IBNU MASKAWAIH
FILSAFAT
ILMU KEISLAMAN
Oleh :
Lukman Khakim
A. Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Maskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin
Muhammad bin Ya’kub bin Maskawaih. Ia lahir di Rayy (sekarang Teheran, ibu kota Republik
Islam Iran) pada tahun 330 H/941 M dan wafat pada usia lanjut di Asfahan pada tanggal 9
Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.[1] Ia hidup pada
masa pemerintahan Bani Buwaihi di Baghdad (320-448 H) yang sebagian besar
pemukanya bermazhab Syi’ah.[2]
Puncak
prestasi kekuasaan Bani Buwaihi adalah pada masa ‘Adhud Al-Daulah yang berkuasa
tahun 367-372 H, perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusastraan amat besar, sehingga pada masa ini Ibnu Maskawaih memperoleh
kepercayaan untuk menjadi bendaharawan dan muncul sebagai seorang filosof,
tabib, ilmuwan dan pujangga. Pada masa ini juga Ibnu Maskawaih mendapat kepercayaan
besar dari raja untuk diangkat sebagai penjaga (Khazin) perpustakaannya yang
besar, sebagai penyimpan rahasia dan utusan ke pihak-pihak yang diperlukan.[3]
Latar
belakang pendidikan Ibnu Maskawaih tidak ditemukan data sejarah secara rinci.
Namun ditemukan keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad
Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filasafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari
kimia dari Abu Tayyib.[4]
Ibnu
Maskawaih juga digelari sebagai Guru ketiga ( al-Mu’alim al-Tsalits )
setelah al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualim al-Tsani) sedangkan
yang dianggap guru pertama (al-Mualim al-Awwal ) adalah Aristoteles.[5]
B. Karya
Ibnu Miskawaiah selain dikenal
sebagai pemikir (filosuf), ia juga adalah penulis yang produktif. Dalam buku The
History of the Muslim Philosophy seperti yang dikutip oleh Sirajuddin Zar
disebutkan beberapa karya tulisnya sebagai berikut:[6]
1.
Al Fauz al Akbar
2.
Al Fauz al Asghar
3.
Tajarib al Umam (sebuah
sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/979 M)
4.
Uns al Farid (Koleksi
anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
5.
Tartib al Sa`adat (tentang akhlak
dan politik)
6.
Al Mustaufa (tentang
syair-syair pilihan)
7.
Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
8.
Al Jami`
9.
Al Siyab
10. On the simple Drugs (tentang kedokteran)
11. On the composition of the Bajats (tentang seni memasak)
12. Kitab al Ashribah (tentang minuman)
13. Tahzib al Akhlaq (tentang akhlak)
14. Risalat fi al Lazzat wa al Alam
fi Jauhar al Nafs
15. Ajwibat wa As`ilat fi al Nafs wa al `Aql
16. Al Jawab fi al Masa’il al Salas
17. Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al Shufi fi Haqiqat
al Aql
18. Thaharat al Nafs.
C. Pemikiran Filsafat
1. Epistemologi
Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa
manusia memahami hakikat dengan dua cara dan dua pola. Pertama, melalui
panca indera, dan dalam hal ini hewan juga sama. Kedua, melalui akal
yang khusus, sedangkan hewan tidak memilikinya. Pemahaman akal ini tidak
membebaskan manusia dari ketergantungan terhadap pemahaman indrawi, kecuali
melalui latihan yang lama.[7]
Proses penahapan mekanisme perolehan
pengetahuan melalui indera, dimulai dengan penyerapan panca indera lahiriyah
terhadap objek inderawi. Indera mengumpulkan objek inderawi tersebut di dalam
indera kolektif selanjut memindahkannya ke daya fantasi, kemudian ke daya
ingatan. Semua tingkat pemahaman tersebut ada pada hewan dan manusia. Akan tetapi
terdapat daya lain dari jiwa yang khusus dimiliki manusia dan tidak ada pada
hewan, yaitu daya pikir, yang di situ berlangsung dinamika kognitif, orientasi
menuju akal, dan pemahaman hakikat segala sesuatu yang ada dalam akal.[8]
Seseorang mengetahui daun pisang
berwarna hujau merupakan contoh dari pengetahuan inderawi. Sedangkan seseorang
mengetahui cara mengobati penyakit merupakan contoh dari pengetahuan akal.
2. Ketuhanan
Pemikiran Ibnu Maskawaih tentang Tuhan sama dengan
pemikiran Al Kindi dan Al Farabi. Menurut Ibnu Maskawaih, Tuhan adalah zat yang
tidak berjisim, Azali, dan Pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Tuhan tidak
terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara
dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang
lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya.[9] Keesaan Tuhan sangatlah mutlak dan tidak
dipengaruhi makhluk-Nya
Menurut
De Boer, yang dikutip oleh Sirajuddin Zar, Ibnu Maskawaih menyatakan, “Tuhan
adalah zat yang jelas dan zat yang tidak jelas. Dikatakan zat yang jelas bahwa
ia adalah Yang Hak (Benar). Yang Benar adalah terang. Dikatakan tidak jelas
karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkapnya, disebabkan banyak
dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya.” [10]
Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan. Tuhan
jelas adanya karena tidak mungkin manusia dan alam semesta ada tanpa ada yang
menciptakan. Sedangkan manusia sangat sulit untuk mengetahui entitas Tuhan
karena keterbatasan pengetahuannya.
