan hidup, bukan sekedar materiil tetapi juga kebahagiaan
spiritual. Pendapat Al-Farabi ini memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya
sebagai seorang Islam disamping pengaruh aristoteles maupun plato yang
mengaitkan politik dengan moral, akhlak maupun budi pekerti. Masalah kemasyarakatan
banyak dibicarakan dalam karya-karyanya antara lain : al-Siyasah al-Madani dan Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah.
Pemikiran politiknya banyak dilatar belakangi
oleh situasi dan kondisi waktu itu. Kekuasaan dinasti Abbasiyah diguncang oleh
berbagai gejolak pertentangan dan
pemberontakan. Ia lahir pada masa khalifah Mu’tamid dan meninggal pada masa
khalifah Mu’ti. Ketika itu banyak pemberontakan terhadap Daulah Abbasiyah
dengan berbagai macam motif pemberontakan.
Pemikiran Al-Farabi tak lepas dari filsuf
Plato yang berpendapat dalam kemasyarakatan, namun Al-Farabi disini menggunakan
Agama Islam dalam memahami lebih jauh tentang kemasyarakatan. Al-Farabi
menyatakan, sebagaimana dinyatakan oleh Plato, bahwa suatu negeri itu mempunyai
suatu ikatan yang erat satu sama lain. Seperti halnya tubuh, jika ada satu
bagian tubuh yang merasakan sakit, maka bagian tubuh lain juga ikut
merasakannya. Dan kepala memiliki peranan penting dalam badan, karena kepala
yang membawa badan tersebut bergerak. Disini al-Farabi sependapat dengan Plato
dalam masalah negara ideal, bahwa negara ideal dapat tercipta berdasar
keadilan. Keadilan tersebut dapat tercapai apabila setiap warga negara
mengerjakan pekerjaan sendiri. Disini warga negara terbagi menjadi tiga
golongan. Golongan atas, menengah dan bawah. Golongan atas yaitu orang-orang
sebagai aparatur negara, golongan menengah yaitu golongan yang mengatur
perekonomian negara atau pengusaha-pengusaha, dan golongan terakhir yaitu
bawah, yang terdiri dari petani, pekerja, guru dan lain sebagainya.
Ia kemudian membuat kulifikasi ideal untuk seorang
pemimpin seperti : 1) kecerdasan, 2) ingatan yang baik, 3) pikiran yang tajam,
4) cinta pada pengetahuan, 5) sikap zuhud kepada harta dan semua hiasan dunia,
6) cinta pada kejujuran, 7) murah hati, 8) cinta keadilan, 9) ketegaran dan
keberanian, 10) sehat jasmani, dan, 11) fasih berbicara.
2.
Al-Mawardi
Al Mawardi lahir di Basrah ( Sekarang Irak)
pada 972 M, bernama lengkap Abu al hasan Ali bin Habib al Mawardi. Masa
Pembelajaran yang sangat penting ia dapatkan ketika belajar ilmu hukum dari
Abul Qasim Abdul Wahid as Salmari yakni seorang ahli hukum mazhab Syafi’I yang
terkenal. Setelah itu ia pun melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan
kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfraini, maka
tidak heran bila al Mawardi bisa menjadi seorang ahli tafsir, hadist dan fiqih,
filsafat, etika dan sastra, serta politik. Inilah yang melatar belakangi al
Mawardi untuk menggabungkan semuanya tersebut dalam pemikiran politik islam. Ia
pun wafat pada 1058 M dalam usia 83 tahun tetapi karya-karyanya akan selalu
diingat dan dikenang salah satunya yang paling terkenal adalah Adab al-Duniya wa al-Din (Tatakrama
Duniawi dan Agamawi).
Pemikiran Politik Islam yang diungkapkan oleh
al Mawardi merupakan penggabungan dari ilmu-ilmu yang ia dapat sebelumnya serta
digabungkan dengan ajaran dalam agama islam. Kontribusi atau yang paling
penting dari pemikiran al-Mawardi yang berbeda dengan pemikiran barat pada
umumnya yaitu beliau meletakan islam sebagai fondasi utama dalam membangun
masyarakat artinya disini dalam komposisi politiknya al-Mawardi memberikan
porsi yang sangat besar sebagai dasar dalam membangun masyarakat yang lebih
baik lagi. al-Mawardi meletakan islam sebagai fondasi utamanya tidak lain
karena di dalam islam terdapat semua jawaban dari semua masalah yang ada. Salah
satu bukunya yang paling terkenal, termasuk di Indonesia adalah Adab al-Duniya wa al-Din (Tata Krama Kehidupan Duniawi
dan Agamawi).
Selain itu, karya-karyanya
dalam bidang politik adalah Al-Ahkamu
As-Sulthaniyah (Peraturan-peraturan
Kerjaan/pemerintahan), Siyasatu
Al-Wazarati wa Siyasatu Al-Maliki (Ketentuan-ketentuan
Kewaziran, Politik Raja), Tashilu
An-Nadzari wa Ta’jilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasati Al-Maliki, Siyasatu Al-Maliki, Nashihatu Al-Muluk.
Menurut
Al-Mawardi, Imamah dilembagakan untuk menggantikan kenabiam (nubuwwah) dalam
rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Al-Mawardi berpendapat
bahwa pemilihan kepala negara harus memenuhi dua unsure yaitu, ahl al-ikhtiyar
atau orang yang berwenang untuk memilih kepala negara dan ahl-Imamah atau orang
yang berhak menduduki jabatan kepala negara.
Dan menurut al-Mawardi sebagai kepala negara harus memiliki 10 kriteria,
yaitu :
a.
Melindungi/menjaga
keutuhan agama.
b.
