MU’TAZILAH :
KEKUASAAN DAN KEADILAN TUHAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah: Teologi
Islam dan Tasawuf
Dosen Pengampu: Dr.
Nasihun Amin, M. Ag.
![Description: C:\Users\Rohimah\Pictures\Logo_uin_walisongo.png](file:///C:/Users/odie/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.png)
Oleh:
Alfian Suhendarsyah (1600118046)
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
Pendahuluan
Agama
dan kepercayaan (Kepada Tuhan YME) merupakan dua kata yang memiliki wilayah
makna yang sangat sulit dibedakan satu sama lain secara “jelas dan terpisah”.
Secara teologis keduanya berkaitan dengan persoalan apa yang yang terkait
dengan akhir dari kehidupan. Kedua istilah tersebut sama-sama mempersoalkan
substansi berkaitan dengan sistem kepercayaan , ritual, pengalaman religius,
serta relasinya dengan aspek kehidupan lainnya. Karena itulah , istilah agama
dan kepercayaan sulit ditakrifkan secara definitif.[1]
Problematika
ketuhanan merupakan persoalan metafisika yang paling kompleks dan tua. Pada
mulanya, orang-orang memecahkanya secara wajar, yang kemudian mulai
diperdebatkan dan difilsafatkan. Asasnya adalah ide ketuhanan yakni, pemikiran
kelas tinggi dikarenakan obyek pembahasannya dan dianggap sebagai sebongkah
pemikiran paling tinggi yang pernah dicapai oleh manusia.[2]
Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi
Islam mengenai soal kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang
berpendapat bahwa akal mempunyai daya besar dan manusia bebas dalam berkehendak
atas perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi bersifat mutlak.[3]
Orang-orang
mu’tazilah adalah pendiri bagi ilmu kalam (teologi Islam). Mereka telah
membahas sebagian dari problematika ini sejak abad ke 2 hijriyah. Mereka
memberikan pemecahan persoalan-persoalan mulai dari moral, politik, fisika dan
metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran filsafat yang berkonsentrasi
membahas masalah Tuhan, alam dan manusia. Yang merupakan filsafat islam itu.
Aliran ini
selama dua atau tiga abad, melahirkan sejumlah tokoh. Mereka hidup sezaman dan
saling bergaul, bahkan saling bersaing dalam melakukan penelitian bebas,
merdeka, sehingga seorang teman bebas mengkritik bebas temannya. Murid menguji
teori teori gurunya. Dalam beragumentasi ini, terdapat kelebihan sekaligus
kelemahan mereka. Mereka membuat banyak sekali karya-karya yang hebat.[4] Di
sini kami akan membahas tentang pemikiran kaum mu’tazilah tentang ketuhanan.
Rumusan Masalah
Bagaimana Keadilan dan Kekuasaan
Tuhan Menurut Mu’tazilah?
Pembahasan
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
khawarij dan murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga
mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.[5]
Pandangan
pada kelompok rasional mu’tazilah adalah mengenai baik dan buruk, kewajiban dan
keadilan, tidak bisa terlepas dari akal dan wahyu yang merupakan basis etika
mereka. Bagi kaum mu’tazilah, akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui empat
masalah pokok yang menjadi persoalan teologi. Empat masalah tersebut ialah:
a.
Akal mampu mengetahui
Tuhan,
b.
Akal wajib mengetahui dan
berterimakasih kepada Tuhan,
c.
Akal mampu mengetahui baik
dan buruk,
d.
Akal mampu mengetahui
kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjahui yang buruk.
Pemberian akal yang besar ini bukan berarti kaum mu’tazilah menolak
kehadiran wahyu.bagi mereka wahyu tetaplah dibutuhkan oleh manusia untuk
memberikan informasi yang belum diketahui oleh akal, seperti surga, neraka,
pahala, dosa, shirat, mizan, hisab hari kiamat dan lain-lain. Sedangkan hal-hal
yang sudah diketahui oleh akal maka wahyu ini berfungsi sebagai konfirmasi. Hal
ini menunjukka kekhassan cara berfikir para mutakallimin y6ang menempatkan
wahyu sebagai pijakan meskipun dalam penggunaan akal berbeda-beda dalam
porsinya.[6]
Aliran mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasiah
(100H-237H) dan fase Bani Buwaihi (334H-447H). Generasi pertama mereka hidup di
bawah pemerintahan Bani Ummayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. Kemudian
memenuhi zaman awal Daulah Abbasiah dengan aktivitas , gerak teori, diskusi dan
pembelaan terhadap agama. Mu’tazilah sempat mengalami kemunduran salama satu
abad (237H-334H). Pada awalnya Mu’tazilah mengutamakan sikap netral atau tidak
mengikuti mahdzab dalam pendapat dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu
sebab mengapa mereka disebut sebagai kaum Mu’tazilah.
Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka meyakini
sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukum
berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka
berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh
yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang sangatlah mirip
dengan Descartes dari kalangan kaum
rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al-Qur’an dan Hadis),
tetapi tanpa ragu-ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal.
Aliran Mu’tazillah juga menyucikan kemerdekaan berfikir. Kemerdekaan
berfikir ini, mereka sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan-lawan maupun ke
dalam, antar sesama mereka sendiri. Mereka memperluas ruang gerak kajian di
kalangan mereka sendiri, di mana seorang murid berhak menentang pandangan
gurunya, bahkan seorang anak dapat menentang pendapat ayahnya sendiri.