3.
Emanasi
Ibnu Maskawaih menganut paham emanasi sebagaimana Al-farabi,
yakni Allah menciptakan alam secara
pancaran. Akan tetapi berbeda dengan Al Farabi, menurutnya entitas pertama yang
memancarkan dari Allah ialah ‘aql Fa’al’ (akal aktif). Akal
aktif ini tanpa perantara sesuatu pun, bersifat qadim, sempurna, dan tidak
berubah. Dari akal aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula
timbullah planet (al-falak). Pemancaran yang terus-menerus dari
Allah dapat memelihara tatanan di dalam alam ini. Andaikan Allah menahan
pancaran-Nya, maka akan terhenti kemaujudan dalam alam ini.[11]
Perbedaan
emanasi antara Al-Farabi dan Ibnu Maskawaih secara rinci sebagai berikut:
a. Menurut Ibnu
Maskawaih, Allah menjadikan alam ini secara pancaran (emanasi) dari tiada
menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi alam dijadiakan Tuhan secara pancaran
(emanasi) dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b. Bagi Ibnu
maskawaih entitas yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara bagi Al-farabi entitas
yang pertama ialah Akal pertama dan Akal Aktif adalah akal kesepuluh.
Selain
itu, Ibnu Maskawaih juga mengemukakan teori evolusi.[12]
Menurutnya alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan alam
manusia merupakan suatu rentetan yang saling menyambung. Antara setiap alam
tersebut terdapat jarak waktu yang sangat panjang. Transisi dari alam mineral
ke alam tumbuh-tumbuhan terjadi melalui merjan. Dari alam tumbuh-tumbuhan ke
hewan melalui pohon kurma dan dari alam hewan ke manusia melalui kera.
4. Kenabian
Seperti halnya Al-Farabi, Ibnu Maskawaih
juga Menginterpretasikan kenabian secara Ilmiah. Usahanya ini dapat memperkecil
perbedaan antara nabi dan pilosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan
antara akal dan wahyu. Menurutnya, nabi memperoleh hakikat hakikat
kebenaran seperti juga diperoleh oleh para filosof. Perbedaannya
hanya terletak pada tehnik memperolehnya.
Nabi adalah seorang Muslim yang
memperoleh hakikat atau kebenaran karena pengaruh akal aktif atas daya
imajinasinya. Sedangkan filosof mendapatkan kebenaran tersebut dari bawah ke
atas, yaitu dari dari daya indrawi menarik ke daya khayal dan menarik lagi ke
daya berpikir yang dapat berhubungan dan menangkap hakikat atau kebenaran dari
akal aktif. [13]
Perenungan tentang hakikat segala sesuatu yang wujud
sehingga mempertajam pandangan yang akhirnya dapat mengenal soal ketuhanan, tingkat
ini didapat oleh filosof. Sedangkan tanpa perenungan akal pikiran tetapi dapat
karunia limpahan langsung dari Tuhan berupa kebenaran (wahyu) tanpa melalui
latihan akal pikiran, tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang
terpilih, yaitu nabi.[14]
Penjelasan tersebut merupakan
petunjuk bahwa Ibnu Maskawaih berusaha merekonsiliasikan antara agama dan
filsafat.
5. Jiwa
Kata jiwa berasal dari bahasa arab (النفس) yang
secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai diri atau secara lebih sederhana bisa
diterjemahkan dengan jiwa.[15] Menurut
Ibnu Maskawaih, jiwa adalah substansi rohani yang tidak hancur dengan
sebab kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan yang tidak dapat terbagi
bagi. Ia akan hidup selalu ia tidak dapat diraba dengan panca indra karena ia
bukan jism dan bagian dari jisim. Jiwa dapat merasakan keberadaan zatnya dan
mengetahui keaktivitasnya.[16]
Ia mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat dibagi itu tidak mempunyai unsur,
sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun jiwa dapat menyerap
materi yang kompleks dan nonmateri yang sederhana.
Ibnu Maskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa dan
pengetahuan panca indra. [17]
Ia mengatakan bahwa panca indra tidak dapat menangkap selain apa yang dapat
diraba atau diindra. Sedangkan jiwa dapat mengangkap apa yang dapat ditangkap
pancaindra dan juga yang tidak dapat di tangkap pancaindra.