Menerapkan
hukum pada para pihak yang berperkara (masalah perdata).
c.
Melindungi
wilayah negara dan tempat suci.
d.
Menegakkan
supremasi hukum (hudud) (masalah pidana).
e.
Melindungi
daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh.
f.
Memerangi
para penentang Islam, setelah mereka didakwahi & masuk Islam atau dalam
perlindungan kaum muslimin (ahlu dzimmah).
g.
Mengambil fai’ (harta yang diperoleh kaum muslimin
tanpa peperangan) dan sedekah sesuai dengan kewajiban syariat.
h.
Menentukan
gaji, dan apa saja yang diperlukan dalam kas negara tanpa berlebihan.
i.
Mengangkat
orang-orang terlatih dalam tugas-tugas kenegaraan (mis: orang jujur yang
mengurusi keuangan, dsb).
j.
Terjun
langsung untuk menangani berbagai persoalan dan menginspeksi keadaan
3.
Al-Ghozali
Al-Ghozali,
yang nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali, lahir
di Ghazaleh, sebuah negeri dekat Thus, Khurasan, 1059 M/450 H dan meninggal di
kota yang sama pada 1111 M/ 501 H.
Pemikiran Al-Ghazali sependapat dengan Al-Mawardi bahwa
mendirikan imamah adalah wajib. Al-Ghazali juga sependapat dengan Al-Mawardi
dalam hal bentuk kepemerintahan, kewajiban mendirikan suatu kepemerintahan dan
mengangkat imam yang berfungsi sebagai mengurus agama dan kepemerintahan.
Bahwasanya mendirikan negara bukanlah berdasar pada rasio semata, melainkan
berdasarkan kewajiban negara. Menurut Al-Ghazali, manusia adalah makhluk social
yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, maka diperlukan bermasyarakat dan
bernegara. Al-Ghazali juga berpendapat
bahwa negara dan agama bagaikan dua sisi
mata koin yang keduanya tidak dapat dipisahkan, bahkan berpolitik menempati
posisi yang sangat penting bahkan strategis dalam Islam, yang
hanya berada setingkat dibawah kenabian.
Menurutnya seorang kepala negara mempunyai tugas
suci atau kudus yang berasal dari Tuhan. Selain itu, Al-Ghazali juga
berpendapat bahwa penguasa adalah baying-bayang Tuhan di muka bumi. Karena
penguasa menurut Al-Ghazali dipilih oleh Tuhan, maka gagasan Al-Ghozali
terhadap politik yaitu Teokrasi. Dengan demikian berbeda dengan Al-Mawardi yang
mengembangkan gagasan kontrak social dalam teori ahl-imamah dan ahl
ikhtiyar dan membuka adanya pemakzulan imam.
Syarat-syarat kepala negara menurut Al-Ghazali
yaitu, dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, sehat
jasmani dan rohani, kekuasaan yang nyata, memperoleh hidayah, berilmu
pengetahuan, serta wara’.
Dari pernyataan di atas dapat dilihat
bahwasanya AL-Ghazali sangatlah diwarnai oleh sikap kepemihakan terhadap
kekuasaan. Al-Ghozali tidak berani
berseberangan dengan kekuasaan, karena ia sendiri mendapat patronasi dari
penguasa.[10]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan:
1.
Politik merupakan alat
untuk menggapai suatu kebijaksanaan dalam mengurus sesuatu (konteks kenegaraan).
Karena politik menuntut kehebatan pemimpin negara dengan semangat kecintaan
yang tulus kepada rakyatnya, diimbangi dengan kepatuhan rakyat kepadanya karena
sadar akan kepentingan rakyat itu, dan harus siap senantiasa untuk memikul
segala konsekuensi segala tanggungjawabnya.
2.
Dari pemikir-pemikir Islam
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mereka mempunyai kemiripan pemikiran
dalam memahami politik Islam, mulai dari membentuk negara yang ideal, memilih
kepala negara yang adil dan bijaksana dan sebagainya. Seperti Al-Farabi yang
pemikirannya tak lepas dari seorang filsuf Plato tentang negara ideal,
Al-Mawardi yang menggunakan Teori Kotrak Sosial dalam memilih kepala Negara,
dan Al-Ghozali yang menggunakan Teori Teokrasi dalam politik Islam.
- Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini terdapat banyak
kekurangan. Kritik konstruktif dan saran progresif mutlak kami butuhkan.
Kendati demikian, semoga tetap terselip nilai manfaat bagi para pembaca.
Aamiin.
[1]Muhammad
Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta:
PT RajaGrafindo, 1997), hal. 14.
[2]Muslim
Mufti, Politik Islam Sejarah dan Pemikiran, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2015), hal. 15.
[3]Sukron
Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik Agama dan Negara, Demokrasi, Civil
Society, Syari’ah dan HAM, Fundamentalisme,& Antikorupsi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), hal. 4.
[5]Inu Kencana Syafiie,Pengantar
Ilmu Politik, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2009) cet. I, hlm.57.
[6]Zainal
Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal.
46-51.
[7]Ramlan
Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana
Indonesia, 1999), hal. 1.
[8]Muslim
Mufti, Politik Islam Sejarah dan Pemikiran, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2015), hal. 20-21.
[9]Kota ini
dahulu bernama Wasij, dan sekarang Utrar, termasuk wilayah Iran, namun
belakangan menjadi bagian dari republic Uzbekiztan, lihat : Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution,
Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik
Hingga Indosnesia Kontemporer, hal. 15.
[10]Muhammad
Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran
Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indosnesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana Predana Media
Group, 2010), hal. 1-30.
0 komentar:
Post a Comment