mari belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, filsafat, teori-teori belajar dan lain sebagainya

Thursday, October 5, 2017

mu'tazilah : kekuasaan dan keadilan Tuhan

MU’TAZILAH : KEKUASAAN DAN KEADILAN TUHAN

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Teologi Islam dan Tasawuf
Dosen Pengampu: Dr. Nasihun Amin, M. Ag.


Description: C:\Users\Rohimah\Pictures\Logo_uin_walisongo.png


Oleh:
Alfian Suhendarsyah  (1600118046)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017




Pendahuluan
            Agama dan kepercayaan (Kepada Tuhan YME) merupakan dua kata yang memiliki wilayah makna yang sangat sulit dibedakan satu sama lain secara “jelas dan terpisah”. Secara teologis keduanya berkaitan dengan persoalan apa yang yang terkait dengan akhir dari kehidupan. Kedua istilah tersebut sama-sama mempersoalkan substansi berkaitan dengan sistem kepercayaan , ritual, pengalaman religius, serta relasinya dengan aspek kehidupan lainnya. Karena itulah , istilah agama dan kepercayaan sulit ditakrifkan secara definitif.[1]
Problematika ketuhanan merupakan persoalan metafisika yang paling kompleks dan tua. Pada mulanya, orang-orang memecahkanya secara wajar, yang kemudian mulai diperdebatkan dan difilsafatkan. Asasnya adalah ide ketuhanan yakni, pemikiran kelas tinggi dikarenakan obyek pembahasannya dan dianggap sebagai sebongkah pemikiran paling tinggi yang pernah dicapai oleh manusia.[2] Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam mengenai soal kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya besar dan manusia bebas dalam berkehendak atas perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi bersifat mutlak.[3]
Orang-orang mu’tazilah adalah pendiri bagi ilmu kalam (teologi Islam). Mereka telah membahas sebagian dari problematika ini sejak abad ke 2 hijriyah. Mereka memberikan pemecahan persoalan-persoalan mulai dari moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran filsafat yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan manusia. Yang merupakan filsafat islam itu.
Aliran ini selama dua atau tiga abad, melahirkan sejumlah tokoh. Mereka hidup sezaman dan saling bergaul, bahkan saling bersaing dalam melakukan penelitian bebas, merdeka, sehingga seorang teman bebas mengkritik bebas temannya. Murid menguji teori teori gurunya. Dalam beragumentasi ini, terdapat kelebihan sekaligus kelemahan mereka. Mereka membuat banyak sekali karya-karya yang hebat.[4] Di sini kami akan membahas tentang pemikiran kaum mu’tazilah tentang ketuhanan.

Rumusan Masalah
Bagaimana Keadilan dan Kekuasaan Tuhan Menurut Mu’tazilah?