Pembiasaan kemerdekaan berfikir ini mempunyai dampak juga yang dapat memecah
barisan Mu’tazilah sendiri, sehingga anak-anak dari suatu keluarga saling
menuduh kafir.[7]
Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terjadi pada aliran-aliran
teologi Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta
kekuatan manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham
tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa
akal mempunyai daya besar dan manusia bebas berkuasa atas kehendak dan
perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat
mutlak semutlak-mutlaknya.
Dalam pandangan kaum Mu’tazilah bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak
bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan Tuhan
telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah, dengan
diberikannya kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusnya
kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah
terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan tidak
bersifat adil bahkan zalim. Lebih lanjut lagi kekuasaan mutlak itu dibatasi
pula oleh natur atau hukum alam (sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan.
Al-Jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur
sendiri yang menimbulkan efek tertentu natur masing-masing. Lebih tegas lagi
al-Khayyat menerangkan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu, dan tak dapat
menghasilkan kecuali efek yang itu-itu juga, sebagai contohnya : api tak dapat
menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak menghasilkan apa-apa kecuali
dingin.
Dari penjelasan beberapa tokoh Mu’tazillah dapat ditarik kesimpulan
bahwa kaum Mu’tazillah percaya pada hukum alam atau sunnah Allah yang menganut
perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut paham determinisme. Dan
determinisme ini diartikan dengan tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan
yang juga tidak berubah-ubah. Semua uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam paham
Mu’tazilah kekuasaan mutlak Tuhan mempunyai batasan-batasan; dan Tuhan sendiri
tidak bersifat absolut seperti halnya raja yang menjatuhkan hukuman menurut
kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan, dalam paham ini lebih dekat menyerupai
keadaan raja konstitusional, yang kekuasaanya dan kehendaknya dibatasi oleh
konstitusi.[8]
Dalam paham keadilan Tuhan banyak bergantung pada paham kebebasan
manusia dan paham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan.
Kaum Mu’tazilah karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta
kebebasan manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud dari sudut rasio dan
kepentingan manusia. Memang dalam pandang Mu’tazilah semua makhluk Tuhan
diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemahaman Mu’tazilah terhadap
keadilan Tuhan yaitu tentang hak, yaitu diatikan sebagai memberi hak seseorang.
Kata-kata “Tuhan adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik,
bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk., dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan
kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat
berbuat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik
lantaran dosa orang tuanya, tidak dapat melettakan beban yang tak dapat dipikul
oleh manusia, dan selalu memberi upah terhadap orang yang patuh pada-Nya dan
memberi hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya.
Jelas kiranya, bahwa paham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mengandung
arti kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan bukanlah hanya
memberi upah terhadap manusia yang melaksanakan perintahnya dan menghukum yang
melanggar-Nya. Namun arti memenuhi kewajiban Tuhan dapat berarti yang lebih
luas yaitu, tidak membebani lebih kepada hamba-Nya, mengirimkan Rasul sebagai
penyampai risalah, memberi manusia daya utuk melaksanakan
kewajiban-kewajibanya. Semua ini merupakan kewajiban Tuhan terhadap manusia.
Keadilan menghendaki supaya Tuhan melaksanakan kewajiban-kewajiban itu.
Demikian pandangan kaum Mu’tazilah terhadap keadilan Tuhan.[9]
Kesimpulan
Mu’tazilah
adalah suatu kaum yang mengedepankan akal, bahwa akal adalah segalanya. Manusia
dalam pandangan Mu’tazilah mempunyai kebebasan dalam berfikir maupun bertindak,
dan Tuhan tidaklah mutlak sepenuhnya dalam memberi upah maupun menghakimi
manusia. Dalam paradigma yang selalu mengedepankan akal ini ada sisi-sisi yang
baik dan pasti ada akibat yang ditimbulkan, salah satunya dapat menjadi suatu
lonjakan ilmu pengetahuan namun dapat juga menjadi suatu pemecahan atau
mengkafirkan keluarga atau golongan sendiri karena perb edaan pendapat.
Dalam
masalah keadilan Mu’tazilah beranggapan bahwa Tuhan harus memenuhi
kewajiban-kewajiban salah satunya, memberi upah kepada yang menjalankan
perintahnya dan menghukum kepada yang menentang perintah-Nya. Tidak hanya
berhenti disitu namun Tuhan juga harus mengirim seorang rasul sebagai penyampai
kabar dan memberikan manusia daya untuk menenuaikan hak-haknya.
DAFTAR PUSTAKA
Madkour, Ibrahim, Aliran dan
Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2002
Muthohar, Ahmad, Perkembangan Pemikiran Islam, Upaya Membangun
Peradaban Islam ke Depan, Semarang: Karya Abadi jaya, 2015.
Nasution, Harun, Teologi Islam (Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta:
UI-PRESS, 1986.
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Sebuah Realita,
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005.
[1] Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Sebuah Realita, Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata, 2005. Hlm. 59-60
[2]
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2002, hlm. 21.
[3]
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI-PRESS, 1986. Hlm 118.
[4]
Ibrahim Madkour, Ibid., hlm. 45-46.
[5]
Harun Nasution, Ibid., hlm 40.
[6]
Ahmad Muthohar, Perkembangan Pemikiran Islam, Upaya Membangun Peradaban
Islam ke Depan, Semarang: Karya Abadi jaya, 2015. Hlm. 100-101.
[7]
Ibrahim Madkour, Ibid., hlm. 48-49.
[8]
Harun Nasution, Ibid., hlm. 118-121.
[9]
Harun Nasution, Ibid., hlm. 123-126.
0 komentar:
Post a Comment