6. Akhlak
Ibnu Maskawaih adalah seorang moralis terkenal. Hampir
setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya selalu mendapat
perhatian utama. Akhlak adalah jamak dari khuluq yang artinya sikap, tindakan,
tindak-tanduk dan sikap, inilah yang akan membentuk sikap kita dan inilah yang
bisa dikomentari oleh orang lain berbeda dengan khalq atau ciptaan karena tidak
bisa dikomentar dalam artian langsung ciptaan Allah swt. semata seperti fisik
manusia itu sendiri.
Menurut konsep Ibnu Maskawaih,[18]
akhlak adalah : mental atau keadaan jiwa yang mengajak atau
mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa pikir dan pertimbangan.
Dengan kata lain akhlak adalah keadaaan jiwa yang
mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan
jiwa seperti ini terbagi menjadi dua: ada yang berasal dari watak (bawaan) atau
fitrah sejak kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan.[19]
Dengan demikian, manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan
fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. definisi tersebut menjelaskan bahwa Ia
menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak atau
moralitas manusia berasal dari watak dan tidak mungkin dapat berubah. Perubahan akhlak dan moralitas itu
selalu terbuka lebar terutama bila dilakukan melalui pendidikan (tarbiyah).
Menurut Ibnu Maskawaih, jiwa memliki tiga daya : daya
berpikir, daya marah, dan daya keinginan. Sifat hikmah adalah sifat utama bagi
jiwa berpikir yang lahir dari ilmu. Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah
yang timbul dari safat hilm (mawas diri). Sedangkan murah adalah sifat
utama bagi jiwa keinginan yang lahir dari ‘iffah (memelihara kehormatan
diri). Dengan demikian ada tiga sifat utama, yaitu hikmah, berani, dan murah.
Apabila ketiga sifat ini serasi maka muncullah sifat utama keempat, yakni adil.
Adapun lawan dari keempat sifat utama ini adalah bodoh, rakus, penakut, dan
dhalim.
Ada dua pandangan pokok tentang
kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan
bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan
memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang
mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih
terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan berbeda menurut masing-masing
orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang
sakit pada kesehatan, dan seterusnya. [20]
Ibnu Maskawaih mencoba
mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada
diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi
keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi
sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat
benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan
jiwanya menuju kehadirat Allah SWT. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar
manusia menuju derajat malaikat.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ibnu Maskawaih merupakan
filosof muslim yang berupaya memadukan
agama dan filsafat. Yaitu dengan merekonsiliasikan upaya untuk mendapatkan
hakikat atau kebenaran. Yakni, melalui jalan berfikir oleh filosof dan melalui
jalan wahyu oleh Nabi.
Adapun
tentang pengetahuan manusia Ibnu Maskawaih membagi menjadi dua, yaitu
pengetahuan dari pancaindra dan pengetahuan dari jiwa atau akal.
Ibnu Maskawaih
dijuluki sebagai Mu’allim Tsalits setelah Aristoteles dan Al Kindi.
DAFTAR
PUSTAKA
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan
Bintang. 1992
Maskawaih, Ibnu. al-Fawz al-Ashghar.
Mesir : Mustofa Fahmi al Kutubi. t.th
Maskawaih, Ibnu. Tahdzib Al Ahklaq wa
Tathhir Al A`raq. Kairo: Muassasat Al Khaniji. 1967![](file:///C:/Users/bigfoot/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
![](file:///C:/Users/bigfoot/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan
Studi Islam. Jakarta: Fajar Interpratama Offset. 2005
Munawwir dan Muhammad
Fairuz. Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab. cet. I. Surabaya: Pustaka Progressif. 2007
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2003
Sudarsono. Filsafat Islam.
Jakarta: Rineka Cipta. 2004
![](file:///C:/Users/bigfoot/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
[1] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam: Filosuf dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007). Hal. 127.
[2] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 128.
[3] Ahmad Daudy, Kuliah
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hal. 56.
[4] Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 5.
[5]
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. (Jakarta: Fajar
Interpratama Offset, 2005). Hal. 327-328.
[6] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal.128-129.
[7] Ibnu Maskawaih,
al-Fawz al-Ashghar, (Mesir : Mustofa Fahmi al Kutubi, t.th), hal. 6.
[8] Ibnu Maskawaih,
al-Fawz al-Ashghar…, hal. 43,
[9] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 129.
[10] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 130.
[11] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 131.
[12] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 131.
[13] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 131-132.
[14] Sudarsono, Filsafat
Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), Hal. 90.
[15] Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007). Hal.
366.
[16] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 133.
[17] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 134.
[18] الخلق حال للنفس داعية لها إلى
أفعالها من غير فكر ولا روية,
Ibn Maskawaih, Tahdzib Al Ahklaq wa Tathhir Al A`raq, (Kairo: Muassasat
Al Khaniji, 1967), Hal. 9.
[19] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 135.
[20] Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam…, Hal. 136.
0 komentar:
Post a Comment