Pembahasan
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.[5]
            Pandangan pada kelompok rasional mu’tazilah adalah mengenai baik dan buruk, kewajiban dan keadilan, tidak bisa terlepas dari akal dan wahyu yang merupakan basis etika mereka. Bagi kaum mu’tazilah, akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui empat masalah pokok yang menjadi persoalan teologi. Empat masalah tersebut ialah:
a.       Akal mampu mengetahui Tuhan,
b.      Akal wajib mengetahui dan berterimakasih kepada Tuhan,
c.       Akal mampu mengetahui baik dan buruk,
d.      Akal mampu mengetahui kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjahui yang buruk.
Pemberian akal yang besar ini bukan berarti kaum mu’tazilah menolak kehadiran wahyu.bagi mereka wahyu tetaplah dibutuhkan oleh manusia untuk memberikan informasi yang belum diketahui oleh akal, seperti surga, neraka, pahala, dosa, shirat, mizan, hisab hari kiamat dan lain-lain. Sedangkan hal-hal yang sudah diketahui oleh akal maka wahyu ini berfungsi sebagai konfirmasi. Hal ini menunjukka kekhassan cara berfikir para mutakallimin y6ang menempatkan wahyu sebagai pijakan meskipun dalam penggunaan akal berbeda-beda dalam porsinya.[6]
Aliran mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase Abbasiah (100H-237H) dan fase Bani Buwaihi (334H-447H). Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani Ummayah untuk waktu yang tidak terlalu lama. Kemudian memenuhi zaman awal Daulah Abbasiah dengan aktivitas , gerak teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama. Mu’tazilah sempat mengalami kemunduran salama satu abad (237H-334H). Pada awalnya Mu’tazilah mengutamakan sikap netral atau tidak mengikuti mahdzab dalam pendapat dan tindakan. Konon ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut sebagai kaum Mu’tazilah.
Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam punya hukum kokoh  yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang sangatlah mirip dengan  Descartes dari kalangan kaum rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al-Qur’an dan Hadis), tetapi tanpa ragu-ragu mereka menundukkan naql kepada hukum akal.
Aliran Mu’tazillah juga menyucikan kemerdekaan berfikir. Kemerdekaan berfikir ini, mereka sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan-lawan maupun ke dalam, antar sesama mereka sendiri. Mereka memperluas ruang gerak kajian di kalangan mereka sendiri, di mana seorang murid berhak menentang pandangan gurunya, bahkan seorang anak dapat menentang pendapat ayahnya sendiri. Pembiasaan kemerdekaan berfikir ini mempunyai dampak juga yang dapat memecah barisan Mu’tazilah sendiri, sehingga anak-anak dari suatu keluarga saling menuduh kafir.[7]
Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terjadi pada aliran-aliran teologi Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuatan manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya besar dan manusia bebas berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya.
Dalam pandangan kaum Mu’tazilah bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah, dengan diberikannya kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak  bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan tidak bersifat adil bahkan zalim. Lebih lanjut lagi kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh natur atau hukum alam (sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan.
Al-Jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu natur masing-masing. Lebih tegas lagi al-Khayyat menerangkan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu, dan tak dapat menghasilkan kecuali efek yang itu-itu juga, sebagai contohnya : api tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak menghasilkan apa-apa kecuali dingin.
Dari penjelasan beberapa tokoh Mu’tazillah dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum Mu’tazillah percaya pada hukum alam atau sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut paham determinisme. Dan determinisme ini diartikan dengan tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah. Semua uraian tersebut  di atas menunjukkan bahwa dalam paham Mu’tazilah kekuasaan mutlak Tuhan mempunyai batasan-batasan; dan Tuhan sendiri tidak bersifat absolut seperti halnya raja yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan, dalam paham ini lebih dekat menyerupai keadaan raja konstitusional, yang kekuasaanya dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi.[8]
Dalam paham keadilan Tuhan banyak bergantung pada paham kebebasan manusia dan paham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan.
Kaum Mu’tazilah karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Memang dalam pandang Mu’tazilah semua makhluk Tuhan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemahaman Mu’tazilah terhadap keadilan Tuhan yaitu tentang hak, yaitu diatikan sebagai memberi hak seseorang. Kata-kata “Tuhan adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk., dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat berbuat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya, tidak dapat melettakan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia, dan selalu memberi upah terhadap orang yang patuh pada-Nya dan memberi hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya.
Jelas kiranya, bahwa paham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan. Keadilan bukanlah hanya memberi upah terhadap manusia yang melaksanakan perintahnya dan menghukum yang melanggar-Nya. Namun arti memenuhi kewajiban Tuhan dapat berarti yang lebih luas yaitu, tidak membebani lebih kepada hamba-Nya, mengirimkan Rasul sebagai penyampai risalah, memberi manusia daya utuk melaksanakan kewajiban-kewajibanya. Semua ini merupakan kewajiban Tuhan terhadap manusia. Keadilan menghendaki supaya Tuhan melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Demikian pandangan kaum Mu’tazilah terhadap keadilan Tuhan.[9]
Kesimpulan
            Mu’tazilah adalah suatu kaum yang mengedepankan akal, bahwa akal adalah segalanya. Manusia dalam pandangan Mu’tazilah mempunyai kebebasan dalam berfikir maupun bertindak, dan Tuhan tidaklah mutlak sepenuhnya dalam memberi upah maupun menghakimi manusia. Dalam paradigma yang selalu mengedepankan akal ini ada sisi-sisi yang baik dan pasti ada akibat yang ditimbulkan, salah satunya dapat menjadi suatu lonjakan ilmu pengetahuan namun dapat juga menjadi suatu pemecahan atau mengkafirkan keluarga atau golongan sendiri karena perb edaan pendapat.
            Dalam masalah keadilan Mu’tazilah beranggapan bahwa Tuhan harus memenuhi kewajiban-kewajiban salah satunya, memberi upah kepada yang menjalankan perintahnya dan menghukum kepada yang menentang perintah-Nya. Tidak hanya berhenti disitu namun Tuhan juga harus mengirim seorang rasul sebagai penyampai kabar dan memberikan manusia daya untuk menenuaikan hak-haknya.




DAFTAR PUSTAKA
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2002
Muthohar, Ahmad, Perkembangan Pemikiran Islam, Upaya Membangun Peradaban Islam ke Depan, Semarang: Karya Abadi jaya, 2015.
Nasution, Harun, Teologi Islam (Aliran-aliran  Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI-PRESS, 1986.
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Sebuah Realita, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005.



[1] Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Sebuah Realita, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005. Hlm. 59-60
[2] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2002, hlm. 21.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-aliran  Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI-PRESS, 1986. Hlm 118.
[4] Ibrahim Madkour, Ibid., hlm. 45-46.
[5] Harun Nasution, Ibid., hlm 40.
[6] Ahmad Muthohar, Perkembangan Pemikiran Islam, Upaya Membangun Peradaban Islam ke Depan, Semarang: Karya Abadi jaya, 2015. Hlm. 100-101.
[7] Ibrahim Madkour, Ibid., hlm. 48-49.
[8] Harun Nasution, Ibid., hlm. 118-121.
[9] Harun Nasution, Ibid., hlm. 123-126.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

About us